Oleh: KH. Munawir AF, Mustasyar PWNU DIY
Sebelum menjadi kiai, Gus Zainal kalau manggil Kiai Ali Maksum, kakak iparnya dengan sebutan Kang. Memang begitulah panggilan beliau (Mbah Ali) waktu masih sugeng, tak satupun santri yang manggil Kiai atau lainnya.
Kiai Ali Maksum lebih suka dipanggil “Pak”, bukan yang lain. Begitu yang diumumkan beliau secara tidak resmi, sebab disampaikan ketika “guyon-guyon” sama santri. Pada awal mula memang terasa “nyangklak” – wong kyainya kok dipanggil Pak?
Orang Jawa Timur yang biasa ta’zhim kepada kiai rasa-rasanya gak nyampe hati. Tapi Kiai Ali tetap bilang tegas : panggil saja Pak!
Luar biasa memang, pengaruh panggilan yang kebapakan itu. Kiai Ali membina santri-santrinya seakan tanpa sekat. Akrab, menghilangkan rasa sungkan, tetapi tetap eksis di hati setiap santri. Dan santri menjadi dua kali beban berat, manakala tugas yang diberikannya tidak selesai. Misalnya hafalan alfiah 10, hanya hafal 5 atau 7. Oh… malunya…
Demikian juga Gus Zainal, memanggil Kiai Ali juga “kang”. Ketika ada musyawarah ulama di PP Krapyak, dan mendengar omongan Gus Zainal “yo aku tak takon Kang Ali disik.” (Ya, aku tanya sama Kang Ali dulu-red) bicara dengan Gus Sun. Tamu yang dengar Cuma domblong atau mlongo.
Baru akhir-akhir menjelang beliau (Kiai Ali) wafat, panggilan “Pak” itu hilang dengan sendirinya.. Panggilan itu berubah menjadi Kyai atau Kiai Ali. Demikian Gus Zainal, panggilannya juga mengalami perubahan dari Gus menjadi Kyai sejak mbah Ali wafat 1989. Kemudian Kyai Zainal pegang tampuk generasi ke 3 dari warisan PP mbah Munawwir….
Allahumma yarham, 21-3-15