Menjelang tengah malam, di tengah dingin cuaca musim kemarau, perjalanan di belantara kertas-kertas ini mempertemukanku dengan alm. KH. Bisyri Mushthafa melalui karya beliau, Durarul Bayán fí Tarjamati Syu’abil Ímán. Bagi sebagian masyarakat Indonesia saat ini, nama KH. Bisyri Mushthafa, Allahu yarham, mungkin tidak terlalu familiar. Masyarakat justru lebih banyak kenal dengan nama putra beliau, seorang ulama kharismatik dan budayawan nasional bernama KH. Mushthafa Bisri atau biasa dipanggil Gus Mus.
Kitab setebal 70 halaman karangan ayahanda Gus Mus ini dapat dikategorikan sebagai kitab akidah yang isinya menjelaskan tentang cabang-cabang iman. Kitab ini diperkirakan rampung ditulis pada tanggal 06 Januari 1957/5 Jumadil Akhir 1376 H. Perkiraan yang mungkin saja keliru ini penulis dasarkan hanya pada keterangan dalam akhir kitab yang dimiliki penulis saat ini di mana di sana terdapat keterangan: Rembang, 5 Jumadil Akhir 1376 H / 06 Januari 1957 yang ditulis dalam huruf Arab.
Membaca kitab ini membuatku semakin kerdil karena apa yang kupelajari tentang masalah keimanan selama ini ternyata hanyalah sebagian kecil saja. Iman yang menurutku hanya memiliki enam cabang itu ternyata belum sebagiannya dari apa yang diwedarkan oleh sang pengarang dari bumi Rembang ini. KH. Bisyri Mushthafa dalam karyanya ini menjelaskan bahwa iman itu memiliki sekitar 77 cabang.
Sayup-sayup dalam ingatanku dulu ketika masih di pesantren memang pernah mendengar perihal 77 cabang iman ini meski kemudian yang kukuh mengendap dalam hafalan adalah bahwa rukun iman itu ada enam. Titik.
Menjelajahi lembar demi lembar karya Kiai Bisyri Mushthafa ini, bagiku seperti sebuah perjalanan melewati banyak hal tak terduga. Seringkali aku merasa terkejut karena menemukan informasi-informasi berharga yang belum pernah kukenal sebelumnya dan justru kutemukan melalui kitab kecil dengan kemasan dan desain yang begitu sederhana, dikarang oleh seorang ulama sederhana dari sebuah perkampungan di pelosok Nusantara ini.
Kitab ini merekam banyak penjelasan tentang berbagai disiplin keilmuan dalam Islam. Meskipun secara umum berbicara mengenai masalah cabang-cabang keimanan, tetapi di dalamnya kita bisa memperoleh penjelasan tentang materi-materi lainnya. Ada materi fikih, akhlak, tashawuf, sejarah bahkan termasuk juga bagaimana memperhatikan kesejahteraan tentara dan kaum fakir, kepala negara hingga tukang azan. Dan semuanya disampaikan dalam bentuk nazam-nazam syair yang kemudian diberi penegasan dan penjelasan lewat metode syarh, tanbih, tawdih, muhimmah, titimmah, hikayah, faidah, masalat wal jawab, lathifah dengan perantara bahasa Jawa-Indonesia yang ditulis menggunakan huruf-huruf Arab.
Tak ada yang lebih membahagiakan bagi kita sebagai umat Islam di Nusantara ini selain mengetahui bahwa Islam memiliki kekayaan literatur yang dihasilkan oleh ulama-ulama Nusantara dengan gaya dan metode yang begitu beragam. Ketekunan para intelektual Muslim (ulama) yang dimiliki bangsa ini tentu saja harus dapat memberikan inspirasi dan motivasi bagi generasi selanjutnya, terutama dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam dengan cara-cara yang lebih elegan.
Apa yang dilakukan oleh KH. Bisyri Mushthafa yang telah menghasilkan beragam karya, kitab ini salah satunya, adalah bentuk nyata dari dakwah intelektual yang menggunakan pena dan tinta sebagai ‘senjatanya’. Tentu Islam masih menyimpan sekian banyak ide-ide keilmuan yang harus terus ditulis dan disampaikan kepada masyarakat, baik masyarakat Muslim di Nusantara ini maupun di dunia secara umum. Dan itu menjadi tugas kita semua untuk mewujudkannya. Wallahu A’lam.
Penulis: Salman Rusydie Anwar, alumnus Pascasarajana UIN Sunan Kalijaga