Ketika kami datang, Mbah Wali yang bernama pena “Kanthongumur” penulis Oase Jiwa ini sedang sibuk mutholaah kitab yang akan dibalah di bulan Ramadan besok. Ia bilang alangkah baiknya seorang santri membaca dulu kitab yang akan dikaji bersama guru. Biar lebih mantap.
Kampung Karangmangu siang itu cukup sumuk. Lokasinya yang dihimpit jalan raya pantura wilayah Sarang dan Laut Jawa memang tak memungkinkan kita mengharapkan hawa sejuk ala pegunungan. Di situlah komplek Pesantren Al-Anwar berada. Sabtu siang kami sampai di sana, setelah melalui rute Tegal-Jogja-Salatiga-Rembang.
Saya datang sebagai pribadi untuk nyadong doa, sekaligus mewakili lini usaha JagadPress. Ditemani Budi, direktur SantriFoundation, sebagai induk Komunitas Santrijagad. Mbah Wali yang sudah belasan tahun nyantri di Sarang ini banyak berkisah tentang asal mula pesantren Al-Anwar berdiri.
Awalnya, Mbah Yai Maimun Zubair tidak berkenan membangun pesantren. Namun ketika Mbah Maimun pulang dari Lirboyo, Gus Imam (almarhum KH. Imam Yahya putra KH. Mahrus Ali Lirboyo) membuntuti beliau sampai Sarang dan melamar untuk jadi santri. Sejak itulah mulai bertambah santri yang datang, sehingga dibutuhkan ruang untuk asrama. Dibangunlah musolla kecil di depan ndalem, dengan berkamar-kamar ruang di atasnya.
Hawa sumuk raib ketika kami masuk ruangan musolla pesantren yang tepat berada di depan ndalem Mbah Maimun. Rasanya sejuk, adem, dan syahdu. Selain sebab kerap dipakai untuk zikir dan ngaji, juga karena letaknya dikelilingi kolah sehingga lembab, dan tentu sebab banyak kipas angin. Beruntung kami sempat bermakmum dzuhur kepada Mbah Maimun di situ.
Bakda jamaah dzuhur, para tamu yang sudah menunggu sejak tadi dipersilakan masuk ke ndalem. Ruangan yang tak terlalu luas itu penuh dengan kursi untuk pisowanan. Semua tamu harus dapat kursi. Kalau kurang, masih disediakan kursi plastik sederhana. Setelah semua duduk, santri ndalem menyuguhkan teh botol untuk semua tamu. Lengkap dengan sajian kurma dan jajanan ringan. Berasa bertamu betul.
Saat itu tamu yang sowan didominasi rombongan Sidoarjo. Beliau menanyakan berbagai hal kepada para tamu tentang kabar kiai ini, pondok itu, bagaimana perkembangannya, lalu apa saja kegiatannya. Hingga pada satu momen beliau mengatakan sesuatu yang sangat makjleb bagi saya;
“Pondok-pondok do entek. Wong-wong ngaji do entek. Dadi sekolahan kabeh. (Pesantren pada habis, orang ngaji pada habis, jadi sekolahan semua).”
Kemudian tamu yang duduk di sampingnya, seorang gus dari Jawa Timur, menyahut, “Mpun zamane nggih, Yai.. (sudah masanya ya, Yai).”
Pernyataan retorik ini bermakna banyak hal bagi saya sebagai fans berat pesantren salaf. Seketika berkelebat segala hal yang pernah terlintas di kepala saya tentang konsep pesantren salaf yang begitu jos. Tentang sudah semestinya pesantren salaf yang masih ada untuk terus bertahan, jangan sampai goyah dengan latah bikin sekolahan. Tentang sistem-sistem khusus yang bisa diterapkan di pesantren salaf agar bisa ‘mengejar pelajaran umum’ tanpa harus bikin sekolahan. Tentang hal ini, Gus Yahya Cholil Rembang pernah berujar bahwa pesantren salaf memang tak begitu menarik, namun kelak bakal dicari-cari. Kalau boleh kutambahi; ‘kelak’-nya adalah saat ini.
Tema ini pun jadi bahan obrolan kami sepanjang perjalanan pulang. Apalagi ketika kami mampir di Desa Sumberejo, Semarang. Sebuah kampung yang warganya sedang bergotong royong kerja bakti membangun pesantren. Betapa ampuhnya pesantren salaf sebagai benteng budaya masyarakat. Karena pada fitrahnya sejak dahulu, pesantren salaf memang diperuntukkan sebagai wahana pendidikan bagi masyarakat sekitarnya. Panggon ngaji warga. Bukan sebagai lembaga pendidikan penyelenggara sekolah yang eksklusif dan justru jadi tembok pembatas dengan masyarakat.
Pernyataan Mbah Maimun ini mengingatkanku pada prinsip Mbah Yai Zubair yang dituturkan Mbah Wali. Yakni bahwa bagi Mbah Zubair; pondok kui mung dunyo (pesantren ‘hanyalah’ bagian dari perkara duniawi), akherate yo ngajine (perkara ukhrawinya adalah kegiatan ngaji). Buktinya, keberadaan pesantren bisa jadi rebutan di kemudian hari oleh para penerus sang pendiri. Bisa jadi bahan cekcok dan perselisihan.
Maka hal yang harus diperhatikan adalah kegiatan ngajinya. Ada atau tak ada pesantren, harus ada ngaji. Ketika kondisi mengharuskan adanya pesantren, barulah dibangun pesantren yang berfungsi sekedar memfasilitasi ngaji. Inilah mengapa pesantren salaf dahulu tak begitu nggagas perkara formalitas. Yang penting ngaji dan khidmah kepada kiai. Yakni pada masa ketika belum ada tren bersekolah untuk memburu ijasah. Karena yang diburu betul-betul ilmu; ngilangi kebodoan, dan ridho guru. Dalam penafsiran saya, inilah yang dimaksudkan oleh Mbah Maimun dalam pernyataan tersebut sebagai ‘wong ngaji do entek’.
Mbah Maimun juga sempat menanyakan kepada saya tentang kegiatan ngaji di Krapyak, menyebut nama Mbah Yai Ali Maksum, Mbah Yai Zainal Abidin, dan Mbah Yai Atabik. Dari sekilas percakapan-percakapan beliau dengan para tamu, tergambar betul beliau sangat perhatian dengan urusan ngaji.
Di tengah perbincangan dengan para tamu, ada seorang anak muda masuk ruangan. Usianya saya kira setara lulusan SMA. Ia sungkem Mbah Maimun, kemudian memperkenalkan diri, lalu menyodorkan lembaran kertas bertuliskan Arab. Ia melapor,
“Pak Kiai, saya dapat kertas ini dari orang di jalan. Tapi saya tidak pahan. Ini bacanya bagaimana ya?”
Waduh. Para tamu yang lainpun geleng-geleng. Budi yang duduk di samping saya hampir tepok jidat sambil merenges. Dia berbisik, “Lha wong ibarat Valentino Rossi kok ditanya caranya nyetater motor, piye iki?hehe.”
Mbah Maimun tersenyum dan meraih kertas itu, kemudian membacanya. Lalu menyerahkan kertas itu kembai kepada si pemuda. Beliau memandanginya dengan lembut sambil berujar, “Ya kamu bawa ini kertas, carikan guru untuk ngaji agar bisa bacanya ya.”
Dalam kesempatan sowan yang singkat itu, saya -dan tentu saja semua yang sowan- lebih banyak memandangi wajah Mbah Maimun yang teduh. Sambil membisikkan dalam hati; duh Gusti, kasihilah kami dan anak keturunan kami, serta jadikan kami sebagai ahli ilmu, amal, dan kebaikan, sebagaimana beliau.
Sarang, 16 Sya’ban 1438
Penulis : Zia Ul Haq, Alumni komplek Khuffadz Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta.