M. Jadul Maula, pegiat dan penggerak Nahdliyin muda yang menekuni di bidang pengembangan kebudayaan, merawat tradisi, mengasuh Pesantren Kaliopak, dan ikut dalam gerakan-gerakan anak muda NU, dan mengasuh Ngaji Dewa Ruci di Kaliopak. Di antara salah satu tokoh di Yogyakarta, selain Imam Aziz, Alissa Wahid, dan beberapa yang lain, M. Jadul Maula, adalah di antara guru dari kalangan sebagian anak muda yang banyak konsen di kebudayaan-kesenian.
M. Jadul Maula dilahirkan di kota Pekalongan, pada 3 September 1969. Sejak kecil dibesarkan di kota kelahiran dan dididik ayah dan ibunya, yang menjadi salah satu tokoh di Pekalongan. Orang tuanya bernama KH. Machmud Masjkur dan Hj. Fatriyah Amin. M. Jadul Maula, selain berguru kepada orang tuanya ini, juga juga berguru kepada KH. Ghufran Akhid, KH. Mubarizi Masyhadi, dan KH. Ghozali Nur, di Pekalongan.
M Jadul Maula, menamatkan pendidikan dasar di MI Salafiyah (1975-1981), kemudian di SMP Salafiyah (1981-1984), dan MA Salafiyah (1984-1987), yang semuanya ada di kota kelahirannya, di Kauman, Pekalongan. Pada saat yang sama, M. Jadul Maula juga belajar di MT Sunan Bonang Pekalongan (1981-1987). Ketika masih di Pekalongan ini, M Jadul Maula juga sudah aktif di organisasi IPNU cabang Pekalongan (1983-1987).
Setelah itu, pada tahun 1987 M Jadul Maula masuk di IAIN Sunan Kalijaga dengan mengambil konsentrasi pada jurusan Sastra dan Bahasa Arab, lulus pada tahun 1997, dengan skripsi tentang Tafsir Sastrawi Bintu Syathi. Ketika masih mahasiswa aktif di organisasi PMII, ngaji di JPPI Minhajul Muslim (1987-1988), dan kemudian di Pesantren Krapyak (1988-1990).
Bersama sahabat-sahabatnya, sejak awal 1990-an aktif di LKiS, dan kemudian dipilih sebagai Direktur Eksekutif periode 1999-2000. Aktivitas lainnya, M. Jadul Maula pernah menjadi wartawan Majalah Santri (1990), bergiat di Patria Nusantara (1990), di LKKNU DIY (1997), mengajar di Pesantren UII dengan materi Pemikiran Islam Kontemporer (1998), dan dosen Islamologi di Fakultas Agama Universitas Sanata Dharma (1997).
Pernah juga menjadi ketua Yayasan LKiS untuk periode 2000-2006. Ketika memimpin LKiS, M Jadul Maula melakukan kerja-kerja penelitian-pendampingan masyarakat, dan mengorganisir Belajar Bersama tentang Islam dan Demokrasi. Pada masa kepemimpinannya di LKiS itu pula, lembaga ini memperoleh Tasrif Award, untuk jurnalisme perdamaian; dan memperoleh Prince Klaus Award sebagai lembaga yang penuh inisiatif local dengan signifikansi global (2002).
Di lingkungan NU, M. Jadul Maula juga pernah menjadi Ketua Lesbumi DIY, dan memperkenalkan pagelaran wayang di lingkungan NU, dan kegiatan-kegiatan kebudayaan, memperkenalkan tokoh-tokoh wali dalam diskusi-diskusi kebudayaan. Setelah itu menjadi wakil ketua Lesbumi Pusat, sejak Lesbumi dipimpin Al-Zastrouw NG (2005), dan juga pada saat Ketua PP Lesbuminya dijabat oleh Agus Sunyoto.
Di Persantren Kaliopak, M. Jadul Maula mengembangkan Ngaji Dewa Ruci, bersama Hasan Basri Marwah, dan santri-santri yang lain yang banuyakd ari anak-anak ISI Yogyakarta, mengkaji berbagai topik kebudayaan, pesantren, dan tasawuf. Di Pesantren Kaliopak, selain Ngaji Dewa Ruci, Muhammad Jadul juga memelihara tradisi pesantren, dengan ngaji bandongan kitab Idhotun Nasyi’in, dan memimpin rutinan pembacaan Maulid al-Barzanji dan pembacaan Ratib al-Haddad jama`atan.
M. Jadul Maula juga memperkenalkan diskusi-diskusi tentang Islam Nusantara, bahkan ketika Islam Nusantara belum dikampanyekan oleh PBNU, pada Muktamar NU ke-33 di Jombang. Dia juga pernah menjadi saksi ahli dalam gugatan di MK, soal UU Keistimewaan, dan ikut mengkritisi penghapusan gelar Kalipatullah di Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat, dan menjadi juru bicara sikap NU saat itu; sementara di kalangan muda Nahdliyin yang lain, saat itu mengorganisir melalui penyadaran akan tradisi Islam Jawa, melalui JNM (Jamaah Nahdliyin Mataram).
Tulisan-tulisan Muhamamd Jadul maula, kemudian dibukukan dalam buku Islam Berkebudayaan, yang diterbitkan Pesantren Kaliopak. Bukunya ini merupakan kumpulan tulisan yang tersebar di berbagai publikasi, termasuk dari orasi kebudayaan di PBNU, tulisan di Jurnal Tashwirul Afkar, tulisan kesaksian ahli MK, dan bahan-bahan makalah lain yang pernah dipresentasikan di berbagai forum.
Di Pesantren Kaliopak yang diasuhnya, di daerah Piyungan, menjadi tempat dari kalangan muda untuk berdiskusi, menggelar pameran lukisan, mendorong sholawat emprak agar terus berkembang, dan berbagai kegiatan lain. Dengan dibantu oleh anak-anak muda berbakat, seperti Hasan Basri Marwah (yang pernah menjadi lurah pondok), Luthfi, Topan, Udin, dan lain-lain, Pesantren ini menjadi sentrum mempertemukan Islam santri dan kebudayaan.
M. Jadul sendiri, sebagai salah satu guru gerakan di kalangan aktivis Nahdliyin di Yogyakarta, memiliki banyak hubungan dengan kyai-kyai di Yogyakarta, seperti KH. Abdillah Hasan Mlangi, Kyai Marzuki Kurdi, KH. Asyhari Abta, dan kyai-kyai yang lain. Meskipun pesantren mengembangkan keilmuan dengan perbedaan fokus yang dikaji, yaitu lebih pada ngaji kebudayaan, dan pesantren-pesantren lain tetap mempertahankan ilmu-ilmu turats pesantren, bahkan sebagian belum memasukkan wayang sekalipun di pesantrennya, tetapi hubungan tetap terjalin baik.
Konsen M Jadul Maula dengan berbagai kegiatannya ini, berusah memperkokoh hubungan kebudayaan dan Islam; dan hasil kreativitas semacam itu dijadikan sebagai modal sosial untuk menggerakkan masyarakat, memaknai hidup masyarakat, dan bahkan juga sebagai bagian dari sebuah suluk. Hal ini memang telah disadari lama bahwa di dalam Aswaja yang berkembang di kalangan Nahdliyin, Islam dan kebudayaan tidak terpisahkan atau saling mengisi, tetapi perwujudannya berbeda-beda antara satu kyai dan satu pesantren dengan kyai dan pesantren lain. Dan, M. Jadul Maula mewujudkan kreativitas kebudayan dan Islam dalam Pesantren Kaliopak, dengan lebih kental dan mendalam.
Dalam buku Islam Berkebudayaan, sangat tampak bahwa Islam dan kebudayan itu dilihat saling membutuhkan, dan tidak perlu dipertentangkan. Berbagai analisisnya soal kebudayaan diarahkan untuk menggugah kesadaran sejatineng menungso dan upaya mengenal Gusti Alloh. Sebagai contoh, analisisnya tentang Moco Wayang Purwo, Naji Dadi Menungso: Sketsa Jalan Kesempurnaan Manusia Nusantara (dalam Pesantren dan Kebudayaan, Lesbumi DIY, 2017: 22-23), memperlihatkan ini.
Menurut M. Jadul Maula, “kelir wayang adalah sasmitadari jagad yang kelihatan, wayang-wayang yang diciptakan di kiri, dan kanan menggambarkan makhluk-makhluk Tuhan. Batang pisang adalah bumi. Blencong adalah lampu kehidupan. Gamelan adalah keserasian antara berbagai peristiwa-peristiwa. Dalang ada ruh, yang dianggap Tuhan untuk menggerakkan sebuah lakon kehidupan. Wayang-wayang adalah unsur-unsur dalam tubuh diri kita. Dan lakon-lakon adalah peristiwa-peristiwa oleh diri kita sebagai Sebuah Ketentuan Yang Maha Misteri. Sehingga di dalam totalitas tontotanan itu, kita sebenarnya sedang melakukan lakon sebagai instrospeksi, dan di atas itu semua Tuhan sedang menyaksikan tindakan kita, karena hakekatnya Dialah yang sedang menaggap lakon-lakon kehidupan ini.”
M. Jadul Maula, yang memudawamah dzikir Ratib al-Haddad dan nyarkub ke, banyak makam auliya ini, menikah dengan Bu Nyai Suswati, yang juga alumni PMII (pernah menjadi Ketua Komisariat PMII IAIN Sunan Kalijaga), dan alumni IAIN Sunan Kalijaga. Mereka tinggal di Piyungan di dekat Situs Payak. Bersama istrinya itu, M. Jadul Maula dikaruniai anak: Sinbad Aunal Khallaq (alm), AjisakaNadyani Ahibba, Sima Nisbatin Niswa, Muhammad Karimullah Pandu Manahij, Hubayba Mayang Mahamida, dan Taskinia Ilya Bulawambona.
Penulis: Kiai Nur Khalik Ridwan, Yogyakarta.