Tahun 1990, dalam suasana lebaran Idul Fitri, saat itu rombongan santri sowan kepada Mbah KH Marzuqi Giriloyo. Usia Mbah Marzuqi sudah sepuh, tetapi tatapan wajahnya tetap penuh kharisma. Para santri bersalam-salaman, mencium tangan Mbah Marzuqi yang wangi dan sangat dirindukan.
Para santri itu diam, menunggu dawuh-dawuh dari Mbah Marzuqi.
“Kalian tahu tidak nikmatnya Gusti Allah yang paling penting dan paling berharga?,” tanya Mbah Marzuqi memecah keheningan para santri.
“Anu Mbah, anak-istri itu Mbah,” jawab salah satu santri dengan berani.
“Bodoh kamu. Anak istri kok nikmat berharga dan penting!,” tegas Mbah Marzuqi sambil menepuk muka santri yang berani jawab itu.
Tentu saja, mendengar jawaban Mbah Marzuqi ini terdiam semua. Para santri juga takut, khawatir jawabannya salah. Suasana hening dan terdiam semua.
Mbah Marzuqi kembali mengulang pertanyaan untuk memecah keheningan.
“Nikmat itu rumah dan kendaraan, Mbah Kiai,” jawab salah satu santri dengan penuh berani.
“Bodoh tenan kamu ini. Rumah, harta benda kok nikmat penting!,” Mbah Marzuqi kembali menjawab sambil menepuk pipi santri yang menjawab tadi.
Akhirnya, Mbah Marzuqi menyuruh semua rombongan santri ini untuk memegang kepala bagian depan atau kening (bathuk).
“Ketahuilah, bahwa nikmatnya Gusti Allah yang sangat berharga dan sangat penting adalah “bathukmu” (keningmu). Maka, jagalah, peliharalah, dan tutupilah dengan pecis atau “kethu” dengan baik,” jelas Mbah Marzuqi.
“Besok kalau ke sini lagi, jangan sampai lupa pakai peci.” Mbah Marzuqi kembali menjelaskan dengan sangat tegas.
Serombongan santri itu akhirnya tertunduk. Merasa malu sekali, karena rombongan santri itu datang tanpa pakai peci.