Kisah Menteri Agama, Sukses Haji dan Tuduhan Korupsi.
Usai melaksanakan tawaf ifadhoh Kamis dinihari, saya bergetar membaca grup Whatsapp petugas haji Daker Madinah 2019 di terminal Sheb Ameer yang hiruk pikuk.
Berdiri di pinggir terminal, saya terhanyut oleh banyak postingan yang masuk. Semuanya silih berganti mengucapkan rasa syukur pada Allah SWT atas kesuksesan penyelenggaraan haji 2019.
Terima kasih ya Allah, doa kami Engkau kabulkan. Wukuf di Arafah sukses meski aliran listrik sengaja dipadamkan. Otoritas Arab Saudi sengaja menghentikan aliran listrik demi keselamatan jemaah haji. Karena semua instalasi listrik ditanam di bawah pasir, mereka khawatir jika air hujan merembes lalu menembus instalasi listrik, musibah yang tak diinginkan terjadi. Mabit di Muzdalifah dan Mina juga sukses, meski tersebar berita bohong di tanah air bahwa Mina dilanda banjir besar akibat hujan.
Saya merasakan sendiri bahwa kesuksesan itu adalah buah dari doa terus-menerus semua petugas haji diiringi kerja serius mereka yang seolah tak kenal lelah. Sampai detik-detik terakhir mabit di Mina Rabu (14/8/19) pukul 16:00, saya masih membaca perintah Kasatops Armuzna di grup WA agar mereka yang ditugaskan di area jamarat tidak meninggalkan tempat, padahal saya melihat sendiri dua jam sebelumnya tenda-tenda Indonesia sudah kosong.
Semua petugas diperintahkan menyisir lapangan sejak dari pos jaga masing-masing untuk memastikan tak ada satu pun bangsa Indonesia terlunta-lunta di lembah batu cadas dan kering bernama Mina.
Kerja keras dan komitmen kuat untuk membina, melayani, dan melindungi semua jemaah haji Indonesia saya rasakan bermula dari sosok Lukman Hakim Saifuddin sendiri yang kemudian diikuti oleh jajaran di bawahnya. Sebagai amirul hajj Indonesia, Lukman memikirkan nasib jemaah haji bahkan sejak ia masih berada di tanah air.
Ketika saya berada di Madinah, dari Indonesia Lukman rajin bertanya kepada saya tentang banyak hal, mulai dari katering, akomodasi, peran konsultan ibadah dan sebagainya yang berkaitan dengan kenyamaan jemaah. Di tanahsuci, saya tentu tak bisa mengarang cerita bohong hanya agar ia senang.
Maka, pernah suatu hari, selain banyak kabar baik, ada satu saja kabar buruk saya utarakan. Saya pikir Menag hanya akan mengucapkan terima kasih. Ternyata tidak. Reaksi Menteri Agama yang satu ini di luar dugaan saya: selama saya belum bisa memberikan data pendukung mengenai berita itu, selama itu juga dia terus mengejar saya dengan pertanyaan via Whatsapp.
simak artikel Kisah Menteri Agama, Sukses Haji dan Tuduhan Korupsi terkait di sini
‘’Ana tunggu ya. Soalnya sebagai AH (maksudnya Amirul Hajj) ana harus bertanggung jawab dunia akhirat atas kenyamanan jemaah,’’ tulisnya.
Betapa Lukman tak main-main dengan jabatan sekaligus kewajibannya sebagai amirul hajj juga terlihat ketika baru tiba di Madinah, ia telah memerintahkan tiga staf khususnya, Prof. Oman Fathurahman, Hadi Rahman, Ali Zawawi serta saya sebagai konsultan ibadah untuk rapat pukul 22:00. Padahal di Madinah ia belum istirahat dan di Mekkah ia harus melaksanakan umrah untuk kemudian memimpin rapat delegasi amirul hajj.
Lukman saya lihat benar-benar tidak ingin korupsi waktu dengan berleha-leha di tanah suci. Rapat dimulai pukul 22:30 dan baru selesai pukul 00:30, itu pun karena ia sudah tak kuat menahan kantuk. Dua hari kemudian, sang menteri tak segan-segan duduk di karpet bersama kami di ruang pengendali krisis, membahas semua potensi krisis yang mungkin terjadi pada musim haji tahun ini.
Komitmen kuat pada tugas seperti itulah yang saya tangkap dari sosok Lukman yang ganjarannya ia terima dalam bentuk komitmen yang sama kuat dari jajaran di bawahnya. Lihat saja saat wukuf di Arafah berlangsung, Dirjen PHU Nizar Ali dan semua direktur serta jajaran di bawah mereka tak ada yang mengenakan baju ihram. Bahkan semua tentara dan polisi Indonesia yang direkrut sebagai petugas perlindungan jemaah juga diperintahkan tetap berseragam.
Tujuannya adalah untuk memberikan dampak psikologis yang kuat kepada semua jemaah haji Indonesia bahwa mereka tidak dibiarkan sendirian di padang tandus Arafah, Muzdalifah dan Mina, ada petugas haji yang siap melayani dan melindungi mereka.
Tentu saja ini bukan sekadar komitmen, tapi bahkan pengorbanan. Demi tugas, mereka rela berkorban tak berbaju ihram asalkan jemaah jadi tenang merasa didampingi petugas berseragam. Ego pribadi telah mereka tundukkan, asalkan semua jemaah haji bisa bersaksi kepada Allah di Gurun Mahsyar nanti bahwa mereka benar-benar dilayani dan dilindungi. Tak heran jika menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS), indeks kepuasaan jemaah haji Indonesia terus meningkat sejak 2014 hingga 2018 secara berturut-turut di era Lukman. Dari tahun ke tahun, semua jemaah mengaku puas atas semua kerja keras, inovasi, juga komiten Menteri Agama dan semua jajarannya.
Namun, di tengah kebahagiaan dan rasa syukur menyaksikan komiten kuat Lukman dan para panitia penyelenggara haji tahun ini, kabar yang membuat saya sedih datang dari Indonesia. Beberapa kawan mengirimkan copy berita kepada saya bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengumpulkan bukti untuk menjerat Menteri Agama atas dugaan menerima dana korupsi mutasi jabatan di lingkungan Kemenag yang melibatkan mantan Ketua Umum PPP, Romahurmuzi.
Saya tentu sedih karena sejak awal sesungguhnya saya tak percaya Lukman Hakim Saifuddin, yang untuk ukuran tertentu saya kenal integritas pribadinya, tega melakukan korupsi atau menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi. Berangkat dari pengalaman saya berkawan dengannya selama puluhan tahun, saya menilai rasanya tak mungkin ia lakukan tindakan keji itu. Apa alasan saya?
simak artikel Kisah Menteri Agama, Sukses Haji dan Tuduhan Korupsi terkait di sini
Pertama, jumlah dana yang disangkakan kepadanya ‘’tidak banyak’’ untuk ukuran kasus korupsi selevel menteri, hanya puluhan juta rupiah sejauh yang saya baca dari media.
Kedua, ini penting, sejak 2016 Lukman gencar mendorong Trisna Willy, istrinya sendiri, untuk memimpin sosialisasi gerakan antikorupsi di bawah panji-panji ‘’Saya, Perempuan Anti Korupsi’’ (SPAK). Gerakan ini luar biasa: sebuah seminar raksasa antikorupsi dilangsungkan pada 1 Maret 2016 diikuti oleh pegawai Inspektorat Jenderal, DWP Unit Eselon 1 serta DWP Kanwil Kemenag dari 26 provinsi. Berbagai kegiatan ‘’training of trainers’’ antikorupsi juga dilakukan dari tingkat paling atas hingga level Kantor Urusan Agama (KUA), promosi dan kampanye antikorupsi juga dilakukan secara masif di media sosial.
Tegakah Lukman Hakim Saifuddin menerima uang haram ‘’segitu’’ setelah semua prestasi dan gerakan antikorupsi yang dia lakukan bersama istrinya?
Saya sadar, tulisan ini akan menimbulkan pro dan kontra. Sikap menolak akan ditunjukkan oleh para netizen yang selama ini sinis dan nyinyir terhadap Lukman ketimbang menimbang-nimbang argumentasi ilmiah. Untuk itu, sengaja diksi ‘’usai tawaf ifadhoh’’, atau ‘’tanah suci’’, saya ungkapkan di sini untuk menyatakan bahwa apa yang akan saya ceritakan di bawah ini adalah argumentasi ketiga mengapa saya tak percaya Lukman terlibat korupsi ‘’uang kecil’’.
Jangan buru-buru marah saya sebut ‘’uang kecil’’ karena kisah nyata di bawah ini melibatkan uang besar yang dengan ringan ditolak Lukman Hakim Saifuddin!
Dari tanah suci Mekkah, izinkan saya menyampaikan cerita yang tidak saya ungkapkan kepada banyak orang. Bahkan istri Lukman pun jangan-jangan baru tahu cerita ini dari membaca tulisan ini.
Pada 2005, atau 14 tahun dari sekarang, seorang pengusaha importir gula menemui saya. Dia bercerita bahwa ada satu kapal tanker gula pasir yang siap masuk ke Indonesia dengan syarat ada satu anggota DPR RI mau masuk dalam tim pengiriman. Sang pengusaha berjanji akan menyisihkan 50 sen dolar AS kepada saya dan kepada anggota DPR RI ini dari setiap kilogram gula pasir yang dia kirim. Perjanjian dibuat di depan notaris. Itu berarti saya dan siapa pun anggota DPR RI yang mau menerima tawaran ini bakal memperoleh Rp 4 miliar dari bisnis impor gula ini, dibayar tunai.
Saya banyak kenal anggota DPR RI saat itu, tapi wajah Lukman Hakim Saifuddin, anggota DPR RI dari Fraksi PPP, muncul kali pertama di pelupuk mata. Daripada rejeki nomplok ini saya bagi kepada orang lain, lebih baik kawan sendiri yang saya bagi. Toh kami sudah saling kenal sejak 1978, ketika kami sama sekolah di Gontor.
Maka, jadilah kami bertemu di sebuah kantin di lantai dasar gedung DPR RI. Wajah saya sumringah saat bertemu dengannya, terbayang jika bisnis kilat ini berhasil, sebuah rumah baru dan mobil baru bakal saya beli cash. Saya juga membayangkan Lukman segera memeluk saya tanda gembira bukan main. Tapi, betapa terkejut saya begitu cerita selesai saya ungkapkan, bukannya senang, Lukman sambil tertawa kecil malah menasehati saya begini:
‘’Ente nih, wartawan, biasanya mengkritik anggota dewan jika berbuat kayak begini, eh sekarang malah ngajak ane beginian …’’
Saya terkejut bukan main, tidak menyangka Lukman akan menunjukkan penolakan!
‘’Emang kenapa Luk,’’ sergah saya cepat. ‘’Emang ente pikir ini bisnis haram?’’
‘’Ane gak bilang ini bisnis haram. Hak setiap orang untuk berbisnis atau berdagang,’’ katanya dengan nada lembut. ‘’Tapi coba ente pikirkan, ada berapa banyak petani tebu dan pedagang gula lokal yang bakal tergusur gara-gara gula satu kapal tanker dari luar negeri masuk ke Indonesia. Ente pikir gula satu kapal tanker sedikit?’’
Lukman kemudian bercerita tentang rakyat kecil dan betapa pentingnya kita peduli pada bisnis mereka. Dia juga bercerita tentang keadilan sosial dan teori keberpihakan pada kaum marjinal. Ada cerita lain tapi sejak awal saya sudah tak mau mendengar. Ketika itu saya kecewa bukan main padanya. Dalam sekejap, hilang sudah kesempatan bakal punya rumah baru, mobil baru, dan sebagainya. Saya tak ingat lagi apa yang dia bicarakan, kecuali satu kalimat terakhir untuk menghibur saya sambil menunjuk piring di depan kami: ‘’Mending kita bahas makanan ini yuk …’’
Usai berpisah, saya tak berusaha mencari anggota DPR RI lain sebagai pengganti Lukman. Diam-diam, dalam perjalanan pulang, saya berguru kepada sahabat saya ini tentang bagaimana mencintai kemanusiaan dan membuang keserakahan. Sebagai anggota dewan, Lukman lebih leluasa dibanding saya melakukan ‘’keserakahan’’ dan tindakan melawan semangat kemanuisaan lainnya, tapi itu tidak dia lakukan. Benar saat itu saya kehilangan mimpi dapat Rp 4 miliar dalam sekejap, tapi saat itu juga saya menemukan kawan sekaligus guru yang mengajarkan integritas pribadi dan komitmen pada kemanusiaan.
Saya bukan hakim pengadilan, bukan pula Tuhan yang Maha Tahu isi hati setiap orang. Karena itu saya tak tahu pasti apakah kali ini Lukman Hakim Saifuddin sahabat saya benar-benar telah menerima uang korupsi dan itu berarti dia telah berkhianat terhadap integritas pribadinya sendiri yang pernah ia ajarkan kepada saya atau tidak. Hanya saja, jika orang lain boleh punya keyakinan, saya pun berhak punya keyakinan. Jika orang lain nyinyir karena yakin Lukman terlibat korupsi, saya juga yakin jika Rp 4 miliar saja dia tolak dengan alasan kemanusiaan, apalagi ‘’hanya’’ Rp 10 juta atau puluhan juta sekalipun.
Selamat kembali ke Jakarta dan bertemu seribu kemungkinan, kawan. Di sini di tanah suci Madinah ini, saya akan terus mengetuk pintu langit sambil bertanya di mana catatan tentang kisah Rp 4 miliar di antara kita Ia simpan.
Oleh: KH. Helmi Hidayat, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
________________
Semoga artikel Kisah Menteri Agama, Sukses Haji dan Tuduhan Korupsi ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..
simak artikel Kisah Menteri Agama, Sukses Haji dan Tuduhan Korupsi terkait di sini
simak video terkait Kisah Menteri Agama, Sukses Haji dan Tuduhan Korupsi di sini