Sejarah mencatat, para pendakwah Islam di Indonesia ini memiliki strategi yang unik ketika mengajarkan Islam. Sebut saja sembilan ulama yang tergabung dalam Dewan Walisongo, misalnya, mempunyai gaya dan strategi masing-masing dalam mengislamkan masyarakat Indonesia.
Sunan Kalijaga menggunakan kesenian wayang, Sunan Ampel, Giri dan Bonang menggunakan tembang-tembang atau lagu. Sementara Sunan Kudus mengambil simpati warga Hindu di Kudus dengan melarang umat Islam menyembelih Sapi. Karena Sunan Kudus tahu sapi merupakan hewan yang dikeramatkan oleh orang Hindu. (Agus Sunyoto, 2012). Dengan gaya dakwah semacam itu, masyarakat kemudian menaruh simpati dan lama kelamaan dengan senang hati memeluk agama Islam.
Seperti para Walisongo, Kiai Marzuqi Giriloyo juga memiliki strategi tersendiri ketika menyebarkan agama Islam di daerah Gunungkidul. Lalu apa strateginya?
Tahun 1931, ketika Kiai Marzuqi berdakwah di daerah Gunungkidul, belum banyak yang memeluk agama Islam. Kalau pun ada, hanya satu dua saja. Mayoritas masih memegang teguh ajaran nenek moyang, yakni kejawen. Nuansa mistis pun masih melingkupi daerah yang jaraknya dari Kota Yogyakarta sekitar 46,3 KM tersebut. Banyak warga yang sering diganggu bahkan kerasukan jin. Pun kadang ada penyakit aneh yang kadang datang tiba-tiba.
“Sampai ada satu desa terkena pagebluk penyakit. Empat puluh orang meninggal sekaligus dalam sehari,” kisah putra Kiai Marzuqi, Kiai Ahmad Zabidi saat ditemui bangkitmedia.com di ndalemnya, Senin (12/3).
Melihat kondisi masyarakat Gunungkidul seperti itu, Kiai Marzuqi yang memiliki bekal ilmu hikmah dari guru-gurunya, mengusir jin dan mengobati masyarakat yang sakit. Selain mendakwahkan Islam lewat pengajian-pengajian, Kiai Marzuqi juga menjadi tabib yang terkenal sakti mandraguna.
“Tidak ada jin yang tidak takluk pada Mbah Marzuqi. Beliau kemudian dikenal sebagai ahli hikmah dan ahli tumbal dusun. Pelan-pelan akhirnya masyarakat mau masuk Islam. Makanya, warga masyarakat Gunungkidul hormat sekali dengan Mbah Marzuqi. Sampai sekarang,” ungkap Kiai Zabidi.
Ketika dakwah ke Gunungkidul, Kiai Marzuqi jalan kaki seorang diri dari satu desa ke desa lain. Dalam satu minggu, Kiai Marzuqi bisa bolak-balik dari kediamannya di Giriloyo ke Gunungkidul hanya untuk berdakwah. Dari bulan Rojab sampai Maulud, jadwal Kiai Marzuqi penuh satu bulan ke Gunungkidul. Karena terbiasa jalan kaki itulah, fisiknya menjadi kuat dan sehat.
“Mbah Marzuqi bukan hanya ahli hikmah saja, beliau juga ahli kanuragan dengan didukung fisiknya yang kuat. Kalau mencangkul, perbandingannya kekuatan beliau itu satu banding tiga. Tapi anehnya, tidak ada satu pun anaknya yang kekuatan fisiknya seperti beliau. Etos kerjanya luas biasa,” kisah Kiai Zabidi sambil terkekeh.
Kiai Zabidi juga menuturkan bahwa saking kuatnya fisik Kiai Marzuqi, sebesar apa pun banjir yang ada di Sungai Oya, Kiai Marzuqi pasti menerjangnya.
“Jadi meskipun banjir besar, Mbah Marzui tetap berani menyebrang. Selain kuat batinnya, Mbah Marzuqi memang kuat fisiknya,” ungkap Kiai Zabidi.
Selain menggunakan strategi pengobatan, Kiai Marzuqi juga menggunakan strategi pendekatan kepada tokoh-tokoh berpengaruh di desa setempat ketika berdakwah. Hal itu disebabkan oleh kondisi masyarakat waktu itu yang sangat patuh kepada sesepuh desa. Apa kata sesepuh desa, masyarakat akan mematuhinya.
“Ketika tokoh-tokoh berpengaruh di sebuat tempat sudah memeluk Islam, maka masyarakat akan mengikutinya,” cerita Kiai Zabidi.
Begitulah strategi dakwah Kiai Marzuqi dalam mengislamkan masyarakat Gunungkidul. Tanpa kekerasan, tanpa pertikaian. Makanya, nama Kiai Marzuqi mendapatkan tempat sendiri di hati masyarakat Gunungkidul hingga hari ini. Al Fatihah. (rk/md/an)
*Tulisan ini merupakan hasil wawancara tim bangkitmedia.com dengan KH. Ahmad Zabidi Marzuqi, putra KH. Ahmad Marzuqi Romli, pada Senin (12/3/18)