Membaca sejarah NU DIY, terkhusus NU Kulon Progo, tak bisa lengkap tanpa menyertakan sosok kiai yang berpetualang dalam dakwahnya, yakni KH. Chasan Tholabi. Memang tidak pernah menjadi tokoh utama di jajaran kepengurusan NU DIY, tetapi Kiai Chasan menjadi aktor penting di balik gerak perjuangan para tokoh NU DIY. Kalau NU Kulon Progo, jangan tanya lagi, Kiai Chasan adalah tokoh utama berkibarnya NU di Kulon Progo.
Hubungan darah dengan Pesantren Krapyak menjadi energi yang luar biasa dalam diri Kiai Chasan. Sebagai keponakan sekaligus murid Kiai Munawwir Krapyak, Kiai Chasan tanpa ragu untuk mewakafkan dirinya dalam perjuangan di NU. Berjuang di NU adalah amanat sejarah, tak bisa ditolak.
“KH Abdullah Rosyad punya banyak anak, 4 diantaranya adalah laki-laki. Kiai Munawwir, Kiai Amiruddin, Kiai Muhdi, dan Kiai Abdurrahman. Keempat bersaudara ini ngaji di Mekah. Sepulang ke Yogya, semua sepakat agar anak cucunya selalu berjuang di Nahdlatul Ulama,” tegas Kiai Su’adi, putra Kiai Chasan yang melanjutkan kepemimpinan Pesantren Pesawat Wates, Jum’at (23/2).
Karena berada di Krapyak sejak kecil, Kiai Chasan sudah sangat dekat dengan tradisi berjuang di NU. Terlebih ada Kiai Ali Maksum yang sejak di Krapyak telah menghidupkan NU DIY dengan penuh semangat. Barisan santri dan kiai muda di bawah ketokohan Kiai Ali menjadi wajah baru sejarah NU DIY sampai hari ini, termasuk Kiai Chasan Tholabi.
Sepanjang di Krapyak, Kiai Chasan menjadi penggerak yang sangat tangguh. Selain energi yang kuat, visi yang luar biasa, juga arahan Kiai Ali Maksum, jalan menghidupkan NU dilakukan Kiai Chasan melalui gerakan masyarakat bawah. Kiai Chasan merawat NU dari paling bawah, dari ranting. Keliling dari satu desa ke desa lain untuk membina jama’ah pengajian warga NU, tanpa henti dan tanpa lelah. Itu dilakukan sepenuh ketulusan, padahal di tengah tuntutan ekonomi keluarga yang tidak mudah.
Kiai Chasan keliling menyapa warga NU di bawah, mulai yang tua sampai yang muda. Dihidupkan jaringan ranting ini, sehingga NU begitu berwibawa dan sangat berpengaruh di masyarakat bawah. Silaturrahim tidak pernah berhenti, karena itulah jalan dakwah Kiai Chasan untuk menguatkan gerakan NU. Jalan panjang dan berliku dalam keliling ini dilakukan penuh energi, sampai Kiai Chasan ini pindah-pindah tempat kontrakan. Antara Bantul dan Kota Yogya terus berganti kontrakan.
Pergerakan Kiai Chasan saat itu adalah masa kaderisasi. Ini juga jalan gerakan yang dibangun Kiai Ali Maksum. Makanya, Kiai Chasan selalu konsultasikan gerakan dakwahnya kepada Kiai Ali. Peta gerakan di bawah selalu dianalisa, sehingga ditemukan arah peta dakwah sekaligus solusi yang harus dijalankan.
Sebelum pindah ke Wates tahun 1970, Kiai Chasan selalu menemani perjuangan Kiai Ali. Kiai Chasan juga mendidik kader-kader muda saat itu, seperti Kiai Saiful Mujab, Kiai Aly As’ad, dan lain sebagainya. Jiwa kiai plus aktivis yang melekat dalam diri Kiai Chasan menjadi salah satu energi anak muda Krapyak saat itu. Apalagi Kiai Chasan dikenal sebagai sosok yang sakti, berani bersuara kepada siapa saja.
Masa tahun 1960-an, dimana geger republik memuncak tahun 1965, Kiai Chasan tampil di depan dalam membela NU. Ketika geger PKI, atas restu Kiai Ali Maksum, maka Kiai Chasan mewakili NU DIY untuk bersuara lantang, bahwa siapa saja yang berani mengganggu kiai dan NU, maka harus berhadapan dengannya. Beliau adalah penggerak Ansor dan Banser untuk selalu berani dan siaga dalam menjaga kiai dan NU.
Di masa kepengurusan Kiai Suwardiyono, saat itu Majalah Bakti Kemenag DIY menghina santri dan NU terkait tahlilan dan kenduren. Ada tulisan puisi yang sangat menyudutkan santri dan NU. Kiai Chasan tampil di depan, mengajak Kiai Suwardiyono untuk protes Kepala Kemenag saat itu. Tanpa basa-basi, tanpa takut sedikitpun. Akhirnya, Kemenag minta maaf.
Bagi Kiai Chasan, NU harus berani kalau memang itu didasari oleh ajaran agama. NU jangan pernah takut bersikap, karena landasannya sudah jelas. Kalau NU tidak bersikap dan bergerak, maka NU akan direndahkan. Kiai Chasan tak pernah rela NU direndahkan, karena NU itu organisasi yang dirikan para kiai, para wali Allah. Bukan organisasi biasa yang hanya didirikan menuruti hawa nafsu dan kepentingan sesaat. NU itu beda, organisasi para ulama yang merupakan pewaris para Nabi.
1970, Mengibarkan Bendera NU Kulon Progo
Setelah ikut serta dalam menguatkan NU DIY, Kiai Chasan akhirnya pindah ke Wates tahun 1970. Bersama keluarganya, Kiai Chasan memulai jalan baru dalam hidup dan dakwah. Saat itu juga, Kiai Chasan mengajak para kiai di Kulon Progo untuk mengibarkan bendera NU. Kalau sebelumnya NU bergerak secara kultural, maka sejak tahun 1970 inilah NU Kulon Progo bergerak penuh secara struktural. Sejak saat itu juga, Kiai Chasan menjadi Ketua Tanfidziyah NU Kulon Progo. Sedangkan Syuriahnya adalah KH Suyuti, kiai sepuh yang dihormati saat itu.
Baca Juga : Kiai Chasan Tholabi, Pendekar NU DIY Pada Masanya
Duet kepemimpinan Kiai Suyuti dan Kiai Chasan ini menjadikan bendera NU di Kulon Progo berkibar makin tinggi. Walaupun rintangan tidak sedikit, tetapi semangat membangun NU tak pernah mengenal lelah. Kiai Chasan sebagai tanfidziyah terus bergerak sampai bawah, melanjutkan apa yang sudah dilakukannya ketika berada di Krapyak. Sembari mengisi pengajian di berbagai jama’ah di kampung, Kiai Chasan juga menggerakkan para tokoh untuk menghidupkan NU Kulon Progo di daerahnya masing-masing.
Perjuangan Kiai Chasan mendapatkan dukungan penuh dari saudara dan gurunya, yakni Kiai Ali Maksum. Setiap kali Kiai Ali melewati Wates, pasti Kiai Ali menyempatkan diri untuk silaturrahim di kediaman Kiai Chasan.
“Kiai Ali itu sangat perhatian. Luar biasa. Beliau selalu menyempatkan diri ke rumah Wates. Padahal dari perjalanan jauh, tetap saja Kiai Ali sempatkan itu. Inilah yang selalu mendorong semangat bapak semakin membara, mengibarkan bendera NU ke berbagai pelosok desa di Kulon Progo,” tegas Kiai Su’adi, putra Kiai Chasan, mengenang masa-masa yang penuh perjuangan, walaupun usianya saat itu masih muda.
“Pernah suatu hari, bapak sowan kepada Kiai Ali dan meminta Kiai Ali untuk mengisi pengajian di Pesantren Pesawat. Saat itu, Kiai Ali sudah jadwal. Tetapi karena yang meminta bapak, Kiai Ali lebih memilih mendatangi acara di Wates dari pada daerah lain,” lanjut Kiai Su’adi.
Ini wujud nyata pendampingan yang dilakukan Kiai Ali atas perjuangan Kiai Chasan dalam menghidupkan NU di Kulon Progo. Dari hal-hal yang demikian inilah, wajah NU Kulon Progo terus berkembang sampai sekarang.
Tahun 1982, Kiai Suyuti wafat. Maka, Kiai Chasan langsung naik menjadi Syuriah. Sampai Kiai Chasan wafat tahun 1991, jabatan Syuriah masih disandangnya. Ini wajar, karena ketokohan Kiai Chasan dan semangat perjuangannya yang luar biasa, selalu memberi energi kader-kader muda NU Kulon Progo saat itu untuk terus berjuang di NU.
Jabatan apapun yang disandang Kiai Chasan, jalan perjuangannya di NU selalu penuh semangat dan penuh energi. Masa sepunya, Kiai Chasan tetap keliling menyapa warga NU di berbagai pelosok desa. Jejak-jejak perjuangan Kiai Chasan inilah, salah satunya, yang membentuk semangat NU Kulon Progo terus menyala sampai hari ini.
Tahun 1991, Kiai Chasan wafat. Warga NU Kulon Progo sangat berduka. Tetapi anak-anak muda yang semangatnya dibina oleh Kiai Chasan terus melanjutkan perjuangan. Sampai hari ini. Iya, sampai hari ini. (anas/rohim/madun).