KH Ali Maksum, Kiai Reformis Penjaga Khittah NU

Kiai Ali Maksum Krapyak dan Kisah Santri yang Tidak Jadi Kuliah

Jagad ke-NU-an di nusantara tentu tidaklah asing dengan KH. Ali Maksum. Kiai yang lahir di Lasem, 2 Maret 1915 ini, adalah tipikal kiai yang reformis terhadap pesantren dan terbuka dengan pengetahuan. Beliau lahir sebagai putra sulung dari pasangan KH. Maksum bin Ahmad dan Nyai Nuriyah. Ayahnya mendirikan dan memimpin pesantren al-Hidayah di tengah kota Lasem, sebuah kota kecil di pesisir utara pulau Jawa. Kini, Lasem termasuk ke dalam kabupaten Rembang.

Sewaktu kecil, Ali belajar langsung kepada ayahandanya. Pada usia yang masih sangat belia, ia dikirim ayahnya untuk belajar di Pekalongan kepada Kiai Amir. Saat ia menginjak usia 12, KH Maksum mengirim Ali kecil untuk menimba ilmu ke Termas, Pacitan, Jawa Timur, di bawah asuhan KH. Dimyati, adik kandung Syeikh Mahfudz at-Tarmasi. Ali Maksum kecil belajar di pesantren ini selama delapan tahun, sampai usia 20 tahun.

Bacaan Lainnya

Ketika di Tremas, Ali Maksum tidak tinggal di pesantren, melainkan tinggal di ndalem. Karena kecerdasannya yang di atas rata-rata, KH. Dimyati membiarkan Ali Maksum mengakses bacaan yang tidak lazim di pesantren, semacam karya Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Ibn Taymiyah. Akses terhadap teks-teks unik dan langka tadi tidak mungkin terjadi tanpa penguasaan yang mendalam dan luas dalam bahasa Arab.

Baca JugaRahasia KH Ali Maksum Melahirkan Generasi NU yang Brilian

Hal inilah yang kemudian membuat Ali Maksum muda mendapat gelar “Munjid Berjalan”, mengacu pada kamus/ensiklopedi Munjid karya Louis Ma’luf, orientalis abad ke-19. Penguasaannya terhadap bahasa Arab pulalah yang mengantarkan Ali Maksum untuk bisa melahap majalah-majalah dari Timur Tengah berbahasa Arab.

Karena banyaknya bacaan inilah, cakrawala pengetahuan dan ide progresif Ali Maksum muda bermunculan. Atas berbagai pertimbangan, beliau kemudian mengusulkan adanya organisasi kepanduan di pesantren. beliaulah yang kemudian diangkat sebagai ketuanya membawahi 2000-an santri. Di organisasi inilah bakat kepemimpinan, jiwa nasionalisme, dan keorganisasiannya terasah secara mendalam. Hingga beliau diamanahi untuk menjadi kepala madrasah dalam usia yang sangat muda.

Menginjak usia 20 (tahun 1935), beliau diminta pulang ke Lasem, membantu ayahnya di Pesantren al-Hidayah. Di pesantren ini, Kiai Ali mengajar disiplin ilmu bahasa arab dan Tafsir Al-Qur’an yang menjadi kegemaran dan spesialisasinya selama belajar di pesantren Tremas. Selain mengajar, beliau juga membenahi sistem pendidikan dan pengajaran pesantren. Semangat pembaharuan mulai beliau tiupkan, dan ternyata mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, karena pembaharuan yang diterapkannya sama sekali tidak mengancam keberadaan pesantren berikut segala pranatanya, melainkan justru menguatkan-nya.

Tiga tahun kemudian, Kiai Ali menikah dengan Nyai Hasyimah, putri KH. M. Munawwir pengasuh pesantren al-Munawir Krapyak. Beberapa waktu sesudah menikah, beliau ditawari oleh H. Djuned, seorang saudagar dari Kauman Yogyakarta untuk naik haji. Kesempatan ini tidak ia sia-siakan. Kai Ali Maksum kemudian naik haji dan mukim di Makkah selama kurang lebih tiga tahun, sampai 1941.

Selama tiga tahun inilah, beliau belajar kepada banyak ulama besar di Makkah, seperti Sayyid Alawi Al Maliki dan Sayyid Umar Hamdan. Sekembali dari Makkah, beliau kemudian kembali mengabdi di pesantren ayahnya. Tak berselang lama, KH Ali Maksum diminta oleh ibu mertuanya agar diboyong ke Krapyak. Hal ini karena pesantren Al-Munawir ditinggal meninggal oleh pendirinya, KH. M. Munawwir, Juli 1942. Sedangkan generasi penerus masih relatif muda, yakni KH. Abdullah Affandi (24 tahun) dan KH. Abdul Qodir (22 tahun).

Di sela-sela kesibukannya sebagai pengajar dan pengasuh pesantren Al-Munawwir Krapyak, Kiai Ali sejak masa-masa awal sudah simpatik terhadap jam’iyyah NU. Atas kerja kerasnya, kealiman, serta keutulusannya dalam berkhidmat, beliau diamanahi untuk menjabat sebagai Rais ‘Aam PBNU (1981 – 1984), menggantikan posisi KH. Bisri Syansuri yang wafat tahun 1981.

Baca JugaWasiat KH Ali Maksum yang Paling Dikenang

Selama memimpin NU, Kiai Ali oleh banyak kalangan disebut sebagai “penyelamat NU”, karena berbagai jasanya. Pertama, ketika muncul krisis kepemimpinan di NU dan kesulitan memilih orang yang tepat untuk jabatan Rais ‘Aam pengganti KH Bisri Syansuri, Kiai Ali bersedia dipilih sebagai Rais ‘Aam pada 1981 melalui Munas Alim Ulama NU di Kaliurang Yogyakarta. Kedua, ketika NU dilanda kemelut tahun 1983 dengan pengunduran diri DR. Idham Kholid sebagai Ketua Umum PBNU (yang belakangan lalu dicabutnya kembali), akibat perseteruan antara kelompok Cipete pimpinan DR. Idham Kholid, dengan kelompok Situbondo pimpinan KH As’ad Syamsul Arifin, Kiai Ali tampil merangkap jabatan sebagai Rais ‘Aam sekaligus Ketua Umum PBNU untuk membenahi persiapan Muktamar Situbondo 1984, yang menghasilkan keputusan strategis dan monumental, yaitu mengembalikan NU ke khittah 1926.

Ketiga, ketika ada gejolak sebagian aktivis yang ingin menggoyang Khittah NU 1926 dan membelokkan NU ke partai politik, serta usaha mendongkel Gus Dur dari posisi Ketua Umum PBNU di Munas Alim Ulama NU di Cilacap akhir 1987, maka dengan kewibawaan dan kekarismatikannya Kiai Ali mampu menjadi penjaga gawang sehingga dapat meredam gejolak tersebut.

KH. Ali Maksum wafat di hari Kamis malam Jum’at, tanggal 7 Desember / 15 Jumadil Awwal 1989 dalam usia 74 tahun. Jenazahnya dilepas dari Masjid Pesantren Krapyak setelah shalat Jum’at dan dikebumikan berdampingan dengan makam KH. M. Munawwir di dusun Senggotan (Dongkelan), Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. (Anas)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *