Dini hari, sekira pukul 01.00-02.00 WIB, di tahun 1982, sembilan tahun sebelum Kiai Marzuqi Giriloyo wafat, Pondok Pesantren Ar-Ramli Giriloyo geger. Ibu Nyai dan para santri panik. Kepanikan tersebut dikarenakan sang pengasuh Kiai Marzuqi hilang tak berbekas.
Ceritanya bermula ketika Kiai Marzuqi shalat tahajud di mushola. Waktu itu, Ibu Nyai melihat sendiri Kiai Marzuqi memasuki mushola untuk shalat tahajud. Ditunggu satu jam sampai dua jam, Kiai Marzuqi tidak jua kembali. Akhirnya Ibu Nyai menyusul Kiai Marzuqi ke mushola. Alangkah terkejutnya Ibu Nyai ketika tidak menemukan Kiai Marzuqi di dalam mushola. Sementara sandal Kiai Marzuqi berada di luar mushola.
Kabar hilangnya Kiai Marzuqi membuat seluruh pesantren panik. Betapa tidak, waktu itu, usia Kiai Marzuqi sudah mencapai 80-an tahun. Jelas usia yang tidak muda lagi. Kemana gerangan Kiai Marzuqi pergi? Begitu pertanyaan Ibu Nyai dan para santri yang tidak henti mencari-cari.
Sampai matahari terbit, Kiai Marzuqi tidak jua diketemukan. Wajah-wajah panik semakin terlihat. Tidak hanya pesantren yang geger, warga desa juga merasakan hal yang sama setelah mendengar kabar hilangnya ulama panutan mereka.
Baca Juga: Kesaksian Gus Miek atas Kewaliyan Mbah Marzuqi Giriloyo
Di tengah kepanikan Ibu Nyai, para santri dan para warga, muncullah Kiai Marzuqi. Beliau pulang ke pesantren dengan banyak sekali dedaunan yang menempel di bajunya. Belum sempat Ibu Nyai menanyakan soal kepergiannya, Kiai Marzuqi bercerita dengan sendirinya.
“Semalam, saya dipanggil Sunan Cirebon,” cerita Kiai Marzuqi.
Sunan Cirebon adalah nama lain dari Pangeran atau Panembahan Giriloyo menantu Sultan Agung, salah seorang Raja Mataram Islam yang terkenal. Jenazah Sunan Cirebon yang berasal dari Cirebon tersebut dikebumikan di sebuah pemakaman yang terletak di atas bukit, di Desa Wukirsari, Giriloyo, Imogiri, Bantul. Makam ini berjarak sekitar 17 KM dari Kota Yogyakarta. Kompleks pemakaman yang kemudian dikenal dengan nama Makam Sunan Cirebon ini dibangun oleh Sultan Agung sekitar tahun 1788 M.
Kembali ke Kiai Marzuqi.
“Kalau saya meninggal, saya ingin dimakamkan di sebelah kompleks pemakaman Sunan Cirebon. Tapi saya diingatkan sama Sunan Cirebon. Dilarang. Tidak boleh buat makam di sana. Boleh. Asalkan tidak diberi cungkup,” kata Kiai Marzuqi.
Saya ngotot, lanjut Kiai Marzuqi, makam Rasulullah Saw., saja boleh diberi cungkup.
“Masa makam saya tidak boleh,” kata Kiai Marzuqi ngotot.
Meski Kiai Marzuqi ngotot, Sunan Cirebon tidak mengizinkan. Akhirnya Kiai Marzuqi mengalah. Kiai Marzuqi kemudian berniat membuat makam di sebelah barat mushola yang didirikannya, di tanah yang juga didirikan pesantren di atasnya.
“Waktu kejadian itu, saya masih di Makkah,” ungkap Kiai Zabidi.
Baca Juga: Kisah Nyantri Mbah Marzuqi Giriloyo
Karena itulah, Kiai Marzuqi kemudian memberikan wasiat kepada putra-putranya untuk membuat makam di sebelah barat mushola. Sebuah wasiat yang diberikan sebulan jelang beliau wafat.
Kejadian yang terjadi pada dini hari itu menyisakan tanya di benak Ibu Nyai, para santri dan warga masyarakat. Bagaimana caranya Kiai Marzuqi yang waktu kejadian sudah berusia 80-an, pergi ke kompleks Makam Sunan Cirebon yang berada di atas sebuah bukit pada dini hari? Juga pertanyaan mengapa Sunan Cirebon tidak mengizikan Kiai Marzuqi membuat makam di dekat Kompleks Makam Sunan Cirebon? Wallahu A’lam. Al Fatihah. (rk/md/an)
*Tulisan ini merupakan hasil wawancara tim bangkitmedia.com dengan KH. Ahmad Zabidi Marzuqi, putra KH. Ahmad Marzuqi Romli, pada Senin (12/3/18)