Ketika Bisa Foto dan Minta Doa Mbah Moen untuk Anakku

Saya dan Mbah Moen…

Apa arti Mbah Moen buat saya?

Begini…

Dua bulan lalu, saat idul fitri, saya tergolong salah satu tamu yang ndablek, berani meminta langsung ke Mbah Moen untuk foto bersama beliau. Padahal, saat itu kang-kang ndalem (yang selalu dipanggil “Cung” oleh Mbah Moen) sudah melarang. Dua tiga tamu sebelumnya yang mengeluarkan smart phone untuk mengambil foto langsung dikode oleh si Akang, dibisikin untuk memasukkan kembali smart phonenya. Artinya, tidak boleh mengambil foto.

Bacaan Lainnya

Giliran saya untuk salaman pamitan, saya langsung matur ke Mbah Moen bahwa saya minta foto berdua. Dan bukan hanya mengijinkan, Mbah Moen memanggil si Akang yang tadi untuk mengambil alih hp saya dan memfoto kami.

Saya mau mundur ke belakang sedikit. 3 atau 4 tahun yang lalu, saat sowan idul fitri juga. Seperti biasa kami sowan selalu bareng-bareng sekeluarga (Abah mertua serombongan anak-mantu). Nah, saat itu di antara keluarga yang sowan, saya paling akhir salaman pamitan. Saat salaman, Mbah Moen nanya: “Sopo iki?” Saya menjawab bahwa saya mantunya Abah (mertua saya). Setelah mendengar jawaban itu, Mbah Moen langsung menyeret tangan saya dan didudukkan di sebelah beliau. Ya, di kursi panjang itu bersama beliau. Betapa kagetnya saya didudukkan di sebelah beliau. Seingat saya, saya sempat tidak beranjak karena merasa tidak layak, namun tangan saya diseret ke atas sama beliau.

Saya tidak terlalu ingat apakah kemudian saya mijit kaki beliau selama duduk di sebelah itu. Yang jelas, saya sempat mau pamit, tapi tetap ditahan untuk duduk di situ. Jadilah, sekira lebih dari satu jam saya menemani duduk di sebelah beliau, menerima tamu idul fitri, sambil ngobrol. Sangat rikuh karena Mbah Moen lebih banyak ngobrol sama saya dari pada tamu-tamu beliau yang datang dan pergi. Beberapa tamu yang berpamitan bahkan mencium tangan saya setelah mencium tangan Mbah Moen. 😊

Keluarga Abah mertua di rumah heboh karena kehilangan saya. Sampai kemudian Abah sendiri yang menyusul ke ndalem Mbah Moen dan menemukan saya duduk khusyuk di sebelah beliau. “Tak silih sedhelok mantumu…” demikian kira-kira Mbah Moen begitu melihat Abah mertua datang menjemput. Baru kemudian Mbah Moen mengijinkan saya pamitan dan pulang bersama Abah.


Sekira 8 tahun yang lalu, ketika hendak sowan idul fitri, saya menggendong anak mbarep, Aufa, dan berniat minta doa khusus ke Mbah Moen. Seingat saya, keluarga meragukan apakah saya bisa minta doa secara khusus di tengah membludaknya tamu seperti itu. Nah, kebetulan selsai sowan dan saya masih di ndalem beliau, memasuki waktu dzuhur dan Mbah Moen hendak ke mushalla untuk salat jamaah. Saya melakukan doorstop sambil menggendong Aufa. “Nyuwun doaipun kangge putro kulo Mbah,” begitu kira-kira. Mbah Moen berhenti, baca doa sebentar, lalu memasukkan jari beliau ke mulut beliau sendiri, lalu ke mulut Aufa. Alhamdulillah….

9 September 2007. Ini adalah tanggal bersejarah bagi saya dan keluarga kecil saya. Pagi itu, di antara jadwal beliau yang sangat padat, Mbah Moen berkenan mengakadkan pernikahan kami. Betapa bangganya saya yang sebelumnya hanya bisa mengagumi beliau dari jauh, hari itu dinikahkan langsung oleh beliau.

Saya bukan siapa-siapa. Mbah Moen mungkin tidak mengenal saya secara pribadi. Lalu mengapa saya bisa seberuntung itu? Selain sikap bersahaja, welas asih, dan humble beliau, tentu saja ada sebab lainnya. Abah mertua saya adalah kawan (seperjuangan) Mbah Moen sejak muda. Melalui wasilah Abah mertua itulah saya mendapat banyak keberkahan dan intensi interaksi dengan Mbah Moen langsung. Jarak rumah istri saya dengan ndalem Mbah Moen hanya sekitar 300-400 meter.

Jadi, seperti murid-murid yang lain di seantero Sarang, Rembang, Jawa Tengah, maupun di seantero negeri ini, Mbah Moen adalah guru kami, orang tua kami, bagian penting dari keluarga kami di Sarang. Bukan hanya karena jarak yang dekat, namun juga karena ikatan emosional, pertemanan dengan Abah, dan kekerabatan. Kapundutnya beliau adalah kehilangan yang sangat bagi kami.

Satu tiang penyangga penting bangsa ini telah tunai dengan tugasnya. Semoga lahir tiang-tiang kokoh berikutnya. Semoga lahir Mbah Moen-Mbah Moen berikutnya yang menjaga negeri ini dengan spiritualitas, kebijaksanaan, dan welas asihnya.

Sugeng tindak Mbah Moen….

Penulis: Anick Ht.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *