Kejutan Piala Dunia 2018 dan Pilkada Yang Mengejutkan

kh helmi ali

Oleh: KH Helmi Ali, Jakarta

Kajutan bisa berarti goncangan, guncangan (shock), atau keheranan atau takjub (suprise). Kejutan terjadi karena sesuatu yang datang tiba-tiba, menyengat. Tidak selalu tidak diduga, tetapi karena hitungan-hitungan akal, karena harapan, datangnya dari arah tak diduga, maka mental kita tidak siap menerimanya, maka seperti datang tiba-tiba, menyengat kita. Belakangan ini banyak kejutan (shock) yang terjadi, mulai dari peristiwa internasional, sampai kepada nasional dan lokal. Maka seseorang bisa mendapat kejutan bertubi-tubi.

Bacaan Lainnya

Pertama-tama ada Piala Dunia 2018, di Rusia, yang berkali-kali mendatangkan kejutan. Ini adalah ajang tertinggi dalam sepakbola (sehebat apapun pemain itu, sebanyak apapun gelar yang direngkuh, kalau tidak pernah memenang piala dunia, tetap dianggap tidak sempurna karirnya).

Mula-mula penggemar sepakbola tercengang ketika Argentina (salah satu unggulan, yang punya sejarah panjang dan tradisi kuat dalam dunia sepak bola) ditahan imbang Islandia (negeri es yang tidak punya sejarah dan tradisi sepakbola); lalu para penggemar Argentina lebih terguncang, shock, ketika kalah (0-3) dari Kroasia; Krosia (dulu bagian dari Yugoslavia) memang juga tergolong punya sejarah dan tradisi hebat, tetapi kalah jauh dari Argentina (dua kali juara dunia). Namun yang lebih membuat penggemar mengalami shock berat adalah ketika Jerman kalah oleh Korsel (O-2) dan tersingkir dari Piala Dunia.

Sama seperti Argentina, Jerman adalah negara sepak bola dengan sejarah dan tradisi besar dalam piala dunia. Jerman empat kali juara piala dunia; prestasi ini hanya kalah dari Brazil (lima kali juara). Jerman, Italia (masing-masing empat kali juara), Brazil (lima kali juara) Argentina dan Uruguay (masing-masing dua kali juara) dianggap penguasa Piala Dunia, ajang tertinggi dalam dunia sepak bola. Mengatasi Spanyol, Inggeris, dan Prancis (yang baru sekali juara).

Bahkan Jerman punya catatan tersendiri, melibihi yang lain. Negara ini dianggap spesialis jagoan piala dunia, karena sulit sekali dikalahkan di ajang ini. Mereka dianggap punya mental baja, mental juara, karena hampir selalu bisa membalikkan keadaan (kalah diawal tapi kemudian menang pada laga berikutnya dan melangkah lebih jauh). Sebelumnya tidak pernah tersingkir dibabak penyisihan group (babak pertama piala dunia). Gaya mainnya seperti panser, meskipun dihantam bertubi-tubi, selalu bisa menyeruduk kedepan, karena itu digelari der panzer. Karena itu juga muncul mitos, spesialis piala dunia, sulit sekali dikalahkan di ajang piala dunia. Dianggap punya DNA piala dunia, yang tidak dipunyai yang lain.

Ketika dikalahkan Mexico pada pertandingan pertama di groupnya, penggemar sepak bola mengganggap hal biasa, dan yakin Jerman tetap bisa melangkah lebih jauh. Orang semakin yakin ketika pada pertandingan berikutnya Jerman bisa membalikkan keadaan (dari tertinggal 0-1) menang 2-1 atas Swedia. Baru setalah kalah dari Korsel (0-2) dan tersingkir lebih awal dari piala dunia orang-orang, terutama penggemarnya, mengalami guncangan besar, shock.

Maka jangan coba-coba bercanda dengan orang (meskipun bukan orang Jerman) yang memiliki fanstisme kepada Jerman. Kita bisa dibuat balik mendapat kejutan; dibentak atau dimaki habis-habisan tanpa ujung pangkal (maksudnya tidak faham kenapa bisa marah dan marahnya bisa merembet kemana-mana). Menjadi sebuah kejutan, karena orang itu bisa jadi kelihatan dewasa, atau kita menganggapnya dewasa, matang, jadi tidak problem kalau bergurau dengannya. Kalau marah, ya marahnya sedikitlah; tidak meledak. Boleh jadi peristiwa Jerman tersingkir hanyalah sebuah pemicu, ada berbagai persoalan tapi ada di dalam benaknya (salah satunya, misalnya, pilkada, pilres, dsb).

Tetapi apapun, berang, marah, tersinggung, kemudian meledak, tidak terkontrol, adalah sikap kekanak-kanakan. Dan itu juga mendatang kejutan. Jadi hati-hati, banyak orang yang bersikap kekanak-kanakan, dan itu bisa merusak hubungan.

Di tingkat nasional atau lokal kita juga mendapat kejutan. Dalam pilkada kali ini, misalnya, ada calon bupati atau walikota yang dikalahkan oleh kotak kosong (menurut hasil hitung cepat lembaga profesional yang memang kerja menghitung cepat hasil pemilu). Artinya tidak ada lawan, tapi kalah. Mungkin ada yang sudah menduga sebelumnya. Tetapi tetap saja sebuah kejutan. Karena kasus seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Memang tampaknya urusannya masih panjang. Karena pihak ‘seng ada lawan’, (bahasa Ambon), tapi kalah (makan seng mulut rompal) tidak percaya dengan hasil hitung cepat lembaga (yang memang kerjanya menghitung cepat hasil pemilu) yang profesional.

Tetapi, bagi saya apapun yang (akan) terjadi ini adalah sebuah kejutan. Ini adalah realitas yang tidak bisa ditolak. Seharusnya bisa menjadi bahan pelajaran: bahwa rakyat ternyata bisa menentukan sendiri pilihannya, ketika (dipaksa) tidak mempunyai pilihan; bahwa parpol bisa kehilangan daya pikat ketika rakyat merasa bosan dengan gaya kepemimpinan yang hanya melihat rakyat sebagai obyek, tidak punya daya, tidak punya pilihan (ditentukan oleh pihak lain); menganggap penglihatan dan pendengarannya bisa dibuat tidak berfungsi (padahal mereka itu punya pengalaman real) dengan rayuan maut dari lidah yang tak bertulang; bahwa kekuasaan dan kekuatan uang bukanlah segalanya, mengatasi etika dan moralitas.

Seharusnya kasus ini, terutama bagi pihak yang terlibat langsung dengan peristiwa ini, menjadi bahan renungan, untuk memeriksa dan memperbaiki diri (bersikap dewasa); tidak kemudian berargumentasi macam-macam menyalahkan pihak lain (bersikap kekanak-kanakan), dan melakukan hal-hal yang bisa semakin merosotkan martabat dan wibawa sendiri.

*Tulisan diambil dari status facebook KH Helmi Ali, 29 Juni 2018.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *