Kejernihan Batin Mbah Maimoen Zubair, Waliyullah Asal Tanah Jawa (1)

Abdul Adzim Irsad, alumnus Universitas Ummul Qura Makkah, tinggal di Malang.

Kalau memperbincangkan NU jaman Now, tidak terlepas dari Kiprah KH Maimoen ‎Zubair. Beliau satu-satunya Kyai yang memahami kultur NU secara utuh, sekaligus ‎menjadi contoh nyata bagaimana cara mencintai bangsa Indonesia ala santri NU. Nah, ‎mengikuti langkah Mbah Maimoen Zubair berarti telah mengikuti langkah KH Hasyim ‎Asy’ari, yang sanad ilmunya nyambung dengan Syekh Muhammad Yasin Alfadani, ‎Syekh Mahfudz At-Turmusi, Syekh Zaini Dahlan, Syekh Nawawi Albantani. Mereka ‎adalah “Al’lamu Makkiyin yang berasal dari Nusantara. ‎

Bacaan Lainnya

Secara khusus, saya menulis sebuah buku dengan judul “Qurratul Aini fi A’lami ‎Indonesia fi Al-Baladi Al-Haram” yang berkisah tentang kiprah, nasab, dan sanad ulama ‎Indonesia yang bermukim di Makkah. Hampir semua Ulama Nusantara, memiliki ‎keterkaitan langsung dengan ulama-ulama di atas.‎

Ratusan Ulama Nusantara sejak ber-abad-abad bermukim di Makkah, sebagian besar ‎mengajar, menjadi Imam Masjidil haram. Sebagian besar mengikuti akidah Asy’ariyah, ‎sementara Madzhabnya adalah Imam Al-Syafii. Menariknya, sebagian besar dari mereka ‎adalah pengikut thoriqoh sufiyah. Tidaklah heran, jika kemudian sebagian besar ulama ‎Nusantara, baik yang bermukim di Makkah, atau yang kembali dan mendirikan ‎pesantren di Nusantara paling suka ngaji kitab Ihya Ulumudin karya fenomenal Hujjatul ‎Islam Imam Al-Ghozali.‎

Dalam catatan majalah Madrasah Al-Soulatiyah, KH Hasyim Asaary termasuk tokoh ‎besar lulusan Madrasah tertua di Arab Saudi dan Jazirah Arabiyah. Syekh Zainuddin ‎Lombok termasuk salah satu Ulama Nusantara yang tercatat dalam majalaah Madrasah ‎Al-Soulatiyah Makkah. Bahkan, Syekh Rahmatullah, juga mensejajarkan KH Muhammad ‎Hasyim Asaary sebagai ulama terkemuka di dunia.‎

Dengan demikian Jadi, orang yang tidak suka dengan NU, sama dengan tidak suka ‎dengan Ulama Sunni yang sanadnya nyambung kepada ulama Hijaz. Sebagian besar ‎ulama Hijaz itu keturunan Nusantara, sebagaimana penjelasan Syekh Mahfudz Al-‎Turmusi dalam kitab “Kifaytul Mustafid”. Padahal, ulama Hijaz itu menjadi rujukan ‎pakar hadis. Para pakar hadis sepakat bahwa Riwayat Ahli Hijaz lebih terpercaya. ‎

Nah, Mbah Maimoen Zubair itu salah satu ulama Hijaz. Beliau bertahun-tahun ‎menghabiskan waktunya di tanah suci Makkah. Guru-guru beliau sebagian besar adalah ‎dari tanah Hijaz (Makkah), seperti ulama yang disebutkan di atas. Setiap tahun, beliau ‎selalu menunaikan ibadah haji bersama orang-orang dekat. Salah satu santri setianya ‎adalah Muhtaram santri yang menemani, mendorong ketika thowaf dan sai. Wajar, jika ‎kemudian beliau berwasiat kepada putra-putrnya agar di makamkan di Ma’la (Makkah).‎

Sebuah kisah yang sarat dengan makna, pagi-pagi, Rabu 12 Agustus 2015, rumah saya ‎kedatangan seorang tamu dari Trenggalek. Beliau adalah teman waktu ngaji di Abuya ‎Sayyid Muhammad Al-Maliki Makkah. Beliau sudah menjadi seorang Kyai, dengan nama ‎lengkap KH Bahrul Munir Al-Hafid (hafal Al-Quran juga hafal Nadhom Alfiyah). Beliau ‎asal Jember, tetapi di ambil mantu oleh Kyai Mahmud Trengalek.‎

Pagi-pagi, saya ngobrol ngalor-ngidul seputar pendidikan yang cocok dan tepat untuk ‎masa depan anak-anak. Tidak menyadari, tiba-tiba saya dan Bahrul Munir ‎membincangkan Muktamar NU yang telah berlansung di Jombang. Sangat asyik dan ‎menarik, sekaligus menegangkan proses pemilihan ketua NU.‎

Dalam perbincangkan itu, kami berdua berkisah tentang kehadiran Mbah Maimoen ‎Zubair dalam Muktamar NU yang kebetulan merupakan guru dari Bahrul Munir. Setiap ‎even NU, sudah pasti ada Mbah Maimoen Zubair. Seolah-olah, Mbah Maimoen pada ‎tahun 2105-2019 menjadi kekuatan NU. Bukan karena sepuhnya, tetapi memang ‎ilmunya, zuhud, serta budi pekertinya mencerminkan seorang Kyai yang sangat ‎mencintai NKRI. ‎

Tiba-tiba Bahrul Munir bercerita bahwa dirinya pernah mijeti (memijat) Mbah Maimoen ‎Zubair waktu di Rubath Jawa (tempat berkumpulnya santri-santri Nusantara di ‎Makkah). Merupakan sebuah kenikmatan sekaligus kebanggaan tersendiri ketika seorang ‎santri mendapatkan kehormatan bisa mijeti Guru dan Kyainya. ‎

Saat asyik mijeti Mbah Maimoen Zubair, tiba-tiba Bahrul Munir mbatin (terbesit dalam ‎hatinya) tentang Gus Dur (KH Abdurahman Wahid). Tiba-tiba Mbah Maimoen Zubair ‎langsung berkata, “Aku ngak wani dengan Gus Dur karena beliau itu titisane Mbah ‎Muhammad Hasyim Asy’ary.” Artinya “saya tidak berani sama sekali kepada Gus Dur, karena ‎beliau itu titisan dari KH Hasyim Asy’ari”.‎

Betapa kaget dan terperanjatnya Bahrul Munir terhadap apa yang disampaikan ‎oleh seorang ulama, faqih, muhaddis yang bernama Mbah Maimoen Zubair.‎

Usai mendengar pernyataan tersebut, Bahrul Munir mbatin tentang Sayyid Muhammad ‎Alawi Al-Maliki. Tiba-tiba Mbah Maimoen Zubair berkata, ”Nek Sayyid Muhammad iku ‎punjere Sayyid”, yang artinya Sayyid Muhammad itu pusat (rujukan utama) Sayyid. ‎

Terbukti, ketika Gus Dur wafat, Mbah Maimoen sendiri yang hadir dan mentalkin. ‎Juga, menjadi rujukan para ulama dan Kyai Nusantara. Hingga sekarang, makam KH ‎Abdurahman Wahid benar-banar memberikan berkah tersendiri bagi masyarakat ‎setempat. Bisa dikatakan KH Abdurhaman Wahid menjadi Sunan Tebu Ireng. Setiap ‎bulan, kotak amal yang dihasilkan mencapai ratusan juta.‎

Dan Sayyid Muhamamd Alawi Al-Maliki Makkah menjadi rujukan para ulama dan Kyai ‎Nusantara, juga habaib dari penjuru dunia. Tidak santupun Kyai, kecuali kagum ‎keteladanan dan kebesaran, keberanian Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki di dalam ‎menjaga Akidah Ahlussunah Waljamaah. Kedalamam ilmu, keluhuran budi pekerta, ‎serta kedermawanan Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki hingga sekarang belum ‎tertandingi.‎

Ketika mendengar apa yang disampaikan oleh Mbah Maimoen, Bahrul Munir-pun berkata ‎dalam hatinya “Mbah Maimoen itu bukanlah ulama’ sembarangan”. Bisa jadi beliau seorang ‎waliyullah.‎

Aku-pun mengatakan hal yang sama, “Mbah Maimoen itu terlalu dalam ilmu dan ‎spritualnya, dan juga keluhuran budi pekertinya sehingga bukan seperti asatidz pada umumnya ‎yang suka mengumbar kata-kata tidak pantas terhadap sesama. Mbah Maimoen itu seorang ‎ulama sejati yang derajatnya sangat istimewa.‎

Beliau juga selalu hadir saat tahlilan dan khoulnya KH Abdurahman Wahid. Seolah-olah ‎Mbah Maimoen Zubair ingin berkata kepada orang-orang yang dengan mudah ‎mengeluarkan kata “sesat” atau “kafir” terhadap Gus Dur, bahwa Gus Dur itu tidak ‎seperti yang dikira mereka.‎

Bahwasanya kehadiran Mbah Maimoen Zubair itu menjawab bahwa Gus Dur itu ‎bukanlah seperti yang dikira oleh sebagian orang yang suka “menyesatkan”. Sejak Mbah ‎Maimoen Zubair selalu hadir pada setiap tahlilan Gus Dur, orang-orang yang sok suci, ‎menganggap Gus Dur sesat itu akhirnya semakin terbuka, walaupun kebencian terhadap ‎Gus Dur itu masih ada. Itu masih wajar-wajar sajalah.‎

Pada Muktamar NU Jombang ke 33, saya sengaja hadir untuk bersilaturami dengan ‎teman dan para ulama yang rawuh pada Muktamar. Salah satu keinginanku ialah ‎bertemu, dan menyalami kemudian mencium tangan Mbah Maimoen Zubair. Namun, ‎ternyata belum berhasil, karena banyaknya orang yang rebutan.‎

Selama muktamar Mbah Maimoen Zubair hadir, dan nunggoni hingga rampung. Seolah-‎olah beliau itu tahu, bahwa NU itu sedang ada dua kekuatan politik yang akan berebut. ‎NU itu bukan partai politik, tetapi NU adalah organisasi yang didirikan para ulama dan ‎auliya’ (kekasih Allah) yang bertujuan mengajak orang berbuat baik dan mencegah ‎kemungkaran, dan ber-iman kepada Allah SWT.‎

Kehadiran Mbah Maimoen Zubair seolah-seolah memberikan kesan mendalam, betapa ‎cintanya beliau terhadap NU yang dirintis oleh Mbah Muhammad Hasyim Asy’ari yang ‎bertujuan mulia.‎

Beliau mau menjadi tim Ahwa bertujuan agar Rois ‘Amm itu dipimpin seorang ulama ‎yang fakih, wara’ zuhud, bukan hanya tenar dan ahli organisasi. Sebab, NU itu ‎organisasi para ulama dan yang dipimpin itu juga para ulama yang notabene pewaris ‎para nabi dan rosul.‎

‎Mencium Tangan dan Kening Mbah Maimoen

Setelah gagal mencium tangan mulia Mbah Maimoen Zubair, saya tidak pernah putus ‎asa. Karena mencium tangan beliau sangat sama dengan mencium tangan gurunya, ‎gurunya, dan sampai pada Rasulullah SAW. Begitulah keyakinan santri-santri NU-‎Santara dimana-pun berada.‎

‎Seorang tabiin yang bernama Said Al-Bunani pernah melihat sahabat Anas bin Malik ra, ‎yang sudah renta dan rambutnya memutih. Beliau segera mendekatinya dan bersalaman ‎serta mencium tangannya.‎

Kemudian Said Al-Bunani berkata “tangan beliau pernah bersentuhan dengan tangan ‎Rasulillah SAW”. Sebagian sahabat Rasulullah SAW pernah bersentuhan dengan ‎Rasulullah, mereka pernah bertatap muka, bercakapria. Mereka sangat beruntung bisa ‎bertemu langsung dengan Rasulullah SAW. Indah dan nikmat sekali hidup mereka. Bagi ‎kami yang tidak bisa mertatap muka dan mencium tangan Rasulullah SAW, cukup ‎mencium tangan para kekasih Allah SWT.‎

Nah, kami yang hidup di era milenial sangat asyik dengan dunia maya. Belajar-pun ‎melalui online, juga medsos. Google menjadi rujukan utama bagi sebagian orang. Ulama ‎dan Kyai tidak lagi menarik. ‎

Bagi saya pribadi, walaupun sudah mengenyam pendidikan formal mulai S1 hingga S3, ‎memandang ulama dan Kyai sebagai rujukan ilmu dan prilaku. Para ulama itu ‎merupakan pewaris nabi, dan juga pewaris Rasulullah SAW dan sahabatnya.‎

Ahad malam (18/05/2019), bersama Dr. Ahmad Achmad Tohe, Heru Pratikno Banser, ‎nekad budal ke Sarang untuk bersilaturahmi kesejumlah ulama Nusantara. Dengan ‎harapan ngalab berkah dari ilmu dan prilaku mereka yang saleh. Tujuan utamanya adalah ‎KH Maimoen Zubair.‎

Alhamdulillah, pada pukul 3.40 sudah nyampek di Sarang. Tanpa berfikir panjang, kami ‎langsung menuju musolla, tempat Mbah Maimoen ngimami dan ngaji rutin bersama para ‎santri. Musolla itu tepat di depan Kediaman KH Maimoen Zubiar. Terlihat sangat ‎sederhana, tetapi sangat sacral.‎

Terlebih dahulu sholat ringan di Musolla tersebut. Setelah terdengar suara adzan subuh, ‎kami tetep setia duduk pada shof pertama. Terlihat seorang santri menyiapkan sajadah ‎dan mikrofon untuk Sang Kyai.‎

Seorang santri lagi duduk persis di depan pintu sambil membuka pintu sedikit. Seolah ‎olah santri itu sedang ngintip kapan Mbah Maimoen Zubair keluar dari rumahnya.‎

Sesaat sebelum Mbah Maimoen keluar, santri yang duduk persis dibelakang imam ‎membaca puji-pujian “Allahu Kafi, rabbunan Alkafi, Qosodna Kafi….berulang ulang. Semua ‎santri setia duduk hingga Mbah Memun keluar.‎

Dengan mengenakan busana Batik motif hitam keluar dari kediamaanya. Orang awam ‎mungkin berfikir, kalau Mbah Maimoen memakai busana gamis putih lengkap dengan ‎sorban. Rupanya cara berbusana KH Maimoen Zubair sebagai seorang ulama besar ‎sangatlah sederhana.‎

Beliau dituntun seorang santri melangkah menuju Musolla, beliau sarungan dan memakai ‎busana batik dan peci putih. Begitu Mbah Maimoen berada di dalam Musolla, santri ‎langsung Iqomat. Rupanya, Mbah Maimoen sendiri langsung menjadi Imam sholat subuh. ‎

Menariknya, beliau membaca surat Albaqarah yang lumayan panjang. Kira kira satu ‎halaman. Seusia beliau, bacaannya sangat jelas, dan Panjang. Padahal yang masih muda, ‎membacanya tidak sepanjang bacaan Mbah Maimoen Zubair.‎

Usai sholat, beliau membaca wirid dan doa yang menjadi ciri khas Ulama Nusantara. ‎Tidak berhenti wiridan, Mbah Maimoen menunggu waktu israq dan dhuha. Disela sela ‎baca wirid, santri mijeti Mbah Maimoen hingga waktu dhuha.‎

Setelah sholat Duha. Tepatnya pukul 07.30, beiau keluar dan memasuki kediamanya.‎

Sayapun ikut membuntutunya. Kemudian duduk tidak jaih dari beliau. Sesekali ‎memandangi wajahnya yang sejuk nan penuh dengan aura. ‎

Dalam hatiku yang berkata “saya bertekad bisa bersalaman dan mencium tanganya. ‎Sukur sukur bisa berfoto dengan beliau”.‎

Setelah satu persatu salaman. Giliranku salaman. Akupun menggunakan bahasa Arab ‎fushah saat berkomunikasi dengan beliau, rupanya sangat berkenan dan senang dengan ‎bahasa Arab.‎

Setelah semua tamu bersalaman. Semua dipersilahkan duduk kembali. Ruapanya, para ‎santri sudah mempersiapkan sarapan. Secangkir kopi disuguhkan. Dan seorang santri ‎berkeliling membagikan subutir korma.‎

Dengan sarapan pecel khas Sarang. Ratusan tamu bisa menikmati sarapan di kediaman ‎Sang Kyai Mbah Maimoen Zubair. Semua yang disuguhkan, saya habiskan semua, ‎karena ingin memperoleh berkahnya.‎

Pagi itu beliau ceramah dengan topik menarik yaitu “Masuknya Islam di Nusantara”. ‎Beliau memberikan percerahan bahwa masuknya islam di nusantara itu bawa langsung ‎oleh Sayyid (keturunan Rasulullah SAW), sedangkan namun yang meramaikan Islam di ‎Indonesia adalah orang Jawa.‎

Beliau menyampaikan “semua wali songo adalah seorang Sayyid, kecuali sunan Kalijaga ‎dan sunan Muria. Namun, Sunan Ampel justru menjadikan Raden Fatah yang bukan ‎durriyah Rasulullah SAW sebagai menantunya. Dari situlah Islam Nusantara membumi.‎

Semua ceramah Sang Kyai saya rekam dengan durasi 51 menit. Begitu juga dengan ‎ceramah seorang mufti Australia yang keturunan Arab. Bahkan, Mbah Maimoen ‎membagikan uang kepada tamu itu. Kemudian Mbah Maenun mengatakan “uang ini ‎sebagai tanda hubungan mahabbah”.‎

Beruntung tinggal di Indonesia. Mufti Australia itu berkata “dari dalam perut bumi ‎banyak para wali, begitu juga di atas bumi. Indonesia, khususnya di Jawa merupakan ‎tanah para waliyullah”.‎

Setelah semua selesai. Saya memberanikan diri ijin. Rupanya, beliau sangat senang ketika ‎saya cerita dengan menggunakan bahasa Arab tentang nama-nama santrinya dan ‎keponakannya.‎

Ketiau bertanya “dari mana? Saya menjawab “saya dari Malang, dulu pernah di ‎Makkah”. Beliau “di Makkah di mana? Saya menjawab “saya kuliah di Umm Alqura dan ‎ngaji di Sayyid Muhammad”? beliau senyum sambal berkata “alhamdulillah”. Kemudian ‎beliau meledeka “kalau saya tidak kuliah” sambil tersenyum.‎

Kalau ini aku benar-bebar bahagia. Bisa mencium tangannya berkali-kali. Juga mencium ‎keningnya. Doanya sangat penting. Dan yang terpenting adalah tangan beliau pernah ‎bersentuhan dengan tangan Sayyid Ahmad, Sayyid Muhammad, Sayyid Alawi, Syekh ‎Muhammad Yasin Alfadani, Syekh Turmusi, Sayed Abu Bakar Shata, Sayyid Zaini ‎Dahlan Juga pendiri NU Hadratusyekh Muhammad Hasyim Asaary.‎

Sebagai orang awam, saya sangat bahagia, bisa sholat jamaah subuh di Musolla, bisa ‎makan, bisa mencium tangan dan kening, dan juga mendapat keberkahan doanya. Saya ‎yakin, beliau itu adalah kekasih Allah SAW (waliyullah). ‎

Namanya kekasih, sudah pasti sangat dekat dengan Allah SWT. Hanya saja, tidak ‎akan mengetahui bahwa dirinya itu wali kecuali dirinya itu wali. Salah satu sifat seorang ‎wali, sebagaimana keterangan Allah SWT. “Ketahuilah olehmu bahwa para kekasih Allah itu ‎tidak ada ketakutan pada mereka dan tidak pula ( mereka ) berdukacita.” (QS. Yunus (10:62).‎

Malang, 06/08/2019

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *