Karomah Mbah Maimoen: Membuka Rahasia Asal-usul Leluhur Santri Tiada Henti

Mbah Moen Melarang Sombong Pada Bukan Keturnan Kyai

Ini adalah salah satu karomah Mbah KH Maimoen Zubair berdasarkan pengalaman pribadi saya. Ini sengaja saya tulis di sini spesial dalam rangka 100 hari wafatnya Mbah KH Maimoen Zubair.

Saat itu, waktu sowan Mbah Moen untuk kali pertama pasca menikah (tahun 2007), beliau bertanya (sebagian besar sengaja saya terjemahkan bahasa Indonesia agar mudah dipahami):

“Kamu siapa?

“Saya Agus Maimun Mbah, menantunya H. Karim – Cepu”.

“Putranya siapa?”

“M. Ridwan Panyuran – Tuban Mbah”

“Apanya Kyai Abdurrahman?”

“Dekat Mbah, sebelah baratnya Mbah Yai Abdurrahman..,”

“Lha kamu masih apanya Kyai Abdurrahman?”

“Saya santrinya, Mbah”

“Kok santrinya, hubunganmu dengan Kyai Abdurrahman itu apa?” (Pertanyaan ini diulang 2X)

Dan 2 kali juga saya jawab dengan jawaban yang sama karena memang saya benar-benar tidak tahu hubungan saya dengan Syaikhina KH Abdurrahman Sholih selain hanya sebagai santrinya saja.

“Maaf Mbah, saya hanya santrinya..,” jawab saya datar.

Merasa jawaban saya kurang memuaskan beliau (Mbah Moen), akhirnya beliau memanggil saya yang saat itu duduk -+ sejarak 2,5 m dengan beliau.

Saya pun nyucup tangan beliau, lantas beliau Dawuhan:

“Ojo moleh sik yo? Sarapan sik nang kene, terus sowan nang anak-anakku.. (sebelum pulang, disuruh sarapan kemudian sowan ke putra-putra beliau).

____________Sreeettttttt________

Tahun berikutnya (2008) sowan lagi,

Dan anehnya pertanyaan yang sama persis beliau tanyakan kembali pada saya setahun yang lalu, mulai nama, asal & hubungan dengan KH. Abdurrahman Sholih beliau ulangi kembali.

Jawaban saya juga sama dengan tahun sebelumnya, karena memang saya nggak tahu hubungan itu, selain saya hanya sebagai santri KH Abdurrahman Sholih.

Maka setelah kejadian 2X itu, saya ke Tuban.

Setelah saya bertanya & agak memaksa agar Almarhumah Ibu saya mau menceritakan, meski ada sebagian yang tidak dijelaskan, ternyata saudara  Ibu saya yang “Lil Ab” adalah keponakan dari Syaikhina KH Abdurrahman. Artinya memang secara tidak langsung saya ada hubungan keluarga dengan Syaikhina KH Abdurrahman Sholih.

kh maimoen dan kh abdurrahman sholih

______Sreeetttttt______

Bulan Syawal tahun 2009 saya sowan lagi ke Sarang.

Tanpa saya duga, pertanyaan yang sama setahun & dua tahun yang lalu itu diulangi Mbah Moen.
“Siapa saya? putranya siapa? Darimana? Hingga hubungan saya dengan Syaikhina KH. Abdurrahman?”

Awal-awal saya jawab sama dengan yang dulu-dulu, hingga pada pertanyaan, “Kamu apanya Kyai Abdurrahman?”

Saya masih menjawab: “Saya santrinya Mbah .”

Beliau menyangkal: “emoh aku nek cumak santrine, Apane ngono lho?? (Saya tidak mau kalau penjelasanya cuma santrinya saja, tapi punya kaitan apa gitu lho…).”

Dengan agak bingung & ngawur saya jawab : “Kulo putu ponakané Yai Abdurrahman..” (Saya cucu keponakan KH. Abdurrahman).

Spontan beliau membalas :” Lha ngono lho.., kene-kene….!” (Lha gitu… Sini-sini..!)

Kemudian saya mendekat dan mencium tangan mulia beliau (nyucup), sejurus kemudian beliau Dawuhan:

“Pingin sugeh gak? (ingin kaya gak).”

Sambil malu-malu saya jawab: “Njeh Yai..”

Beliau terus mendoakan yang intine: “Mugo-mugo kepenak donyo akhirot yo (semoga bahagia dunia akhiratya)..”

______Sreetttt_____

Dalam perjalanan pulang, saya meneteskan air mata, diantara sebabnya waktu itu adalah “kok beliau tahu kalau aku masih ada hubungan dengan Syaikhina KH. Abdurrahman, padahal ortu & Yai Abdurrahman sendiri tidak pernah cerita & tidak mau cerita. Kalau seandainya dulu tidak aku paksa karena 2 tahun berturut-turut mendapat pertanyaan yang sama dari Mbah Moen.

Wallahu A’lam

Cepu, 13 Nopember 2019

Penulis: Agus Maimun Ridwan, santri Mbah Maimoen, tinggal di Cepu.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *