Oleh: KH Munawir AF, Mustasyar PWNU DIY
Kisah ini masih seputar masa muda Kiai Zainal Abidin Munawwir. Kali ini terkait salah satu hal unik dalam diri beliau, yakni nukang kayu. Alasan beliaunya untuk terjun, suka main kayu gak pernah disampaikan. Apa untuk ngisi waktu, saya pikir tidak. Wong pagi, siang, malam – mengaji/mengajar. Apa mau menambah kesibukan? Saya pikir juga tidak, wong saya lihat waktu beliau sudah penuh acara.
Apa untuk menyalurkn hobi? Saya kok ragu. Masak putra Mbah Munawwir nukang kayu? Tetapi nyatanya Gus Zainal gitu itu. Waktu mudanya, bahkan menjelang tua.
Dalam masalah masah-memasah kayu, beliau cukup piawai. Gak percaya? Tanyakan santri-santri tua, atau barangkali Anda dapat melihat hasil karyanya. Saya pernah lihat ada meja, kursi, bangku, rak, dan lain-lain.
Gurunya – si tukang kayu itu, namanya Pak Sya’roni. Mulanya Pak Sya’roni diminta untuk memperbaiki meja kursi madrasah yang rusak-rusak. Gus Zainal mula-mula lihat, lha kelihatannya terus tertarik. Mencoba dan mencoba, akhirnya suka dan cinta.
Aneh memang. Kok sempat-sempatnya membagi waktu. Kalau Gus Zainal lagi nukang, ya pake sarung. Tidak pake celana, tidak juga trening. Tetapi atas, tentu pake kaos. Beliau tidak suka seperti tukang-tukang yang lain. Masalah keringat… O… jangan tanya, ia orang yang kadang-kadang suka guyonan sama santri-santrinya.
Eloknya, ketika mau berangkat haji, lupa tahunnya, barang-barang hasil karyanya diseleksi satu-satu, ini milik pondok, suruh bawa ke pondok. Ini milik madrasah dikembalikan ke madrasah. Ini milik Kang Ali Maksum, diantar sendiri. Luar biasa.
Kata Gus Zainal, ”jangan sampai aku meninggal di sana masih katutan (terbawa_red) bukan milikku.”
Allahu Akbar.
Allahu yarham,
Krapyak, 15-03-2015