Hakikat Tauhid Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani (4)

Hakikat Tauhid Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani (4)

Hakikat Tauhid Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani (4).

Oleh: Edi AH Iyubenu, Wakil Ketua LTN PWNU DIY

Bacaan Lainnya

Jika Allah Swt lah semata yang memutuskan dan menentukan derajat rohani dan lahiriah kita dalam kehidupan dunia ini, lalu di manakah letak peran kita beserta segenap ikhtiar kita sebagai makhluk rasional?

Kita kini hidup dalam dunia yang serba material. Kita pun bagian riil dari pusaran hidup serupa itu. Kita bekerja, berbisnis, berdagang, berkeluarga, beranak-pinak, bersekolah, berkuliah, dan sebagainya –segala bentuk lelaku lahiriah kita, ikhtiar kita, setiap hari, bahkan waktu.

Pertanyaannya, bukankah Allah Swt Yang Maha Kuasa adalah Penentu segala hal, termasuk hal-hal yang kita ikhtiarkan dengan gigih dan keras tersebut? Bukankah semua ikhtiar itu menjadi “tiada guna” pada hakikatnya, toh nyatanya Allah Swt yang memutuskan segalanya kemudian? Masih perlukah dan bahkan pantaskah kita bergerak?

Kajian ini selalu menjadi tema besar dalam diskusi dan bahkan perdebatan teologis sejak dahulu kala. Kita kenal aliran Jabariyah yang fatalis yang berseberangan dengan qadariyah yang free will. Lalu kita kenal pula paham Muktazilah dan tentu pula Asy’ariyah.

Mari kita simak lebih jauh wejangan Adab al-Suluk wa al-Tawasshul Ila Manazil al-Muluk karya Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahulLah.

“Janganlah kau berkehendak selain dengan kehendak Allah ‘Azza wa Jalla. Kehendak yang kau angkan selain itu (selain kehendak Allah Swt) adalah rimba kebodohan yang akan mengantarkan kecelakaan dan kebinasaanmu di mataNya ‘Azza wa Jalla dan keterhijabanmu dariNya.”

Ini prinsip pertama pemahamannya. Kita kembali kepada uraian sebelumnya bahwa ikrar la ilaha illalLah, kalimat tauhid, tiada lain mesti menisbatkan ketiadaan diri kita secara hakiki dan mutlak. Yang tegak semata hanyalah Allah Swt. Termsuk tegaknya segala kehendak dan keinginan pada diri kita, mestilah “tiada dan yang ada hanyalah kehendakNya”.

Bagaimana cara melakoninya dengan konkret?

Beliau qaddasahulLah memberikan jalan kepada kita, “Karena itu, jagalah selalu perintahNya dan jauhilah laranganNya. (Lalu)n pasrahkan selalu dirimu kepadaNya dalam segala ketentuan yang telah ditetapkanNya. Jangan sekutukan Dia Swt dengan sesuatu pun dari makhlukNya. Kehendakmu, hawa kesenangan, dan syahwatmu adalah makhlukNya, karena itu jangan sekali-kali kau berkehendak diri, juga berhasrat kesenangan, dan bersyahwat tinggi agar tidak menjadi orang musyrik.”

Beliau lalu menukil surat al-Kahfi ayat 110: “Siapa yang berharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.

Sampai di sini, mohon maaf, apakah kita masih sanggup merasa telah benar-benar bertauhid kepadaNya Swt?

AstaghfirulLahal adhim, atubu ilaika, ya Rabb….

Mari kita catat tebal bagian ini: “Jagalah selalu perintahNya dan jauhilah laranganNya. (Lalu)n pasrahkan selalu dirimu kepadaNya dalam segala ketentuan yang telah ditetapkanNya.”

Inilah wujud paling nyata dan pertama bagi kehambaan kita kepada Allah Swt –mematuhi syariatNya. Ya, syariatNya!

_simak artikel terkait Hakikat Tauhid Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani (4) di sini

Wujud kedua ialah hati ini hendaklah berikhlas kepada segala ketentuan dan ketetapanNya kepada kita. Menerima takdirNya dengan lapang dada, semanis atau segetir apa pun ia, sekaligus bisa kita jadikan parameter bagi kekafahan tauhid kita.

Jika kita berbisnis, lalu suatu kali mengalami kegagalan meraih target profit yang telah kita ikhtiarkan dengan matang segala sisinya, jika kita tak ikhlas terhadap kejadian tersebut, sejatinya kita telah menyekutukanNya. Karena yang tegak di diri kita bukanlah kemutlakan ketentuan dan keputusan Allah Swt terhadap hasil bisnis kita, tapi target kita, ambisi kita, egoisme diri kita.

Itulah sebabnya dikatakan hendaklah kita bertawakal kepada Allah Swt bahkan sejak awal kali kita terbersit (baca: ilham) sesuatu, sebutlah gagasan, keinginan, cita-cita, atau harapan. Spirit tawakal inilah yang lalu menjadi pelindung tauhid kita, membedakan kita dengan orang yang tidak/kurang imannya kepada Alah Swt.

Umpama kita suatu kali terlintas suatu gagasan bisnis, hendaklah ia segera dirujukkan kepada karunia Allah Swt yang diilhamkanNya kepada kita. Ia bersumber dari Allah Swt, bukan diri kita.

Jika kemudian kita menindaklanjutinya dengan persiapan-persiapan matang, maka ini pun mestilah selalu dirujukkan kepada karunia Allah Swt, bukan diri kita. Jika ternyata hasilnya tak sesuai harapan, itu pun mestilah semata dipandang sebagai ketentuan Allah Swt. Kita mungkin saja mengatakannya, “Belum rezeki saya….”, tetapi yang penting maksudnya adalah beginulah keputusan Allah Swt, takdirNya kepada saya, dan saya bertawakal kepadaNya, ikhlas terhadap kegagalan ini. Dan keputusanNya ini tentulah karunia terbaikNya kepada saya, walau saya belum memahaminya kini.

Selesai!

Prinsip tauhid inilah yang mesti kita genggam selalu.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani memberikan tiga landasan rohani yang bisa kita jadikan parameter bagi diri kita untuk menakar derajat tauhid diri ini.

“Leburkanlah dirimu dari manusia dengan hukum Allah Swt; (leburkanlah) juga hawa kesenanganmu dengan perintahNya; (dan leburkanlah dirimu) dari kehendak dirimu dengan tindakan Allah Swt.”

Yang dimaksudkan “Leburkanlah dirimu dari manusia dengan hukum Allah Swt” ialah habisnya atau putusnya hasrat diri untuk tergantung kepada manusia (serta seluruh makhlukNya yang lain) bersama seluruh apa pun yang melekat (dimiliki) manusia. Yang ada hanyalah hasrat diri semata kepada Allah Swt beserta segala ketergantungan kita kepadaNya semata.

Umpama kita bekerja atau berdagang, maka kita secara rohani tak pernah menghasrati kegiatan tersebut untuk menjadikan kita kaya seperti fulan dan fulanah; kita tak menggantungkan nasib diri kepada fulan dan fulanah; kita tak menghadapkan hati kita kepada kemilau dunia dan siapa pun; tetapi semata karena kita diilhamiNya untuk bekerja, mencari rezeki, demi memenuhi hukumNya yang diberikan kepada kita.

Ini sungguh perkara halus, sangat halus, dan hanya diri dan Allah Swt lah yang tahu.

Yang dimaksudkan “(leburkanlah) juga hawa kesenanganmu dengan perintahNya” ialah hancurnya ambisi-ambisi kesenangan hawa nafsu di dalam diri kepada apa pun, dunia dan makhlukNya, digantikan oleh DzatNya semata. Maka diri ini lalu tidak bergerak lagi dengan diri, diri ini tidak lagi bersandar kepada diri, dan diri ini tidak lagi menghendaki diri ini.

Dengan kata lain, semua hal yang terbersit dalam diri dalam bentuk gagasan, keinginan, rencana, hingga gerakan, itu semua tak lagi dirujukkan dan disandarkan serta dikuasakan kepada kekuatan diri.

Catat: bukan diri ini lagi! Seperti karena ilmunya luas, amalnya ruah, jaringnnya luas, modalnya kokoh, pengalamannya dahsyat, dan sebagainya.

Semua yang serba diri itu dibuang, dilenyapkan, dihancurkan, lalu digantikan Allah Swt sebagai Dzat Yang Maha Mengatur, Menentukan, dan Memutuskan apa pun. Begitu spirit rohani yang menyala di dalam hati.

Lalu yang dimaksudkan “(dan leburkanlah dirimu) dari kehendak dirimu dengan tindakan Allah Swt” ialah derajat rohani tatkala semua kehendak dan tindakan kita pada hakikatnya telah menjelma kehendak dan tindakan Allah Swt semata.

simak artikel terkait Hakikat Tauhid Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani (4) di sini

Ketika kita punya ide untuk bikin kafe mahasiswa, itu hakikatnya adalah kehendak Allah Swt kepada kita yang bermula dari ilhamNya yang didenyarkanNya kepada akal kita, lalu kita terima, kita hadapakan kepadaNya dengan ketawakalan. Lalu tatkala kita kembangkan ide tersebut dengan memikirkannya dalam-dalam, menyiapkannya baik-baik, dan menjalankannya dengan segenap ilmu dan penopangnya, maka itu pun pada hakikatnya adalah tindakan Allah Swt melalui diri kita. Gerakan kita adalah gerakan Allah Swt; dengan kata lain, Allah Swt lah yang menggerakkan kita untuk menempuhi semua proses itu sehingga pada hakikatnya Allah Swt lah yang bergerak.

Diri ini hanya menjelma “wadah tawakal” untuk menjalankan semua kehendakNya dan sekaligus tindakanNya.

Maka, pada derajat ini, bila telah benar-benar sublim di dalam hati kita, kita arungi dengan latihan dan perjalanan yang panjang dan mendalam, kita seolah menyaksikan gerakan dan tindakan diri ini dari Diri yang berbeda –yakni Diri yang telah berselimutkan Kehendak dan Tindakan Allah Swt.

Diri jasad yang berjualan di pasar, misal, disaksikan oleh Diri yang telah fana dalam Kehendak dan Tindakan Allah Swt. Begitu misalnya.

Walhasil, dengan dasar rohani demikian, niscaya diri kita takkan dikuasai oleh hasrat dan ambisi kesenangan apa pun, kemilau duniawi apa pun, ingar-bingar syahwat apa pun, kendati secara lahiriah kita terlihat berjibaku di dalamnya, menjadi bagiannya.

Tersapihnya hati, rohani, dari gebyar kesibukan, pekerjaan, dan bisnis  di saat kita berkecimpung di dalamnya menjadi parameter personal kita untuk memahami di derajat manakah sebenarnya iman kita, tauhid kita, dan manunggaling kita bersama Allah Swt itu berada.

Inilah pelajaran fana dari beliau qaddasahulLah.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani kemudian mengabarkan kabar gembira kepada kita, “Jika telah sirna dan tidak ada apa-apa lagi di dalam dirimu (fana), dan lagi kau tak merasa aman dengan apa pun selainNya, maka Dia Swt akan ‘menghidupkanmu kembali’ hanya untukNya. Dia Swt ciptakan kehendak di dalam dirimu, lalu kau pun berkehendak dengan kehendak tersebut….”

Yang dimaksud “menghidupkanmu kembali” ialah pertolongan Allah Swt yang terus-menerus kepada hamba-hambaNya yang telah mencaai derajat fana tatkala mereka tergelincir kepada kehendak dirinya sendiri –bukan kehendak Allah Swt. Ini bisa kita pahami sebagai wujud nyata tidak ma’shumnya semua manusia selain RasululLah Saw.

Para hambaNya yang telah mencapai derajat waliNya akan merasa berdosa bila sampai “menggabungkan kehendaknya” (keinginan, nafsunya) dengan kehendak Allah Swt. Dosa itu terjadi karena lalaiNya hati kepada prinsip Kehendak dan Tindakan Allah Swt di atas. Mereka pun mengistighfarinya –makanya, istighfar mereka tak pernah kenal henti, bahkan digambarkan dalam tidur pun.

Istighfar ini merupakan simbol “dipatah-patahkannya diri ini” oleh Allah Swt yang Maha Welas Asih agar kembali menjadi Diri (diri rohani) yang berada dalam iradahNya semata. Dan proses ini, oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani, digambarkan seterusnya begitu hingga ajal menjemput dan mempertemukannya (hamba) dengan Allah Swt.

Maka, mari mengerti, perjalanan rohani fana ini tiada finalnya selain kematian kita. Yang paling penting ialah “terus-menerus dipatah-patahkannya diri kita” oleh pertolonganNya melalui istighfar-istighfar kita, setiap waktu, seumur hidup.

Lalu yang dimaksud “berkehendak dengan kehendak tersebut” ialah tiadanya lagi segala keinginan, kehendak, dan pula tindakan kita selain ialah Keinginan, Kehendak, dan TindakanNya Swt.

Inilah yang sering diistilahkan sebagai anugerah “takwin” (penterjadian) dari Allah Swt kepada hamba-hambaNya yang khawash.

Memang, dalam sejumlah literatur, takwin ini sering diidentikkan dengan (kata orang Jawa) “weruh sakdurunge winarah”. Kata “takwin” merujuk kepada sifat Maha Allah Swt dalam kun fayakun. Dan, tentu saja, itu Hak Mutlak Allah Swt dengan segenap KekuasaanNya untuk menjadikan hal itu mungkin dalam wujud karamah-karamah.

Namun, fokus kajian ini bukan pada hal tersebut. Karenanya, saya hendak mendudukkan takwin di sini sebagai kondisi rohani yang oleh Allah Swt senantiasa disambungkan denganNya. Adanya risiko-risiko tergelincir dari dzikrulLah dibelokkanNya kembali ke jalanNya. Dan begitu seterusnya.

Bila kondisi rohani takwin begini telah ditetapkanNya ke dalam hati kita, lalu diri beserta segenap hawa nafsunya telah difanakanNya, mau berada di manapun dan kegiatan apa pun, insya Allah kita akan senantiasa bertumpu kepada Kehendak dan TindakanNya.

Hanyalah Allah Swt yang menjiwai rohani kita, menggerakkan jasad kita untuk bekerja, berdagang, atau berbisnis, dan sebagainya, sehingga jalan dan hasilnya serupa apa saja kemudian bukan lagi penyebab goyahnya hati kita. Maka silakan saja berkegiatan dan bekerja apa saja, silakan saja berikhtiar sekaras apa saja, dan silakan saja berstrategi sekuat apa saja, dengan fondasi tauhid yang demikian, insya Allah takkan menjadikan kita budak kemilau dunia ini.

Untung dan rugi, manis dan getir, lalu tiada lain terpandang semata ghairulLah, semata sifat-sifat keduniawiaan, yang tak pantas sama sekali menggerus Tahta Allah Swt (‘AsrsyulLah) dari hati dan hidup kita.

Inilah kiranya yang dimaksudkan pelbagai ayat dalam al-Qur’an tentang karakter mukmin yang haq, yakni selalu “la khaufun ‘alaihim wala hum yahzanun, tiada rasa takut dan sedih dalam hidupnya”.

Wallahu a’lam bishshawab.

Jogja, 4 Agustus 2019

______________________

Semoga artikel Hakikat Tauhid Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani (4) ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..

simak artikel terkait Hakikat Tauhid Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani (4) di sini

simak video terkait Hakikat Tauhid Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani (4) di sini

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *