Oleh: KH Munawir AF, Mustasyar PWNU DIY
Kiai Zainal Abidin Munawwir, sebelum dan sesudah menjadi kyai sama. Sama kuat. Ini menunjukkan punya komitmen yang kuat. Dalam hal apa saja, teristimewa dalam hal ngaji. Ada murid tidak ada murid, ada santri atau tidak ada santri, kalau jam mengajar Kiai Zainal tentu berada di tempat.
Artinya, ngaji biasanya diikuti santri banyak, tiba-tiba karena sesuatu hal hanya dua orang pun tetap diajarnya. Setelah dilihat, misalnya hanya 2 orang, ngaji berjalan sperti biasa. 1 jam, ya 1 jam. Kok terus dikurang, tinggal setengah juga tidak. Marah pun kagak. Sabarnya luar biasa.
Kecuali… kecuali jika berkenaan hal hukum agama, santri kok main-main. Jangan tanya.
Misalnya bab wudhu sembrono – mbasuh kakinya sembarangan, atau shalat main-main, langsung Kiai Zainal marah. Woh, kalau marah yang kasar pun bisa jadi keluar. Yang bodoh, yang goblok, dan lain-lain sudah tentu membuat malu dan jera santri. Sudah tentu spontanitas macam itu khusus kepada santri, nota bene anaknya sendiri. Kalo dengan orang lain, atau santri baru ya gaak. Dengan menunjukkan kesungguhan itu, biasanya santri lantas ada perhatian, dan kapok.
Kiai Zainal tidak punya suara keras. Suaranya lirih, pelan. Santri yang ngaji suka mencari tempat di depan. Dengan harapan dapat mendengar bacaan dan keterangannya. Bagi santri yang di belakang, jelas mereka takkan mendengar, apalagi faham keterangannya. Wong di depan saja harus menyimak kata per kata. Pakai loudspeaker atau tidak, suara Kiai Zainal ya hampir tidak ada beda.
GZ tidak peduli alat bantu sound system atau apa, seakan ia bilang kepada santri: ngaji ya diam, dengarkan, perhatikan.
Makanya seringkali, ketika ada pertemuan penting, ada santri yang namanya Nurkholis tentu peka dan tahu caranya… Ia jauh-jauh waktu, sudah menyiapkan diri utk “mengacungkan” pengeras persis di depan bibir GZ, agar suara dapat didengar semua yang hadir.
Ganjaramu gedhe kang (pahalamu besar, kang)
Allahu yarham
Krapyak, 22-03-2015