Tarekat Kiai Jazuli Ploso: Belajar dan Mengajar

Kiai Ploso

Kiai Jazuli Utsman adalah sosok kiai yang haus ilmu pengetahuan. Pengembaraan keilmuan dilalui dari berbagai pesantren, bahkan sampai di Tanah Suci, Mekah dan Madinah. Ketika sudah mantap hatinya untuk mengajar, maka peresmian Pesantren Al-Falah dan Madrasah Riyadlotul Uqul langsung dipimpin oleh guru yang sangat dihormatinya, Kiai Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang. Itu terjadi tahun 1925.

Keseharian Kiai Jazuli adalah mengajar santri. Waktu 24 jam seperti kurang untuk mengajar santri, karena fokus beliau mengajar begitu luar biasa. Kesabaran Kiai Jazuli dalam mengajar diakui semua santri. Tetapi kalau kepada anak-anaknya, maka Kiai Jazuli sangat tegas dan sangat disiplin. Anak-anaknya harus tepat waktu dalam belajar, kalau sampai ada yang telat, maka segera mendapatkan takzir.

Bacaan Lainnya

Bersama istri tercinta, Ibu Nyai Rodliyah, Kiai Jazuli tulus ikhlas dalam mendidik santri. Pada tahun 1925, santrinya baru sekitar 12 orang. Tapi pada tahun 1940, santrinya sudah mencapai 200 santri mukim. Para santri mendapatkan ilmu sekaligus keteladanan dari Kiai Jazuli. Bukan saja diajari ilmu, para santri juga selalu didoakan Kiai Jazuli dalam setiap lantunan doa yang dipanjatkan. Lahir batin santri mendapatkan sentuhan dari Kiai Jazuli.

Dalam perjalanannya, mengaji tentu banyak tantangan. Pada masa Jepang, Kiai Jazuli sempat menjadi pegawai camat kecamatan Mojo. Kiai Jazuli lakukan dengan sepenuh kemampuan. Kiai Jazuli termasuk kiai yang berdarah teknokrat, karena orang tuanya dulu juga pejabat. Kiai Jazuli juga pernah kuliah di jurusan kedokteran STOVIA Batavia.

Ketika menjadi pegawai kecamatan, Kiai Jazuli otomatis tunduk dengan aturan Jepang saat itu. Beliau pernah suatu hari ikut terlibat dalam perampasan padi dari tangan masyarakat, dan di malam harinya, beliau mengatur strategi agar bisa lepas dari jeratan Jepang, khususnya pasukan Dai Nippon.

Baca JugaKisah Kiai Jazuli Mendidik Gus Miek

Demikian juga dirasakan para santri Kiai Jazuli yang dilibatkan dan dilatih baris berbaris, hingga tampil sebagai juara se- Kecamatan Mojo. Tapi para santri ini gelisah dan mengatur strategi untuk melawan Jepang, karena  Jepang merampas harta warga dan menganiaya warga masyarakat. Jebakan penjajah itu berakhir tatkala para santri membentuk barisan tentara bernama Hizbullah. Para santri bergabung dan ikut serta melawan penjajah.

Darah teknokrat mengalir dalam diri Kiai Jazuli. Tetapi Kiai Jazuli mengikuti dan ta’at dengan dawuh gurunya, yakni ngajar santri. Maka ketika Indonesia merdeka dan ditawari sebagai Kepala Jawatan Agama di Kabupaten Kediri, Kiai Jazuli menolaknya dengan alasan mau fokus dan istiqomah dalam mendidik santri.

Setelah perang fisik berhenti, tahun 1950 Kiai Jazuli menata kembali pesantrennya. Beliau sangat gelisah dengan ngajinya para santri, sangat berharap santri fokus lagi dalam belajar. Maka, waktunya Kiai Jazuli dihabiskan untuk santrinya. Mengaji setiap saat tanpa mengenal waktu.

Di usia senja, Kiai Jazuli banyak menghabiskan waktu mengaji kitab Hikam. Kitab ini dijarkan setiap malam Jum’at, diikuti para santri dan masyarakat. Itulah Kiai Jazuli, tarekat hidupnya adalah belajar dan mengajar (ta’lim dan t’allum).

Kini, perjuangan Kiai Jazuli dilanjutkan putra-putrinya dibawah kepemimpinan KH Zainuddin Jazuli yang dibantu adik-adiknya, seperti KH Nurul Huda Jazuli, KH Fuad Mun’im Jazuli, Nyai Hj. Bardiyah, dan Gus Sabut (putra Gus Miek). Saudara yang lain, KH Chamim Jazuli (Gus Miek) dan KH Munif Jazuli sudah wafat, menyusul Kiai Jazuli.

Pesantren Al-Falah tetap menjadi pesantren salaf yang mengajarkan kurikulum sebagaimana di masa Kiai Jazuli, yakni mengadopsi kurikulum Pesantren Tebuireng di masa Kiai Hasyim Asy’ari. Program pendidikan dan pengajaran terdiri dari: Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun), Madrasah Tsanawiyah (4 tahun) , dan Majelis Musyawarah Riyadlotut Tholabah (5 tahun). Pada tingkat Ibtidaiyah, materi yang banyak ditekankan pada masalah akidah dan akhlak, sedangkan tingkat Tsanawiyah ditekankan pada materi ilmu nahwu / sharaf dan ditambah ilmu fiqih, faroidl serta balaghah. Adapun Majelis Musyawarah merupakan kegiatan kajian kitab fiqih, yakni Fathul Qorib selama satu tahun, Kitab Fathul Mu’in selama 1 tahun dan Fathul Wahab selama 3 tahun. (m)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *