Syariat Bukan Kepentingan Allah SWT, Tapi Kita

Syariat Bukan Kepentingan Allah SWT, Tapi Kita

Syariat Bukan Kepentingan Allah SWT, Tapi Kita.

Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY. 

Sekilas, syariat nampak terbelah antara yang terkait dengan urusan keakhiratan dan yang berkait dengan urusan keduniawian. Shalat, misal, ibadah keakhiratan; menghindarkan fintah adalah syariat keduniawian.

Itu tak salah. Tetapi, hakikatnya, syariat tak bisa benar-benar dipisah secara ekstrem begitu rupa, sebab pada pelbagai ibadah yang nampak ukhrawi pun, juga mengandung dampak-dampak keduniawiaan, dan sebaliknya.

Shalat, misal, jelas ibadah mahdhah-ukhrawi, tetapi ia juga menjadi parameter bagi kualitas akhlak antarsesama. Semakin bagus kualitas shalat seseorang, semakin terjauhkan ia dari perbuatan keji dan mungkar. Misal, menipu atau korupsi. Begitupun menghindarkan diri dari pusaran fitnah atau bersilang pendapat yang penuh kerumitan; ia berdampak nyata pada kualitas kehidupan duniawinya sekaligus mencerminkan kualitas imannya kepada Allah Swt. Jadi, dengan perspektif ini, syariat dapat dinyatakan sebagai kesatuan holistik duniawi-ukhrawi.

Peletak syariat jelas adalah Allah Swt. Dan obyeknya adalah manusia, kita. Tetapi, manusia juga sekaligus subyeknya. Subyek pelaksananya.

Karena manusia adalah subyek dan sekaligus obyek syariat, sudah pasti manusialah yang berkepentingan dengan penegakan syariat itu. Bukan Allah Swt. Ya, sekali lagi, bukan Allah Swt. Apa pengaruhnya tegak/tidak syariat Allah Swt di muka bumi ini bagiNya? Sama sekali tak ada.

Wahai HambaKu, umpama seluruh jin dan manusia sejak awal penciptaan hingga akhir penciptaan menjadi paling bertakwa kepadaKu, sungguh itu takkan menambah kekuasaanKu sedikit pun; Wahai HambaKu, umpama seluruh jin dan manusia sejak awal penciptaan sampai akhir penciptaan bermaksiat kepadaKu, sungguh itu takkan mengurangi sedikit pun kekuasaanKu,” begitu tutur sebuah hadis Qudsi dalam riwayat Muslim. Di al-Qur’an, Anda juga bisa menemukan hal setema dalam surat al-Isra’ ayat 7 dan Luqman ayat 12.  Juga surat Hud ayat 118.

Dalam kitab Riyadhus Shalihinsusunan Imam Nawawi, dalam riwayat Abu Hurairah juga dituturkan oleh Rasulullah Saw bahwa umpama dosa manusia seluas langit dan bumi, asal ia tidak menyekutukanNya dan bertaubat padaNya, maka ia akan diterima oleh Allah Swt.

Cukup, ya. Dalil-dalil ini kita cukupkan sampai di sini sebagai bukti valid bagi “tidak butuhnya” Allah Swt kepada patuh/tidaknya manusia kepada syariat yang diperintahkan Allah Swt. Simaklah lagi surat al-Kahfi ayat 29.

Maka kini pertanyaannya ialah mengapa Allah Swt menatapkan syariatNya kepada manusia? Untuk apa?

Jawabannya ialah “untuk menguji manusia” (siapa yang paling patuh kepadaNya) dan sekaligus “untuk kebaikan manusia sendiri”.

Pada ayat tentang had(hukuman), misal qishas, dikatakanNya bahwa di dalam penegakan had itu ada kehidupan. Maka ditegaskanNya supaya tidak ada “belas kasih” kepada penegakan had yang telah terbukti validitasnya. Tujuannya tiada lain untuk merawat kehidupan itu sendiri.

Dengan demikian, sejatinya bisa kita paham bahwa kualitas peradaban kehidupan manusia di dunia ini otomatis akan berjalan seiring dengan kualitas penegakan syariat itu sendiri. Semakin tegak, semakin maslahat, dan sebaliknya. Kita bisa menyaksikan dengan nyata praktik ideal tersebut melalui Piagam Madinah yang ditegakkan oleh Rasulullah Saw di Madinah. Semua orang, tanpa peduli SARA, diberi status hukum yang jelas dan adil. Semuanya bersengkuyung menguatkan satu sama lain. Sama di depan hukum. Itulah era madaniyah, keberadaban, yang sungguh menakjubkan.

Tetapi memang praktik hal begini seringlah menjadi tak sederhana di antara kita; di antara makin majemuknya realitas hidup kita.

Apa yang kita pahami dan sebut sebagai “penegakan syariat” acap betul terlimpas jungkal pada sekadar ambisi-ambisi yang tak lagi sejalan ruhnya dengan kemaslahatan syariat itu sendiri. Kita bisa menukil ayat dan hadis apa saja pada suatu konteks hukum dan mengatakannya sebagai “inilah syariat Allah Swt”, tetapi tepat di detik yang sama kita tergulung dalam gelora ambisi kita dan kelompok kita sendiri hingga berseterudengan liyan dan kelompok lainnya. Ini memang anomali. Bagaimana mungkin ayat dan hadis sebagai landasan syariat justru memicu kita untuk saling bersitegang, bermusuhan, berpecah-belah, dan terjauhkan dari ruh kemaslahatan syariat itu sendiri, dengan mengatasnamakan syariat itu pula?

Kita bagai terjatuh bertubi-tubi di perkara ini.

Ini sungguh soal serius di antara kita semua. Selayaknya kita mesti terus memikirkan dan merenungkannya demi mengembalikan otentisitas syariat sebagai jalan kemaslahatan hidup tanpa batas SARA antarkita semua.

Secara sederhana, nampaknya, sumber utama bagi kemelut atas nama syariat itu ialah makin cenderungnya kita menyatakan diri benar sembari menindih pihak lain salah. Kita menjadi makin kehilangan spirit adil bukan hanya kepada liyan, tapi bahkan kepada diri sendiri. Bayangkanlah!

Kita memahami bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadis banyak betul yang bersifat multitafsir. Karakter demikian bahkan dominan jumlahnya. Kita pun telah mengetahui bahwa kondisi demikian merupakan bagian dari ejawantah kemukjizatan agar Islam terus bisa relevan sepanjang zaman. Rahmatan lil ‘alamin. Begitu grand-orientation-nya. Sungguh tak kebayang bila ayat-ayat dan hadis-hadis lalu mengalami kadaluarsa di hadapan laju zaman dikarenakan dalil-dalilnya bersifat mutlak-teknis.

Tetapi tepat di atas kondisi riil demikianlah kita rawan terjatuh pada klaim. Ya, klaim. Superlative-claim: yakni mengklaim apa yang kita pahami, anut, dan amalkan adalah yang benar (truth claim) dan selamat (salvation claim), sedangkan yang selainnya adalah salah dan celaka.

Apa benar demikian?

Tentu saja itu hanya klaim. Kebenarannya amat relatif. Bagaimana bisa sesuatu yang benar relatif kita rayakan dengan mengharu biru sebagai benar mutlak? Ini soalnya. Letak serius soal ini ialah gagapnya kita untuk adil dalam memahami dan mendudukkan dalil-dalil di satu sisi sebagai benar-mutlak dengan pemahaman-pemahaman kita di sisi lain sebagai benar-relatif.

Ayat al-Qur’an tentang ta’awanu ‘alal birri wat taqwa, misal, jelas benar-mutlak; tetapi pemahaman kita terhadapnya tidak bisa disejajarkan benar-mutlak layaknya ayat tersebut. Kebenaran Allah Swt janganlah dipadan-setarakan dengan pemikiran kita yang nisbi-relatif kebenarannya.

Begitu prinsip sederhananya.

Maka, langkah strategisnya secara paradigmatis ialah marijembarkan hati setiap kita untuk menerima kemajemukan tafsir, takwil, dan pemahaman terhadap ayat-ayat dan dalil-dalil itu. Dan, sudah pasti, ini mesti berfondasi pada dua pilar: kejernihan rohani dan kedalaman ilmu.

Kita memahami betapa semakin jernih dan cemerlang rohani seseorang, tanda semakin takut hatinya kepada Allah Swt, semakin patuh kepada syariatNya, semakin sadarnya ia bahwa dirinya hanyalah kenisbian dan kefanaan semata, sementara Allah Swt lah semata Yang Maha Benar dan Hakiki, ia akan semakin rendah hati, jembar hari, tawadhu’, dan terjauhkan dari arogansi diri. Termasuk memandang dan mendudukkan pandangan, paham, dan mazhab anutannya di antara pandangan, paham, dan mazhab anutan liyan.

Dan, maaf kata, sebaliknya.

Kita pun memahami betapa semakin luas dan dalam ilmu seseorang, semakin lengkap fondasi perspektifnya atas suatu hal, secara dalil naqli maupun aqli, niscaya semakin banyak pertimbangannya, kehati-hatiannya, dan kebijaksanaannya.

Saya nukilkan satu kaidah ini: al-halalu bayyinun wal harami bayyinun, yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di al-Qur’an juga ada ayat 256 dari al-Baqarah: qad tabayyanar rusydu minal ghayyi, sungguh telah jelas antara jalan yang benardenganjalan yang sesat.

Itu benar, memang benar adanya. Contoh nyatanya: riba.

Begitu jelas ayat tentang keharaman riba. Semua kita sepakat. Itu cermin bahwa al-halalu bayyinun wal haramu bayyinun.

Tetapi, apakah bank itu haram dengan argumen riba itu?

Nah, tepat pada pertanyaan ini saja, kita akan menyaksikan berbagai pandangan. Sejumlah ulama mengatakan dengan tegas haram, sejumlah lainnya tidak. Yang mengatakan haram karena menggolongkan praktik perbankan sebagai praktik riba, yang menghalalkan mengatakan bahwa perbankan bukan bagian dari praktk riba.

Mereka mengatakan bahwa yang bisa dimasukkan ke dalam kelompok praktik riba ialah renten. Orang Jawa menyebutnya bank plecit. Tetapi perbankan, termasuk yang konvensional, berbeda regulasi dan praktiknya dengan praktik bank plecit tadi.

“Pintu masuk” inilah yang lalu menisbatkan perbedaan fatwa hukumnya. Kenyataan ini sejalan dengan prinsip dasar Ushul Fiqh bahwa suatu ‘illatul hukmi (konteks hukum) akan melahirkan bentuk hukumnya; ketika konteksnya berubah, bergeser, tak sama, misal atas dasar “pintu masuk” tadi, maka logislah ia lalu menjadi tak sama lagi. Dan seterusnya.

Fenomena jual beli online pun begitu situasinya. Jugaihwal perawatan kecantikan, kafe, wedding organizer, dan segala hal lainnya yang berskala kekinian.

Lihatlah, misal, hadis “larangan mengenakan wewangian bagi kaum perempuan saat bepergian”. Jika hadis tersebut hanya ditilik secara bunyi teksnya, jelaslah seluruh bentuk parfum menjadi tidak boleh dipakai kaum perempuan. Tapi, apa benar sesederhana itu urusannya? Apa benar kaum Hawa tak boleh berwangi-wangi, merawat tubuh, atau, ekstremnya, berbau badan saja? Apa benar‘illatul hukmi-nya hanya soal mencegah diri dari kerawanan menjadi sebab bagi terpicunya gelora seksualitas orang lain non mahram di ruang publik?

Tentu saja tak lagi relevan kini untuk melulu menggunakan kacamata hitam-putih begitu dalam mengkaji hadis tersebut. Konsekuensinya, teks hadis tersebut memerlukan pengkajian yang lebih holistik lagi, menyeluruh, dinamis, sesuai dengan realitas hidup yang melingkupi kehidupan umat Islam sendiri kini. Buah hukumnya niscaya nanti akan berbeda lagi.

Tepat pada hasil pengkajian yang berlandaskan keluasaan dan kedalaman ilmu inilah kita akan merasakan kemaslahatan teks syariat yang dinamis; berikutnya, kerahmatan Islam yang terus terkibarkan.

Perhatikan pula contoh khilafah Islamiyah. Apa gerangan yang akan kita lesakkan kepada pembacaan sejarah Khulafaur Rasyidin di hari ini, misal? Apakah kita akan menumpukan pada mekanisme ahlul halli wal aqdi ala kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq; ataukah penunjukan ala kekhalifahan Umar bin Khattab; maupun sistem baiat ala Ali bin Abi Thalib; ataukah sistem monarki macam kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Yazid bin Muawiyah, dan terus ke bawahnya, dan terus hingga kekhalifahan Utsmani Turki?

Sungguh, sekali lagi, keluasaan  dan kedalaman ilmu akan sangat mempengaruhi perspektif kita kepada suatu hal, landasan naqli dan aqlinya, kemudian penyimpulan hukumnya, dan dampak maslahatnya bagi bangunan syariat itu sendiri dalam kehidupan riil kita. Perubahan pemikiran akan membuahkan perubahan perilaku; perubahan perilaku akan membuahkan perubahan pemikiran. Begitu, kan?

Mari ingat selalu satu hal yang sangat mendasar bahwa Islam ini diturunkan oleh Allah Swt kepada manusia untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Rasul Saw diutus untuk menebar kasih sayang antarmanusia; untuk menyempurnakan akhlak karimah manusia. Itu semua tiada lain adalah semata wajah-wajah kemaslahatan. Itulah esensi syariat Islam buat kita. Ya, buat kita, bukan buat Allah Swt Yang Maha Kuasa.

Demikian tentang Syariat Bukan Kepentingan Allah SWT, Tapi Kita, semoga manfaat.

Wallahu a’lam bish shawab.

Kalasan Kafe, Jogja, 19 Januari 2010

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *