Saya Pernah Ekstrim, Untung Tak Seekstrim Itu (01)

ekstrim

Lalu se-ekstrim apa saya dulu?

  1. Jaman SMA sempat didekati oleh kakak-kakak kelas yang aktif di pengajian, yang memberikan bimbel gratis yang diselenggarakan di masjid yang letaknya tak jauh dari sekolah. Diajak berjuang memerangi kristenisasi di kota saya. Mmmmm…aneka doktrin yang dijejalkan ‘baru sebatas’ membuat saya tak pernah mau membaca koran Kompas selama puluhan tahun yang menurut mereka adalah akronim dari “Komando Pastur”. Saya keburu keluar dari kelompok tersebut, tetap bergaul biasa dengan teman-teman yang beragama nasrani, berusaha mengobservasi sendiri seperti apa mereka. Dan selanjutnya saya kembali menjadi remaja yang lebih asyik menata masa depan dengan prinsip hidup “waktu belajar jangan sampai mengganggu waktu bermain” hehehe
  2. Masa awal-awal kuliah sticker yang menempel di banyak benda pribadi saya adalah “Islam is my way of life”, “Be a good moslem or die as a syuhada”
    Tapi “untungnya” prinsip hidup masa SMA masih tertanam kuat. Jadi pergaulan dengan teman-teman di pengajian kampus hanya sebatas memperluas jaringan pertemanan.
    Yang menempel dari masa ini “hanya” membenci WNI keturunan cina dan curiga kepada kaum nasrani. Mungkin saya terlalu nasionalis untuk diajak membenci pemerintah, jadi saya tak pernah berpikir tentang Indonesia adalah negara dengan sistem thogut.
  3. Hati dipertautkan dengan seorang pemuda yang di mata saya sempurna karena dia muslim, pintar, santun, hangat, bersih, rapi, penyayang, romantis, penuh semangat, pekerja keras, penuh tanggung jawab, tentunya enak dipandang juga menurut saya, dan yang terpenting…dia memuja saya. Eaaa…)
    Dia WNI keturunan Cina, dan malah menjadi suami saya. Duaaarrr…kuwalat yang mendatangkan nikmat.

Saya mulai melihat bahwa orang-orang cina adalah orang-orang yang sama dengan saya. Yaiyalaaah….species kita kan memang sama persis.

  1. Awal-awal menikah, tak terlalu lama dari konflik “Serbia-Bosnia”
    Curiga dan kurang menyukai orang nasrani. Bahan bacaan majalah “Sabili”
  2. Pindah ke negara dimana muslim sebagai minoritas. Allah malah mempertemukan saya dengan sahabat-sahabat yang sangat baik, yang sangat membantu saya melalui masa-masa culture shock saat awal-awal tinggal di negara itu. Mereka semua sangat perhatian dan selalu siap membantu setiap kali saya dan keluarga membutuhkan pertolongan apapun. ‘Celakanya’ hampir semua sahabat saya tersebut beragama katolik.
    Ketidaksukaan dan kecurigaan saya terhadap kaum nasrani luntur sudah.
    Bagaimana tidak, mereka sangat menghormati saya sebagai muslim, boro-boro memaksa untuk mengikuti agama mereka, untuk hal yang ‘kecil’ sekalipun, setiap kali kami mengadakan acara kumpul-kumpul, selalu meyakinkan hidangan yang kami santap semua halal. Di masa-masa itulah saya merasakan nikmatnya menghayati ayat “lakum dinukum waliyadin”

Sun sayang buat para sahabat saya di awal-awal kami sekeluarga bermukim di negeri orang, :Pundak Hayati, Devi Hdyn, Miftahul iif, JannahDesk, Amarati Putu, Kutarini, Maria Asteria, Wulandari, Novy, Cristiaan, Emiliana, Hapsari, Lina Jenie, Nita Chendra Purnomo, Suzi Lee.

  1. Sejak SMP sampai menikah saya buka tutup jilbab. Waktu SMP, setiap kali libur panjang, atas keinginan pribadi, saya mondok di pesantren. Selama itu pula saya berjilbab rapat. Tapi setiap kali mulai masuk sekolah, saya berpakaian biasa lagi. Selain karena masa itu jilbab masih dilarang dikenakan di sekolah-sekolah dan kantor-kantor, saya pun masih sangat nyaman berpakaian biasa.

Di usia pernikahan 11 tahun, hampir 4 tahun tinggal di negara ‘kafir’, usia menjelang 35 tahun, saya baru mantap berjilbab. Tanpa dipengaruhi oleh siapa pun, bahkan tanpa minta persetujuan suami, yang ternyata sama sekali tak mempermasalahkan, bahkan mendukung.

  1. Setelah berjilbab, saya banyak mengikuti mailing list bernuansa islam. Bahan bacaan saya selain artikel dan berita yang dibagikan di mailing list, juga majalah-majalah islam. Dan sejak itu saya menjadi simpatisan berat partai yang tak boleh disebut namanya, sampai di Pileg 2014 lalu.

Dinamika luar biasa saya alami selama menjadi simpatisan berat partai nganu…eh…partai yang tak boleh disebut namanya ini.
Suatu masa disajikan kisah mengharu biru yang membuat jatuh hati kepada beberapa pemimpin dari negara islam, tapi beberapa tahun kemudian disajikan kisah yang mengubah paradigma dalam melihat para pemimpin yang sama saat mereka akhirnya dieksekusi oleh rakyatnya sendiri setelah negara mereka diobok-obok oleh Amerika.
Yang paling ekstrim adalah kisah pengidolaan partai nganu sampai ke seluruh simpatisannya, kepada Presiden Iran Ahmadinejad. Tiba-tiba begitu pecah konflik di Suriah, Ahmadinejad dan Iran dibawakan kisahnya sebagai “bad guy”

Singkat kata, disana nuansa penggiringan sentimen benci dan cinta kepada sesuatu dan seseorang sangat kental. Yang jelas, kecurigaan dan sinisme kepada pemerintah, terutama kepada aparat keamanan, selalu didengung-dengungkan.

Penggiringan sentimen yang sangat bisa menghasilkan pemujaan, atau sebaliknya, membenci sampai ke tulang sumsum. Dan saya sempat merasakan panas dinginnya perasaan benci atau cinta itu. Hanya benci atau cinta. Titik.

15 Mei 2018.

Penulis: Satyowati Pancasiwi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *