Rahasia Sejatinya Manusia Menurut Syekh Abdul Qadir Al Jailani

Rahasia Manusia

Rahasia Sejatinya Manusia Menurut Syekh Abdul Qadir Al Jailani.

Oleh Edi AH Iyubenu, Wakil Ketua LTN PWNU DIY

Ada ungkapan Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah dalam kitab Sirrul Asrar Fima Yahtaj ilaihi al-Abrar yang sangat penting, sekaligus sensitif, yakni “mengenal Allah Swt dengan Allah Swt dan melalui Allah Swt juga.”

Bagaimana maksudnya?

Pertama-tama, mari kita deklarasikan ikrar iman yang kokoh, tegak, dan manunggal di dalam hati terdalam hanya kepada Allah Swt. Tiada sekutu apa pun bagiNya. La ilaha illaLlah.

Berikutnya, kita memahami bahwa Kemahaan Allah Swt musykil dirumuskan dan didefinisikan dalam segala bentuk pemahaman manusia. Apalagi diklaim final. Apa pun yang kita pahami, niscaya ia hanyalah serpihan-serpihan tangkapan fana kita terhadap Hakikat DzatNya yang Qadim dan ‘Azali.

Allah Swt adalah Nurun ‘ala Nurin, Cahaya di atas Cahaya, laisa kamitslihi syaiun, tiada sesuatu pun yang seperti menyerupaiNya.

Bayangkan dulu!

Umpama kita sedang memandang suatu cahaya, itu jelas hanyalah cahaya zahir, cahaya lahiriah. Adapun Cahaya Allah Swt bukanlah cahaya zahir, lahiriah. Sudah begitu, CahayaNya masih melampaui Cahaya lagi, dan lagi, serta lagi. Maka begitulah dikatakan Cahaya di atas Cahaya. Sudah pasti, kita takkan pernah mampu membayangkan betapa tak terbatasnya CahayaNya Swt.

Lalu, “tiada sesuatu pun yang seperti menyerupaiNya” –inilah arti tekstual “laisa kamitslihi syaiun”.

Secara semantik, kata “tiada” berarti negasi kepada ada. “Sesuatu pun”, maknanya adalah segala hal, sesuatu, apa saja. Maka, balaghahnya adalah segala hal, konsep, paradigma, bayangan, hingga imajinasi yang kita jangkau perihal Allah Swt dinegasi, ditiadakan sepenuhnya dan semutlaknya. Segala yang ada, bahkan sekadar mungkin ada, menjadi benar-benar tiada sama sekali.

Berarti sekarang bisa disimpulkan keadaanya adalah “kosong”.

Tak cukup di makna tersebut, masih berlanjut dengan “seperti menyerupaiNya” (kamitslihi). Bila “seperti” saja tidak ada, dinegasi, apalagi “yang menyerupaiNya”, bukan? Ketika keduanya digabung, “seperti menyerupaiNya” dinegasi, ditiadakan, maka apalagi dengan kemungkinan menyamaiNya?

Jelas mustahil!

Sampai di sini, teranglah bahwa Dzat Allah Swt benar-benar tak terjangkau sama sekali….

Dalam arah pemahaman tersebut, ungkapan beliau qaddasahuLlah “mengenal Allah Swt dengan Allah Swt dan melalui Allah Swt juga” mengandung konsekuensi pemahaman ketiadaan pemahaman sama sekali. Ini serupa dengan paparan tauhid Abu Bakar ash-Shiddiq yang kemudian dinukil oleh Imam Junaid al-Baghdadi.

Kita telah menyadari tadi betapa mustahilnya kita mengjangkau Dzat Allah Swt. Itu berarti pula mustahil untuk memahami dan mengenal Dzat Allah Swt. Prinsip ini mesti selalu kita pegang secara hakiki –bahkan umpama kita seolah punya suatu pengenalan tentangNya.

Ini pertama.

Yang kedua, konsekuensi berikutnya, segala apa yang kita pahami, definisikan, hingga rasakan perihal Allah Swt pada hakikatnya bukan Dzat Allah Swt, melainkan “semata” pendar-pendar CahayaNya yang diejawantahkan, ditajallikan olehNya, kepada kita –dalam hal ini “manusia”.

Ini berarti tiada kesahihan mutlak bagi kita untuk mendaku tangkapan-tangkapan pemahaman hingga perasaan kita tentang pendar-pendar CahayaNya sebagai Dzat Allah Swt itu sendiri. Tidak boleh begitu. Ingat selalu, jangankan kita yang fana dan dhaif ini, bahkan malaikat Jibril As pun akan hancur bila melangkah sekali lagi menuju DzatNya Swt.

Mari bersyukur betapa Maha Rahman RahimNya Allah Swt menghadiahi kita syariat. Melalui jalan syariat yang telah ditetatpkanNya itu, kita lalu bisa mengenalNya, memahamiNya, dan merasakan hadirNya. Tentu, syariat yang dimaksud bukanlah sekadar gerak-gerik ritual tanpa selaman rohaniah. Ia mestilah meliputi sekaligus syariat lahiriah dan syariat batiniah.

Tatkala kita menangis dalam sujud di suatu salat Tahajjud, misal, denyar-denyar rasa suwung dan fananya diri yang menjenterah merupakan sebentuk penisbatan CahayaNya ke dalam hati kita. Kita merasakan diri begitu penuh dosa, lemah, digumuli hawa nafsu, dekat betul dengan azabNya, lalu kita memohon ampunanNya, Belas KasihNya, dengan hati yang tulus, itulah momentum menyelusupnya CahayaNya ke dalam diri.

Tepat saat itulah kita mengenal suatu kemahakuasaanNya; tepat pada situasi demikianlah kita bisa memahami maksud “mengenal Allah Swt dengan Allah Swt dan melalui Allah Swt juga.” Ya, dalam “suatu pemahaman”.

Allah Swt lah yang menyerukan kita salat Tahajjud. Lalu dengan karunia Allah Swt pula lah kita bisa bangun, kemudian berwduhu, dan menjalankan salat Tahajjud menyambut perintahNya; dan, terakhir, melalui Allah Swt juga lah kita merasakan hadirNya, kekuasaanNya, hingga Rahman RahimNya dalam sujud panjang yang penuh derai air mata. Begitu tamsilnya.

Semakin kita menjalani hal sejenis itu, dengan sendirinya kita akan semakin mengenalNya. Ya, mengenal melalui jalan “mengenal Allah Swt dengan Allah Swt dan melalui Allah Swt juga.” Allah Swt hadir kepada hati kita dengan karunia Allah Swt dan melalui amaliah yang diajarkan Allah Swt juga.

Berikutnya, semakin kita intim dan intens, semakin waktu, semakin tahun, insya Allah kita akan semakin menggapai maqam “musnah” atau “fana” dalam CahayaNya.

Beliau qaddasahuLlah mengatakan, “Dunia ini hanyalah merupakan penzahiran sifat-sifat Allah Swt. (Adapun) di derajat Dzat, semua musnah (fana), semua hangus terbakar. Orang-orang yang tenggelam dalam derajat Dzat tersebut merasa dirinya hilang musnah, tetapi mereka dapat merasakan kehadiran Dzat tersebut. Yang Ada hanyalah Allah Swt, sedangkan yang lainnya tak lagi mereka rasakan.”

Kemusnahan atau kefanaan tersebut merupakan buah dari tidak berpalingnya diri lagi dari Allah Swt. Segala sesuatu semata terpandang sebagai ejawantah (tajalli) Allah Swt. Apa saja! Maka wajar bila secara rohani kondisi tersebut menjadikan eksistensi diri (walau kewadagannya tetap ada) “seolah” tak lagi ada, ternegasikan, digantikan oleh semata Cahaya Allah Swt yang terus-menerus menyinari eksistensi diri.

Cobalah bayangkan ungkapan sufi bahwa bila kau sedetik saja tak mengingatNya, maka sejatinya kau telah lalai, terputus dariNya, dan itu adalah bentuk tercerabutnya tauhid dari hati. Bayangkan Anda berada di situasi rohani begitu. Tentulah, tiada lain semua realitas adalah tajalli Allah Swt semata.

Beliau qaddasahuLlah memberikan ilustrasi yang sangat memikat di sini, “Dzat Allah Swt tidak dapat diceritakan atau digambarkan, tidak dapat pula dibayangkan bagaimana keadaannya. Bayangan dalam cermin; tetapi yang tampak sebagai bayangan itu bukan cermin dan bukan pula orang yang bercermin di depan cermin itu.”

Mari kita pahami dengan cara begini: bila Anda berdiri di depan cermin, memantullah bayangan Anda di dalam cermin itu kepada Anda. Anda sangat memahami bahwa “bayangan dalam cermin” itu bukanlah dzat Anda. Bayangan maupun cermin itu bukan dzat Anda.

Dzat Anda tetaplah dzat tersendiri, terpisah, tidak terwakilkan oleh bayangan dalam cermin itu, meski dipantulkannya.

Ilustrasi ini hanyalah menjadi keperluan nalar kita untuk bisa memahami bagaimana Dzat Allah Swt itu, kemudian pantulan-pantulan tajalliNya dalam pelbagai sifatNya, af’al-Nya, hingga ciptaan-ciptaanNya, termasuk manusia.

Memandang manusia, diri, bisa menjadi pantulan “bayangan dalam cermin” bagi rahasia “bagian dari (ciptaan) RuhNya”. Pantulan “bayangan dalam cermin” itu secara rohani bisa menjembatani pengenalan kita kepada Allah Swt, lalu menjadi sikap ketundukan dan menyembahNya sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa. Semakin dalam pengenalan tersebut –tanda semakin dalamnya kita mengenal diri sendiri—akan semakin tenggelam kita dalam Cahaya-CahayaNya, pancaran Hakikat DzatNya.

Jika telah begitu, tiada gahiruLlah lagi yang kita pandang. Segalanya adalah semata Allah Swt. Inilah makna dari memandang “rahasia manusia”, atau dalam hadis Qudsi disebut “Manusia adalah RahasiaKu dan Aku adalah rahasia manusia.”

Maqam fana inilah yang kemudian mengantarkan pada derajat tinggi musyahadah, penyaksian terus-menerus Allah Swt dengan Allah Swt dan melalui Allah Swt.

La ilaha illaLlah menjadi sebenar-benar tiada Tuhan selain Allah Swt.

Wallahu a’lam bish shawab.

___________________

Semoga artikel Rahasia Sejatinya Manusia Menurut Syekh Abdul Qadir Al Jailani ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin

simak artikel terkait Rahasia Sejatinya Manusia Menurut Syekh Abdul Qadir Al Jailani ini di sini

simak video terkait di sini

Jogja, 16 September 2019

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *