Rahasia KH Ali Maksum Melahirkan Generasi NU yang Brilian

KH. Ali Maksum

K.H. Ali Maksum merupakan salah satu tokoh NU yang sukses melahirkan generasi NU yang brilian pada masanya. Ada Gus Dur, Gus Mus, Kyai Said Aqil Siraj, dan banyak lagi. Kesuksesan ini, tentu tidak lahir begitu saja, tetapi melalui proses yang dinamis. Seperti apakah proses yang dilakukan K.H. Ali Maksum di dalam mendidik para santrinya? Berikut redaksi menurunkan wawancara dengan K.H. Afif Muhammad, MA., Ketua Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, yang juga cucu KH Ali Maksum. 

KH Ali Maksum merupakan sosok Kiai yang tergolong sukses melahirkan generasi-generasi NU yang brilian. Apa rahasianya ?

Bacaan Lainnya

Mbah Ali itu mempunyai kekuatan pribadi atau karakter yang bisa mencerahkan dan memberikan inspirasi kepada para santri. Kekuatan pribadi ataupun karakter dari Mbah Ali ini dapat dirasakan oleh para santrinya, karena beliau dekat dengan para santrinya. Kalau melihat tulisan dan rekaman-rekaman video Mbah Ali, maka karakter Mbah Ali dalam mendidik para santrinya akan terlihat.

Mbah Ali juga memiliki himmah yang besar untuk bisa mendidik. Santri dulu itu, mulai dari yang paling kecil sampai yang paling tua, ngaji sorogan langsung kepada  beliau. Bahkan yang kos-kos di Krapyak, bahkan orang-orang yang aktif di Kodama, juga ikut sorogan di ndalem Mbah Ali. Sepeninggalan beliau, saya belum menemukan kiai yang seperti itu, yang bisa menyempatkan waktunya untuk ratusan santri-santrinya, bahkan hampir setiap hari sorogan. Walaupun kadang sering keluar kota, misalnya pulang jam 12 malam, maka setelah subuh pun menyempatkan waktunya untuk memberikan sorogan kepada para santrinya. Jadi, himmah untuk mendidik para santrinya itu tetap ada.

Baca JugaNyai Hj. Ida Rufaida Ali: Ibu Nyai Hasyimah itu Telaten dan Tangguh

Walaupun beliau sempat sakit beberapa tahun, beliau tetap memberikan sorogan, meskipun tidak ke semua santri. Hanya santri-santri yang dekat dan santri yang senior. Pengajian sorogan dilakukan di dalam kamar. Bahkan di akhir-akhir hayat beliau, ketika sedang sakit, Mbah Ali pernah memberikan pengajian dari dalam kamar, sementara santrinya di luar. Hal seperti ini dilakukan sebab merupakan tanggung jawab beliau yang dipasrahi santri untuk dididik. Bentuk didikan Mbah Ali adalah dengan sorogan mulai dari anak kecil (sekarang MA) hingga dewasa (sekarang Mahasiswa S2).

Apakah karakter atau kepribadian Kiai Ali merupakan warisan dari keluarganya?

Ya, karena modelnya Mbah Maksum (ayah beliau-red) juga seperti itu. Maka, banyak orang bilang bahwa Mbah Ali banyak turun ke bawah sehingga ketika ada santri yang bolos tidak sorogan, beliau tahu dan kemudian memanggilnya. Santri yang tidak ngaji sorogan tersebut kemudian diberi sanksi, misalnya ikut kerja bakti, memijat, dan membersihkan lingkungan sekitar pondok. Dari sinilah Mbah Ali mengakrabi santri. Karena itu, aura pribadi Mbah Ali kemudian banyak yang turun kepada para santrinya.

Selain istiqamah dalam mengajar, kepribadian apa yang dimiliki Kiai Ali dalam mendidik santrinya?

Kalau mendidik, Mbah itu memberikan perlakuan berbeda-beda kepada para santri. Artinya, ketika berbicara dihadapan santri tsanawiyah ataupun aliyah, berbeda dengan berbicata di depan santri yang menghafal al-Qur’an, atau di hadapan mahasiswa. Bahkan terhadap santri yang mbeling (bandel), punya perlakukan tersendiri. Hukuman yang diberikan ialah diajak untuk keluar kota mengisi pengajian, entah dalam perjalanannya itu disuruh memijati atau bagaimana. Beliau juga membedakan jama’ah tarawih sendiri untuk santri yang mbeling. Kemudian setelah tarawih, biasanya ada ngajinya.

Selain dari sang ayah, kepribadian Kiai Ali terbentuk dari siapa?

Selain dari ayah beliau yang memang Kiai, kekuatan pribadi serta keluasan ilmu dan pengalaman, itu dibentuk dari guru-guru beliau yang memang orang-orang besar, seperti Kiai Amirudin dari Pekalongan; Kiai Dimyati yang merupakan murid dan adik Syekh Mahfudz Termas, dan guru-guru beliau di Haramain yang kalau kita lihat sejarah, memang merupakan ulama-ulama besar di Makkah, seperti Syekh Umar Hamdan, Syekh Hamid Mannan, dan Sayyid Alawi Al-Maliki Al-Hasani. Artinya ini cocok, bahwa orang besar lahir dari orang besar juga. Terlepas dari faktor genetis, tetapi orang yang besar memang lahir dari orang yang besar pula.

Keahlian pada bidang apa yang menonjol dari Kiai Ali?

Kalau keahlian, Mbah itu sejak kecil dilatih dan dididik oleh sang ayah dengan ilmu lughat (bahasa). Beliau kemudian belajar balaghah di Semarang, Pekalongan, dan Tremas. Selain dididik, beliau memang gemar untuk mempelajarinya.

Jadi, rahasia sukses Kiai Ali mampu melahirkan orang-orang besar seperti apa?

Kalau ditanya kenapa Mbah Ali mampu melahirkan orang-orang besar atau santri yang jadi, seperti saya katakan tadi, selain Kiai senior, Mbah Ali juga langsung turun tangan. Santri dari tingkat tsanawi sampai guru-guru, semua ngaji sorogan kepada Mbah Ali. Itu di dalam satu majlis selama kurang lebih dua jam. Itu dilakukan setiap hari. Yang seperti ini saya belum menemukan lagi. Meskipun beliau seorang Kiai senior, dididik dari orang-orang besar, tetapi beliau mau berhubungan langsung dengan orang-orang kecil. Oleh karena itu, aura beliau langsung tertransfer ke para santri. Dengan demikian, orang merasa dididik langsung oleh beliau.

Baca JugaWasiat KH Ali Maksum yang Paling Dikenang

Saya saja yang saat itu masih kecil, merasa bahwa ada tanggung jawab bahwa saya pernah ngaji ke Mbah. Tentu tanggung jawab saya jangan memalukan guru, karena gurunya bukan orang sembarangan. Di sisi lain, santri akan cenderung untuk berbuat hal-hal yang sembodo (berkualitas) karena merasa menjadi santri Mbah Ali. Mbah Ali tidak menentukan kitab apa yang menjadi sorogan setiap santri. Mereka bebas memilih sendiri, kecuali kalau terlalu tinggi, Mbah Ali akan memberi referensi. Hal seperti ini juga mendidik agar santri berpikir kitab apa yang sesuai dengan kemampuan dirinya. Ini yang sekarang tidak terpikirkan.

Kapan terakhir Pak Afif berinteraksi  dengan Kiai Ali?

Saat itu saya masih kecil, masih kelas 2 Aliyah. Alhamdulillah di masa-masa akhir beliau gerah sampai menjelang Muktamar, kemudian kurang lebih satu minggu setelah Muktamar beliau wafat, saya termasuk ikut sorogan. Menjelang Muktamar, satu-dua bulan sebelum itu, beliau masih sorogan dengan para santri, tetapi tidak semua santri, hanya terbatas yang senior.

Terkait kiprah di NU, apa kontribusi Kiai Ali?

Kalau itu bisa dibaca di buku-buku para pengamat yang lebih objektif. Kalau dari saya nanti sisi subjektif sebagai keluarga akan muncul. Yang jelas, Mbah Ali meneruskan yang sudah dilakukan sebelumnya di NU. Selain sebagai Rais Aam, beliau juga banyak turun ke berbagai daerah untuk mengisi pengajian-pengajian. (Anas/Sholihin/Nasrudin)

*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Bangkit edisi April 2013.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *