Rahasia Kewalian Mbah Maimoen yang Menggetarkan Hati Santri.
Dulu, ndalem (rumah) Allah Yarham Syaikhuna KH. Maimoen Zubair itu masih jelek, temboknya masih biasa, hanya batubata saja. Lantainya juga masih jelek. Belum kramikan. Nah, yang membangun dan merenovasi ndalem Mbah Moen menjadi lebih baik pertama kali adalah salah satu santri Kinasih Beliau, yakni Allah Yarham KH. Abdul Wahib Zuhdi, Bandungsari.
Kyai Wahid saat itu menjabat sebagai ketua pondok. Beliau tahu bahwa Mbah Moen tidak suka jika ndalemnya dibangun. Dan bahkan, Kyai Wahid sudah tahu, kalau sampai Mbah Moen mengetahui ndalem beliau dibangun, pasti Mbah Moen akan duko (marah). Tapi Gus Wahid tetap teguh membangun ndalem guru besarnya tersebut. Sebab beliau punya alasan kuat.
Apa itu?
Kiai Wahid punya dua alasan yang kuat:
1). Sebab Kyai Wahid berpendapat bahwa sebagai sosok yang ‘Alim Allāmah, Mbah Maimoen harus memiliki ndalem yang layak untuk menerima tamu-tamu dari berbagai macam kalangan. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
2). Kalau toh Mbah Maimoen duko alias marah-marah kepada Kyai Wahid, karena tidak menuruti perintah gurunya, maka Kiai Wahid punya Kaidah bahwa:
(مراعاة الأدب مقدم على امتثال الأمر).
Artinya:
“Beradab pada guru itu lebih didahulukan dari pada menuruti perintahnya”.
Nah, dalam hal ini, membangun Ndalem (kediaman) Mbah Moen – menurut ijtihad Kyai Wahid – adalah bagian dari menjaga adab pada sang Guru. Akhirnya beliau melaksanakan ijtihad ini, walaupun akhirnya beliau benar-benar didukani (dimarahi) oleh Mbah Moen.
Loh, emangnya Mbah Moen kemana kok tidak tahu ndalemnya dibangun?
Perlu diketahui, setiap proses pembangunan ndalem, itu semua dilakukan saat Mbah Moen tindak haji. Dan pembangunan tersebut juga bukan atas instruksi beliau.
Saat mengetahui ndalemnya dibangun, Mbah Moen nampak sedih dan marah. Beliau dawuhan kurang lebih:
“Omahku kok diorak-arik”.
Bahkan dalam sebuah riwayat yang penulis terima, Mbah Moen sampai dawuhan yang kurang lebih begini:
“Opo omahku ape pok padakno karo Omahe Fir’aun”
Terjemah: “Apa rumahku mau kau samakan dengan Rumah Fir’aun”
Kisah tentang pertama kali pembangunan ndalem Mbah Maimoen ini saya terima dari Kiai Hidayat Nur yang meriwayatkan secara langsung dari gurunya, Alm. Kiai Abdul Wahid Zuhdi sendiri. Dan, dulu Kiai Wahid membangun ndalem Mbah Moen itu juga atas persetujuan putra-putra Sang Guru yang ada waktu itu.
Keengganan Mbah Maimoen untuk membangun ndalem beliau, merupakan bentuk nyata dari sikap Tawādhu’ beliau. Padahal andaikan mau, mudah saja bagi beliau untuk sekedar membangun rumah yang besar nan indah. Tapi beliau tidak melakukan hal tersebut. Penulis pernah dengar sendiri Mbah Maimoen dawuhan, kurang lebih:
“Aku isin karo Kanjeng Nabi Muhammad nek omahku apik. Nabi Muhammad seng Nabi wae omahe cuma sekedar Hujurāt”
(Saya malu dengan Kanjeng Nabi Muhammad kalau rumahku bagus. Nabi Muhammad yang Nabi saja rumahnya hanya sekedar Hujurāt / kamar-kamar).
Semoga kita bisa meneladani prilaku beliau berdua. Baik prilaku Mbah Maimoen dalam masalah ke-Tawādhu’ an, maupun prilaku Kyai Wahid dalam menghormati sang Guru. Wallahu A’lam.
Demikian kisah Rahasia Kewalian Mbah Maimoen yang Menggetarkan Hati Santri, semoga manfaat.
Penulis: A’ung Muhammad.