Teringat jaman dulu, ketika mengemis ilmu kepada para guru tercinta.
“Punya uang, cung?,” tanya Mbah Maimoen.
Ditanya beliau seperti ini, saya pun berfikir “guru itu seperti orang tua. Orang tua itu merasa susah kalau anaknya sedang susah. Ini dengan pikiran agar beliau tidak susah karena memikirkan saya.
Akhirnya saya juga jawab dengan senyum bahagia:
“Nggadah (punya) Mbah, banyak”.
Dan alhamdulillah, waktu itu juga pas pegang uang untuk bekal naxi dan ngaji waktu dimakkah.
Setelah saya jawab demikian, beliau dawuh dengan suara yang penuh semangat sugeh…. sugeh… sugeh (kaya) … ”
Kadang ketika kita sowan, kita haturkan semua keluh kesah kehidupan kepada beliau. Jika yang sowan beliau 1000 orang, betapa berat perasaan beliau memikirkan kesedihan mereka sedangkan yang sowan kepada beliau bukan hanya 1000 orang. Untung saja, hati beliau sangat lembut, tidak tegaan kepada orang.
Tapi di sisi lain tidak bisa disalahkan juga, kita semua juga butuh berkah doa dari wali-wali Allah.
Sebagian ada yang sering sekali sowan karena senang, tenang dan damai melihat beliau.
Terkadang ada yang belum berani sowan karena merasa diri ini masih terlalu kotor untuk bersalaman dengan kekasih Allah semulia beliau. Terkadang karena takut kekurangan dan noda-noda dihati tampak dalam ilmu kasyf beliau. Ada yang sengaja sowan karena ingin dikasyf berharap mendapat petunjuk dari beliau
Rahimallahu Syaikhona… Mbah Moen…
Kami selalu merindukan njenengan…
Sering kali kami tidak kuat menahan sesak di dada ketika mendengarkan qosidah “Man ana, man ana…
Man ana laulakum “…
Dan faktanya Kami bukan apa-apa tanpa bimbingan para guru dan Penjenengan.
Penulis: Abdul Rochim Baslan Assidarjawie.