Puasa Menurut Abdul Qadir Al-Jailani dan Syekh Al-Thusi

Makna Puasa Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dan Syekh Al-Thusi

Puasa Menurut Abdul Qadir Al-Jailani dan Syekh Al-Thusi.

Abu Nashr ‘Abdullah bin Ali as-Sarraj aI-Thusi (w. 378 H) dalam kitabnya “aI-Luma’ fi Tarikh at-Tashawwuf aI-Islami” membuka pembahasan tentang adab berpuasa dengan sabda Nabl dalam hadith qudsi, “Allah berfirman, “Puasa untuk-Ku, dan Saya sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari).

Jika ada yang mengatakan, ‘Apa makna takhsis (pengkhususan) puasa dari ibadah-ibadah lain yang, ibadah-ibadah lain itu akan dibalas atau diganjar karena amal-amal itu. Walhasil apa makna, “Puasa untuk-Ku, dan Saya sendiri yang akan membalasnya?”

Hadith tersebut mempunyai dua makna.

Pertama; puasa itu mempunyai pengkhususan dari seluruh amal ibadah Iain yang diwajibkan Allah. Karena seluruh amal ibadah Iain yang diwajibkan Allah adalah gerakan-gerakan ragawi/anggota badan (harakat aI-jawarih), yang hal tersebut akan mudah terlihat oleh orang Iain. Hal ini berbeda dengan puasa yang merupakan ibadah nir (tiada) gerakan ragawi. Oleh sebab itu, Allah berfirman dalam hadith qudsi, “Puasa untuk-Ku.”

Kedua; makna “untuk-Ku’ mempunyai arti aI-shamadiyyah Ii, yakni tiada berongga atau berperut, sehingga Allah tidak butuh makan dan minum. Siapa yang berakhlak dengan akhlak-Ku (mencontoh Allah dengan tidak makan dan minum), maka akan Aku balas dengan ganjaran yang tidak terlintas di dalam hati, dan tak terfikirkan oleh akal manusia.

Adapun makna dari hadith ‘…dan Saya sendiri yang akan membalasnya’, sesungguhnya Allah berjanji bahwa seluruh perbuatan baik, akan diberi pahala yang terhitung mulai satu sampai berlipat sepuluh, amal sepuluh akan bisa berlipat tujuh ratus, kecuali pahala bagi para pelaku puasa. Pelaku puasa adalah orang-orang yang sabar, dan orang-orang sabar pahalanya tidak bisa dihitung. “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”(AI-Zumar, 10).

Puasa dikecualikan dari pahala kebaikan-kebaikan Iain yang bisa dihitung. Karena puasa adalah bentuk dari kesabaran jiwa dari gangguan-gangguannya, menahan seluruh anggota tubuh dari keinginan-keinginan atau syahwat. Jadi orang yang berpuasa adalah orang yang sabar. Hal tersebut bisa diketahui dari makna hadith Nabi, ‘Jika kamu berpuasa, maka berpuasalah pendangaranmu. penglihatanmu, mulutmu dan tanganmu.’ Demikian juga sabda Nabi yang Iain, ”Jika salah satu dari kamu berpuasa, jangan berkata keji dan buruk; jika ada orang mencercamu, berkatalah, ”Saya sedang puasa.”

Sedemikian besar makna dan pahala puasa. maka perlu adab berpuasa seperti sahihnya maksud atau niat puasa Anda, mampu menahan syahwat dan menjaga anggota tubuhnya, suci makanan dan minumannya, menjaga hatinya, senantiasa dzikir, mengurangi perhatian atas pencarian dan penumpukan harta, dan selalu meminta tolong kepada Allah dalam menjalankan puasa.

Diriwayatkan dari Sahal bin Abdullah al-Tustari. dalam waktu selain Ramadhan, beliau biasa makan sekali dalam lima belas hari. Kalau masuk bulan ramadhan, beliau hanya berbuka satu kali dengan air yang bersih setiap malam.

Diceritakan oleh Abi ‘Ubyad aI-Basri, jika masuk bulan Ramadhan, beliau masuk rumah dan menutup pintunya, serta berkata pada isterinya, ”Siapkan saya setiap malam satu potong roti.” Beliau tidak keluar dari rumah, hingga berakhir Ramadhan.

Begitu besar pahala ibadah puasa. sampai ganjaran yang tidak terhitung, namun di sisi Iain, juga begitu besar akibat atau dosa dari berpuasa yang tidak benar. Seperti contoh, apabila berpuasa karena riya‘, maka dosanya juga tidak bisa disepelekan. Nabi bersabda, ‘Barangsiapa yang berpuasa karena riya’, maka sungguh dia telah melakukan perbuatan syirik” (Bayhaqi).

Terakhir, puasa Ramadhan yang sedemikian besar pahalanya, bahkan Allah sendiri yang akan membalasnya, lebih dari itu, bulan Ramadhan sendiri mempunyai kekuatan yang Iuar biasa. Terdapat sebuah hadits yang dinukil oleh Sultanul Awliya, mahkotanya para arifin, Syekh ‘Abd al-Qadir aI-Jailani (W. 651 H), Nabi bersabda, ‘Ummat-Ku tidak akan terhina dan terendahkan selama mereka masih mengagungkan bulan Ramadhan.”

Syaikh ‘Abd aI-Qadir al-Jilani memaknai mengagungkan bulan Ramadhan adalah benar-benar bertaqwa pada bulan Ramadhan, berpuasa Ramadhan dengan hanya bertujuan untuk ridha Allah, dan menjaga serta menjalankan syariat.

***

Saya hanya menukil, dan pasti belum mampu melakukan puasa seperti yang diceritakan dalam kisah di atas. Bayangkan, puasa sebulan hanya buka dengan air dan fokus di kamar untuk munajat. Belum lagi kisah kisah lain seperti sabar dalam segala gangguan. Sungguh lemah kita.

Terlebih lagi Ramadhan tahun ini apakah umat di NKRI yang berpuasa akan semakin tampak seperti yang dinukil Syaikh Abdul Qadir al Jailani? Lemah dan terhina karena tidak mengagungkan Ramadan. Yang bisa jadi di antara faktornya karena rakus kuasa tanpa tahu koridor, sehingga malah merendahkan Ramadhan. Semoga tidak.

*Rujukan kitab “al-Luma’ fl Tarikh at-Tashawwuf al-lslami” karya Abu Nashr ‘Abdullah bin Ali as-Sarraj al-Thusi; dan kitab al-Fath al-Rabani wal Faidh aI-Rahmani karya Syaikh ‘Abd Qadir aI-Jilani).

Penulis: Ainur Rofiq Al Amin, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.
____________

Semoga artikel Puasa Menurut Abdul Qadir Al-Jailani dan Syekh Al-Thusi ini dapat memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..

simak artikel terkait di sini
simak video terkait di sini

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *