Tradisi atau budaya yang sering dipraktekkan di daerah-daerah atau kepulauan begitu bervariasi sesuai dengan kepercayaan dan juga kondisi dari daerah dan kepulauan tersebut. Sebutlah misalnya di kepulauan paling timur pulau Madura, yaitu pulau Sapeken yang notabene pulau yang mengalami akulturasi dari masing-masing suku entah suku Bajoe, Bugis, Makassar, Mandar, serta Madura.
Beberapa suku itu memiliki kesamaan tradisi dalam menyambut satu hari menjelang Ramadhan, biasa di sebut “Ngarorowe” secara denotasi memberikan berbagai macam makanan dan minuman kepada tetua suku, atau tokoh masyarakat yang dipercayai memiliki ilmu agama yang mempuni, lalu makanan dan minuman itu didoakan sesuai dengan apa yang diminta oleh keluarga tersebut.
Secara konotasinya, tradisi “Ngarorowe” itu merupakan bentuk penghormatan kepada para leluhur, sanak keluarga yang lebih dulu menghadap gusti Allah Ta’ala. Biasanya isi dari “Ngarorowe” itu diantaranya; ketupat, roti, teh, kopi, menyan, serta buah kelapa yang baru tumbuh. Hal semacam ini dalam beberapa pandangan dibilang bid’ah atau mengada-ngada tetapi orang zaman dulu mempercayai bahwa itu sebagai alat untuk meringankan beban dan juga pertanda bahwa kita masih ingat kepada keluarga kita yang sudah meninggal. Adapun pelaksanaannya satu hari menjelang bulan suci ramadhan.
Tradisi itu masih awet sampai sekarang, bahkan terasa seperti kewajiban yang harus dilaksankan oleh masyarakat. Adapun dampaknya bagi orang hidup, diantaranya meringankan beban secara rohani dalam melakukan ibadah puasa ramadhan dan dijauhkan dari sifat kikir serta dijauhkan dari bala’ dan bagi yang sudah meninggal meringankan beban siksa kubur dan merasakan datangnya bulan penuh ampunan.
Ustadz Ahmad Hollah selaku guru ngaji yang dipercaya sebagai orang berilmu agama dan mempunyai kepercayaan dari masyarakat, beliau berkata bahwasanya tradisi “Ngarorowe” itu sebagai bentuk upaya penyempurnaan ibadah-ibadah kita didalam bulan suci ramadhan. Selain itu, tradisi “Ngarorowe” bukan sesuatu yang baru, melainkan sudah ada sejak zaman Walisongo meskipun namanya bukan “Ngarorowe” tetapi slametan, dalam artian memberikan sesajen yang sudah dibacakan lafadh Allah dan kalimat-kalimat al-Qur’an sekaligus bertawassul kepada Allah dan bershalawat kepada kanjeng Nabi Muhammad SAW. (Ami)