Mohamed Salah, Kiai Sya’roni Kudus dan “Kalah-Menang” dalam Hidup

Mohamed Salah

Mohamed Salah, biasa disapa Mo Salah, menjadi titik perbincangan sepak bola dunia saat ini. Walaupun klub yang dibelanya Liverpol kalah, tapi Mo Salah tidak pernah “kalah” dalam perbincangan terkait sepak bola, apalagi tentang Final Liga Champions Eropa 2018.

Mo Salah memang cedera, tapi ia memberikan pelajaran besar kepada dunia ihwal sepak bola. Kejujuran, sikap terbuka, fair play, dan mudah menebar senyum kepada sesama menjadikan Mo Salah menjadi ikon baru dunia sepak bola, khususnya bagi umat Islam di dunia. Mo Salah tampilkan wajah Islam yang damai dan menyejukkan semua.

Dari Mo Salah kita bisa belajar, termasuk belajar kepada KH Sya’roni Ahmadi Kudus. Kiai Sya’roni adalah kiai sepuh kharismatik ahli al-Qur’an yang saat ini juga menjabat Mustasyar PBNU. Ngaji-ngajinya Kiai Sya’roni sangat menyejukkan, cocok semua kalangan, baik di pedesaan maupun perkotaan.

Kiai Sya’roni termasuk kiai yang sangat gemar dengan olah raga sepak bola. Masa mudanya hobinya sepak bola. Posisinya yang paling disenangi adalah back. Selain sepak bola, masa mudanya Kiai Sya’roni juga suka catur, bahkan pernah menjadi juara kabupaten pada tahun 1959.

Menurut Nuruddin Hidayat (2014), Kiai Sya’roni selalu mengajak masyarakat untuk membaca pelajaran dalam sepak bola, salah satunya adalah kekompakan. Kiai Sya’roni yang gemar menyaksikan laga-laga besar sepak bola mengambil per­umpamaan penyelenggaraan Piala Dunia 1994 dan 1998. Kiai Sya’roni hafal skema permainan yang diterapkan pelatih Mario Zagallo pada final Piala Dunia 1994, berikut nama pemain-pemainnya seperti Cafu, Branco, Dunga, Mazinho, Romario, dan Bebeto.

Bagi Kiai Sya’roni, ketika final melawan Italia mereka kompak dan menang lewat adu penalti 3-2 ka­rena waktu normal dan perpanjangan skor 0-0. Ini ber­­­beda di final 1998, di ma­na Brasil dikalahkan Pran­cis. Analisis Kiai Sya’roni, atas kekalahan Brasil dari Prancis, karena Brasil tak sekompak di Piala Dunia 1994.

Bagi Kiai Sya’roni, seorang santri boleh-boleh saja bermain atau menyukai sepak bola. Santri itu ya memahami ilmu yang diajarkan di pesantren, ya boleh juga hafal sepak bola. Ada pelajaran kehidupan yang berharga di banyak tempat, salah satunya di dunia sepak bola. Santri harus bisa kompak dalam bekerja dan mengabdi kepada masyarakat.

Kalah dan menang sangat ditentukan dalam kekompakan hidup. Makanya, kalau hidup bisa kompak. Maka target bisa dipenuhi. Tentu saja jangan pernah lupa doa, karena doa adalah senjata orang yang beriman.

Mo Salah dan Kiai Sya’roni mengajari kita bagaimana memaknai kalah dan menang. Jangan sampai salah arti apalagi gagal paham, karena tangisan Mo Salah dalam Final Liga Champions Eropa 2018 adalah bukti keberanian dan semangat dalam menjalani kehidupan, bukan cengeng dalam menghadapi tantangan. (red/mm)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *