Mbah Liem Klaten Tunjukkan Karomah di Hadapan Kiai Sahal.
“Kang, Kang, bangun. Ada Mbah Liem.” Arifin Memet membangunkanku.
Sementara itu, dari luar aku mendengar suara Mbah Liem. “Assalamu’alaikum… Gus….. Gus…..” Segera aku bangun, membukakan pintu, salim dan nyumanggake pinarak beliau, beserta Gus Qomar dan satu orang penderek.
“Ngapunten Mbah, Yai nembe radi kirang sehat.” (minta maaf Mbah, Yai Sahal baru kurang sehat)
“Gen ndang sehat!” (Biar cepet sehat)
Putra Mbah Liem, Gus Qomar menerjemahkan dawuhnya yang sulit dicerna karna tidak jelas.
Aku lihat jam dinding di atas TV, menunjukan pukul 01.17 dini hari. Arifin mengajak Mahfudz membuat teh tubruk kesukaan Mbah Liem.
Mbah Liem memang biasa tindak (datang) ke Kajen, Pati, untuk ziarah ke pesarean (makam) Mbah Mutamakkin, menemui Mbah Abdullah Salam, dan juga Kiai Sahal Mahfudh.
Saking seringnya, santri-santri sampai hafal plat nomor mobil Mbah Lim, L 11 M, yang berjenis sedan. Sebelum mobil berhenti di depan gerbang Pesarean Mbah Mutamakkin, mereka berlarian menghampiri dan menunggu di depan pintu mobil.
Bersarung tapi mengenakan jas selutut ala detektif Eropa serta bertopi banser, Mbah Lim keluar menyalami mereka yang sudah menunggu di depan pintu mobilnya sambil berjalan menuju Pesarean. Tapi belakangan mobil itu tidak lagi digunakan.
“Bah, Abah,” aku membangunkan Kiai Sahal.
“Opo?” (apa?)
“Ada Mbah Liem, Bah.”
“Ya.”
Kiai sahal mempersiapkan diri. Mengenakan baju, aku bantu mengambil kopiah putih.
“Ga iso nyare kepenak aku, Nir.” (aku gak bisa tidur nyenyak, Nir)
“Nggih, Bah, dalem wau sampun matur menawi Panjenengan radi kirang sehat, dawuhe supados enggal sehat.” (Iya, Abah. Saya tadi sudah sampaikan kalau panjenengan baru kurang sehat, katanya Mbah Liem supaya cepet sehat).
“Assalamu’alaikum….” Kiai sahal menemui tamunya.
“Gus, ojo loro, aku wae kang loro. Aku wae kang loro. Ngrumati NU!” (Gus, jangan sakit. Aku saja yang sakit. Aku saja yang sakit. Merawat NU saja), dawuh Mbah Lim kepada Kiai Sahal saat menyalami.
Dibantu Gus Qomar, obrolan Mbah Lim dan Kiai Sahal berjalan sangat akrab.
“Gus, tak dohno ilmune Gusti Allah,” (Gus, saya tunjukkan ilmunya Allah), kata Mbah Lim.
“Ilmu nopo, Mbah?” (Ilmu apa, Mbah), Kiai Sahal penasaran.
Tiba-tiba, Mbah Lim mengambil gelas berisi air putih penuh milik Kiai Sahal dan menuangkannya ke dalam gelas berisi teh tubruk penuh milik Mbah Lim. Kontan Kiai Sahal dan yang lain terheran-heran. Dua gelas berisi air penuh melebur dalam satu gelas tapi tidak meluber dan tumpah, kira-kira kemana airnya.
“Diunjuk, Gus,” (Diminum ya Gus), Mbah Lim mempersilahkan kiai Sahal meminum airnya yang kini menyatu dengan milik Mbah Lim.
“Jenengan rumiyin Mbah, ingkang langkung sepuh,” (Jenengan dulu ya Mbah, yang lebih tua), jawab Kiai Sahal. Kiai Sahal masih keheranan. Mbah Lim meminum sedikit air itu, dan Kiai Sahal dengan mantap menghabiskan semuanya langsung.
Allahumma ghfirlahuma warhamhuma wa ‘afihima wa’fu ‘anhuma wa tub taubatahuma wastur ‘uyubahuma wa taqobbal a’malahuma wa nawwir qobrohuma wa j’al al-jannata ma’wahuma wa madkholahuma birohmatika ya Arhamar rohimin. Alfatihah.
Demikian kisah Mbah Liem Klaten Tunjukkan Karomah di Hadapan Kiai Sahal, semoga bermanfaat.
Penulis: H. Muhammad Munirul Ikhwan, santri Kiai Sahal.