Makna Tauhid Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (6)

Makna Tauhid Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (6)

Makna Tauhid Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (6)

Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.

Bacaan Lainnya

Keagungan kalimat tauhid la ilaha illalLah tak hanya beranah batiniah, tapi juga terpantul dalam gerak tubuh manusia yang mengamalkannya. Ini saya ketemukan dari Adab al-Suluk wa al-Tawasshul Ila Manazil al-Mulukkarya Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

Beliau qaddasahulLah menukil hadis yang merujuk kepada sayyidina Ali bin Abi Thalib yang bertanya kepada RasululLah Saw: amal apakah gerangan yang mudah diamalkan namun istimewa nilainya?

Rasul Saw tak langsung menjawab. Beliau Saw menunggu keterangan dari Jibril terlebih dahulu. Kemudian datanglah Jibril kepadanya dan mengajarkan: hendaknya membaca la ilaha illalLah. Pada ucapan “la ilaha”, tolehkan kepala ke kanan. Pada ucapan “illalLah”, tolehkan kepala ke kiri.

Jibril mengajarkan hal tersebut sebanyak tiga kali kepada RasululLah Saw. Kemudian Rasul Saw mengajarkan hal yang sama kepada Ali bin Abi Thalib sebanyak tiga kali pula.

Apa rahasia gerakan kepala ke kanan dan ke kiri dalam bacaan tahlil tersebut?

Saat mengucapkan “lailaha” (tidak ada Tuhan) dengan kepala ditolehkan ke sisi kanan, posisi tersebut dimaksudkan sebagai simbol memandangnya kita kepada dunia dan seisinya. Kita bisa manakwilnya sebagai bentuk-bentuk kegiatan keseharian kita, mulai berdagang, berbisnis, mengajar, bertani, belajar, menabung, berjalan-jalan, dan sebagainya. Lebih dalam lagi, keduniawian itu juga bisa kita liputkan kepada seluruh laku lahiriah peribadatan dan amaliah salehah kita. Betul, sejauh itu.

Tatkala memandang semua itu, dunia seisinya, kita mengikrarkan dengan keyakinan ruhani: tidak ada tuhan, la ilaha.

Artinya, mari kita cerna, Tuhan saja kita nafikan, kita tiadakan, apalagi cuma diri kita beserta seluruh lekatannya, egoismenya, ambisinya, amarahnya, hawa nafsunya, dlsb. Maka bila kita tenggelam hingga lalai dan alpa dari hadiratNya ditelan keriuhan duniawi, pekerjaan, dan bisnis, sejatinya kita belumlah bersungguh-sungguh dengan menegakkan ikrar awal tauhid itu: la ilaha. Sebab diri kita masih berbentuk sedemikian rupa, yang berarti hawa nafsu kita belumlah terfanakan.

Kemudian, kita lanjutkan dengan gerakan kepala ke kiri, disertai ikrar “illalLah” (selain Allah Swt). Arah kiri itu memaksudkan pandangan kita kepada hati, rohani, spiritualitas, Keilahian. Posisi hati di bagian kiri kita mengandaikan di dalam hati sematalah Allah Swt berahta; hati adalah ‘ArsyulLah.

Maka, seluruh pandangan kita ke kanan dalam “tidak ada Tuhan”, ke dunia seisinya, dilumatkan oleh ikrar “Selain Allah Swt” yang kita sandarkan kepada samudra hati kita, kepada Tahta Allah Swt.

Dunia seisinya, semua makhluk beserta segenap kekuatan dan kemegahnnya, seluruh kesibukan kita di dalamnya, terlumatkan seketika dalam samudra Keilahian, Kemahakuasaan Allah Swt yang tiada batasnya.

Itu artinya, tatkala kita sibuk dengan kegiatan-kegiatan duniawi kita, hendaklah semua itu tidak membuat kita lalai dan alpa pada tolehan rohani kita, batiniah kita, spiritualitas kita, Ilahiah kita, yang disimbolkan ke sisi kanan hati. Jika mekanisme hidup begini terus bisa kita istiqamahkan, itu menandakan kita senantiasa tersambung kepada Allah Swt dan meleburkan diri di dalamNya, dalam keadaan segagah dan sekokoh apa pun status dan harta kita. Seluruh daya dan kekuatan duniawi yang melekat pada diri kita menjadi terpandang semata sebagai tajalliNya, manifetasi kemahakuasaanNya.

Kita lalu bisa memahami benar kini umpama kita tergolong ke dalam golongan hambaNya yang terus-menerus bertahlil, memujaNya, memujiNya, menauhidkanNya, niscaya tak ada kepantasan apa pun bagi diri ini untuk membiarkan diri tergila-gila di dalam gilasan dunia seisinya. Sebab semua hal adalah semata kemanunggalan TajalliNya.

Maka jika bisnis kita sedang moncer cemerlang, itu diyakini mutlak sebagai karuniaNya semata. Jika bisnis kita sedang surut, itu pun diyakiniNya mutlak sebagai kehendakNya semata. Naik, turun, pasang, surut, dalam hidup ini tiada lain senantiasa diyakini sebagai kehendak dan keputusan terbaikNya kepada kita.

Lalu, masih pantaskah kita untuk sombong bila sedang jaya atau depresi bila sedang terkulai lemah?

Dalam jaya, kita tetaplah fana dalam hadiratNya yang mentajalli pada seluruh realitas dunia di sekitar kita. Dalam kulai lemah, kita pun tetaplah fana dalam hadiratNya dengan semata menyaksikan TajalliNya.

Bukankah ini jalan rohani yang amat menjanjikan ketenangan dan kedamaian hakiki bagi hidup kita dalam segala keadaannya?

BarakalLahu lakum, ya Sulthanal Auliya’.

Wallahu a’lam bishshawab.

Jogja, 8 Agustus 2019

___________________

Semoga artikel Makna Tauhid Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (6) ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..

simak artikel terkait di sini

simak video terkait di sini

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *