Makna Seorang Hamba Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Makna Seorang Hamba Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Makna Seorang Hamba Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Oleh: Edi AH Iyubenu, Wakil Ketua LTN PWNU DIY

Bacaan Lainnya

Dalam kitab Sirr al-Asrar Fima Yahtah Ilaihi al-Abrar, Syekh Abdul Qadir al-Jailani  qaddasahuLlah menerangkan bahwa musuh utama hati adalah hawa nafsu yang rendah–atau tidak dirahmati Allah Swt. Agar hati terjernihkan, ia harus diawali dengan istighfar dan kemudian dzikruLlah.

Ciri dari musnahnya–atau terahmatinya—hawa nafsu di dalam hati ialah kepatuhan kepada perintah Allah Swt. Amaliah kepatuhan  ini lalu menjadi pengganti kebiasaan diri. Bila dulunya hati dikotori oleh gelegak keserakahan dan amarah, tanda bahwa hawa nafsu merajai diri, kini ia telah digantikan oleh dzikir kepada Allah Swt dan segala amaliah kepatuhan syariat lainnya.

Jika ada situasi hati yang karib dengan amarah dan angkara, kendati lahiriahnya ia melakukan amal-amal syariat dengan kepatuhan yang tinggi, patut dicurigai bahwa amaliah-amaliah salehah tersebut masih saja dikotori oleh ghairuLlah –hal-hal selain Allah Swt. Entah itu angkara ilmu, amal, maupun riya’, dan sejenisnya. Ringkasnya, amaliah salehahnya masih dibajak oleh hawa nafsu dan tipu daya iblis yang menyaru dalam bisik-bisik kemuliaan diri. Wapadalah….

Orang yang demikian, pada hakikatnya, belumlah beribadah kepada semata Allah Swt. Mari ingatlah peringatan al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 110 ini: “wala yusyrik bi’ibadati rabbihi ahada, janganlah sampai menyekutukan Tuhannya dalam beribadah kepadaNya….

Dzikir yang menghantar diri bertawajjuh kepada Allah Swt ditandai dengan dunia ini (beserta segenap kemilau dan pesonannya) hilang dan musnah dari dalam hati dan denyar-denyar perasaan. Seluruh keindahan dunia ini telah digantikan oleh keindahan Akhirat. Begitu fase awalnya.

Memang, kondisi rohani demikian belumlah berada di derajat tertinggi. Adanya pengharapan kepada keindahan Akhirat menjadi penghalang bagi pencapaian derajat taqarrub atau kedekatan dengan Allah Swt untuk berada di sisiNya –dan derajat inilah yang akan senantiasa mengaruniakan rasa aman, damai, dan sentosa.

Maka, boleh jadi, kendati kita ahli ibadah, siang dan malam, bila masih kerap ditunjam oleh rasa sedih dan cemas, itu isyarat rohani yang sangat nyata bagi diri untuk menyadari masih terkekangnya diri pada keduniawiaan.

Untuk itulah, mari terus berlayar. Seyogianya, intensitas dzikir tersebut kemudian menghantar kepada penjelmaan pengharapan semata kepada Allah Swt –bukan selain-lainNya, apa pun itu, termasuk balasan nikmat-nikmatNya di dunia dan surgaNya di akhirat.

Apa yang dimaksud dengan derajat “taqarrub” oleh beliau qaddasahuLlah ialah derajat hamba yang telah berada di dalam hakikat makrifat.

Beliau qaddasahuLlah mengatakan, “Ia telah memahami dirinya sebagai Hamba di hadapan Tuhannya yang juga dipahaminya sebagai Tuan. Sang hamba hanya harus mematuhi dan tunduk terhadap Tuannya. Yang dilakukannya (patuh dan tunduk) adalah tugas dan kewajiban yang tidak boleh tidak dilaksanakannya. Karena itu, ia tidak boleh lagi meminta balasan. Bahkan ia tidak boleh lagi merayu Tuhan untuk memberikan balasanNya. Sang Hamba tidak memiliki hak sedikit pun untuk meminta sesuatu ketika Tuannya melakukan apa saja terhadap dirinya.”

Mari renungkan.

Betapa pemahaman tersebut menjadi sangat jauh berbeda dengan pemahaman derajat sebelumnya tatkala kita beribadah dan berdzikir dengan masih berharap pada keindahan Akhirat. Yang pertama bernisbat kepada balasan, yang kedua bernisbat kepada semata kepasrahan.

Beliau qaddasahuLlah melanjutkan, “Maka mau ditempatkan di mana pun, ia (Hamba) tidak boleh membantah atau menunjukkan muka masam. Itulah penghambaan yang hakiki, yakni laku ‘Ubudiyah yang hakiki kepada Tuhan yang bersifat Uluhiyah yang  hakiki pula.”

Sikap tersebut lazim kita kenal sebagai ketawakalan. Juga keikhlasan. Tawakal atas segala hal yang diterjadikan Tuhan sebagai Tuannya kepada dirinya dan lalu menjadi ikhlas yang menjiwai hati. Bila ikhlas telah menyala di dalam hati, niscaya tiadalah pamrih apa pun lagi pada diri.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani  qaddasahuLlah menukil ungkapan terkenal Rabi’ah Adawiah untuk menguatkan hal tersebut: “Aku menyembah Tuhanku bukan karena takut kepada nerakaNya atau menginginkan surgaNya. Tatapi aku adalah hambaNya dan Dia Swt adalah Tuanku yang harus aku sembah sebagai Tuhan. Aku tidak memiliki apa-apa, sedang Dia Swt memiliki semua yang aku miliki.”

Sebagai sebuah perjalanan panjang rohani, kiranya hal mendesak yang mesti segera kita tanamkan ke dalam hati ialah memahami rawannya bajakan hawa nafsu menelikung diri ke dalam kekelaman dan kezaliman. Karennaya, kita mesti berjuang untuk mengganti “isi hati” demikian dengan ibadah dan dzikir kepada Allah Swt.

Bila dalam perjalanan ini kita berada di dalam pengharapan yang tinggi akan karunia-karunia Allah Swt, di dunia dan akhirat, seperti harapan untuk dimurahkan rezeki dan tercapainya pelbagai cita-cita –yang artinya rohani kita masih bergumul dengan kemilau duniawi alias ghairuLlah—teruskan sajalah. Memperbanyak renungan, pengetahuan, dan penyelaman batin kiranya akan sangat berguna untuk menanjakkan “isi hati” tersebut. Tentu pula terus berdoa memohon pertolongan Allah Swt.

Yang terpenting ialah jangan berhenti di posisi demikian.

Menyelami rasa kehambaan diri di hadapan Allah Swt sebagai Tuan kita, bahwa segala laku ibadah, dzikir, dan amaliah salehah kita adalah kewajiban belaka kepadaNya, akan sangat berguna untuk makin merundukkan hati kita ke samudra hadiratNya.

Pelan demi pelan, seiring keistiqamahan amal, penyelaman batin, yang dikukuhkan pertolongan- pertolonganNya, insya Allah akan makin menghantar kita kepada derajat Hamba yang kafah tadi. Berikutnya, kita akan bisa lebih mudah untuk menerima segala kehendak dan keputusanNya terhadap hidup kita.

Sebagai alat deteksi maqam diri yang terang, boleh kita renungkan satu nasihat bijak ini: “Derajat kemampuan diri berdamai dengan kenyataan adalah cermin nyata bagi derajat rohani diri.”

Wallahu a’lam bish shawab.

Jogja, 23 Agustus 2019

_______________________

Semoga artikel Makna Seorang Hamba Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani ini memberikan manfaat dan keberkahan untuk kita semua, amiinn

simak artikel terkait Makna Seorang Hamba Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di sini

simak video terkait di sini

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *