Pada akhir Agustus 1927, Kiai Wahab Chasbullah menemui seorang kiai pelukis untuk membuat lambang NU. Kiai Wahab ingin saat Muktamar NU yang ke-2 pada 9 Oktober 1927, lambang itu sudah jadi dan bisa dipajang di arena muktamar. Maklum, saat itu NU belum punya lambang, karena baru setahun berdiri. Kiai yang ditemui itu adalah KH Ridwan Abdullah, Surabaya. Sosok kiai pelukis yang dikenal sebagai wali pada jamannya.
Sejak ditemui Kiai Wahab itulah, berhari-hari Kiai Ridwan gelisah. Sudah mencari inspirasi kemana-mana, tidak juga ia dapatkan. Kiai Ridwan merasa kesulitan, disamping juga beliau tidak mau membuat lambang itu dengan biasa. Baginya, lambang itu harus unik dan mencerminkan semangat para kiai saat itu. Karena waktu pelaksanaan muktamar sangat dekat, maka diputuskan untuk melakukan sholat istikharah.
Dalam keheningan malam, Kiai Ridwan menjalankan sholat istikharah. Setelah itu, beliau tidur sejenak. Dalam nyenyaknya tidur, Kiai Ridwan bermimpi melihat gambar di langit yang biru nan jernih. Di sana ada bola dunia dikelilingi bintang dan tali penyambung dan pengait. Seketika Kiai Ridwan bangun, tersentak. Waktu menunjukkan jam 02.00 dini hari. Tak mau menunggu pagi, saat itu juga Kiai Ridwan langsung mengambil kertas dan pena untuk membuat sketsa sesuai dengan yang dilihat dalam mimpinya.
Saat itu, waktu sudah menunjukkan H-2. Tinggal dua hari lahir muktamar. Karena warna belum sepenuhnya sempurna, maka Kiai Ridwan pergi ke Malang untuk mencari bahan yang sesuai. Akhirnya didapatkan, dan dilukislah secara sempurna. Pagi hari pembukaan muktamar, 9 Oktober 1927, lambang itu dipajang di pintu gerbang Hotel Peneleh Surabaya. Para kiai terpana, kagum, dan penasaran siapa yang telah membuat lambang itu.
Pada momentum muktamar ini, dibentuk satu majlis (komisi) yang khusus membahas lambang NU yang dibuat Kiai Ridwan. Majlis ini diketuai oleh KH. R. Muhammad Adnan dari Solo. Dalam majlis ini, Kiai Ridwan menjelaskan arti lambang NU dengan gemblang dan tegas.
“Lambang tali adalah lambang agama. Tali yang melingkari bumi melambangkan Ukhuwah Islamiyah kaum muslimin seluruh dunia. Untaian tali yang berjumlah 99 melambangkan Asmaul Husna. Bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Besar Muhammad SAW. Empat bintang kecil samping kiri dan kanan melambangkan Khulafaur Rasyidin, dan empat bintang di bagian bawah melambangkan madzhabul arba’ah (empat madzhab). Sedangkan jumlah semua bintang yang berjumlah sembilan melambangkan Wali Songo.”
Mendengar penjelasan ini, para kiai akhirnya menyetujuinya. Para kiai kagum, bangga, dan sangat bahagia dengan capaian Kiai Ridwan. Muktamar ke-2 ini memutuskan lambang yang dibuat Kiai Ridwan sebagai lambang resmi NU. Selepas penutupan muktamar, Kiai Hasyim Asy’ari memanggil Kiai Ridwan. Kiai Hasyim bertanya secara khusus terkait kronologi lambang itu. Kiai Ridwan akhirnya menjelaskannya secara detail dihadapan Kiai Hasyim.
Mendengar kisah detail pembuatan lambang itu, Kiai Hasyim Asy’ari mengatakan: “Mudah-mudahan Allah mengabulkan harapan yang dimaksud di lambang Nahdlatul Ulama’. (md).