Letak Posisi Derajat Amal dan Kerawanannya dalam Islam.
Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.
Sebarisan dengan perkara ilmu dan kerawanannya, perihal amal pun mengalami status yang sama. Ia muasalnya adalah keluhuran, kemuliaan, bagian dari perintah Allah Swt dan tuntunan RasulNya Saw. Tetapi, bila tidak diterapkan dengan pola yang tepat, pula tanpa karuniaNya, ia pun akan menjelma hijab rohani belaka. Hasilnya, dampaknya, bisa merebakkan kerendahan, keburukan, dan kerusakan.
Begitulah seyogianya kita senantiasa berhati-hati, dengan menjadikan muhasabah diri sebagai lelaku keseharian kita hibgga akhir hayat.
Ayat tentang ibadah ini, yang paling terkenal, ialah: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.”
Lalu kita mengerti cara beribadah yang benar, dari yang wajib sampai sunnah, dari khazanah sunnah Rasul Saw hingga kitab-kitab dan ajaran-ajaran orang tua dan guru kita sejak kecil. Kita, misalnya, lalu mengetahui fadhilah salat berjamaah lebih utama 27 kali lipat dibandingkan salat sendirian; fadhilah puasa sunah Syawal sebagai penghapus dosa setahun ke depan; fadhilah membaca surat Waqiah setiap hari sebagai jalan kelapangan rezeki; fadhilah membaca surat al-Mulk menyelamatkan dari azab kubur dan neraka; dll., dlsb.
Sempurnalah kita beribadah kepadaNya, menjalankan perintah ayat tersebut. Kita menyebutnya sebagai bentuk takwa kita kepadaNya, yang bersumber pada iman kepadaNya, dengan mengikuti tuntunan RasulNya Saw.
Semua sudah benar, baik, dan mulia. Semoga Allah Swt lalu mengaruniakan rahmatNya kepada kita semua. Amin.
Hanya, tanpa bermaksud menepikan kewajiban mematuhi seluruh perintah dan fadhilah amal ibadah tersebut, mari bercermat kepada apa yang disebut “hijab amal”.
Pertanyaan mengusiknya ialah bukankah seyogianya seiring makin tegaknya kepatuhan kita dalam menjalankan amal ibadah kepadaNya, menghiasinya dengan amal-amal sunnah, buahnya tiada lain adalah semata semakin fananya diri di hadapanNya dan semakin tawadhu’nya diri di hadapan semua makhlukNya?
Alhamdulillah bila kita sudah berada di trek demikian. Itu karunia Allah Swt. Tetapi, bagaimana bila ternyata setelah kita tengok hati kita, mereview seluruh perjalanan kita hari-hari kemarin, tahun-tahun silam, ternyata kesimpulannya malah berpunggungan?
Makin tahun beribadah, makin banyak mengamalkan kesunnahan, makin julanglah wujud diri ini dan makin amblaslah nilai-nilai wujud orang lain dari mata kita. Orang lian kita fanakan, diri kita diwujudkan. Sangat aneh, bukan?
Sungguh dikhawatirkan, ini sekarakter belaka dengan kelakuan iblis dulu yang menyebabkannya diusir dari surgaNya, plus dilaknatNya, dan digolongkanNya ke dalam kelompok kafirun. Gara-garanya adalah iblis berkata: “Aku lebih baik darinya (Adam As)…”
Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlahmengatakan, “Tawadhu’ adalah otak ibadah, puncak kemuliaan orang-orang yang zuhud (hatinya), dan tanda-tanda para ahli ibadah. Semua amalan tidak akan sempurna tanpa tawadhu’ ini.”
Beliau melanjutkan, “Sikap (tawadhu’) ini akan menyelamatkan diri dari sifat khianat, sombong, serta pengingkaran kepada kesucian hati. Baginya, semua makhluk sama dalam hal nasihat. Ia tidak akan menjadi penasihat jika ia menyebutkan seseorang dari makhlukNya dengan keburukan atau mencelanya dengan suatu perbuatan atau senang jika orang lain disebut buruk di dekatnya. Inilah bahaya dan serangan yang akan mengintai para ahli ibadah, serta kehancuran yang akan menghancurkan orang-orang zuhud, kecuali orang-orang yang ditolongNya untuk menjaga lisan dan harinya dengan rahmatNya, karuniaNya, dan kebaikanNya.”
Mari tambahkan surat al-Furqan ayat 43 di titik ini: “Tidakkah engkau melihat kepada orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?”
Jangan-jangan, jika ternyata seluruh peribadatan kita selama ini tidak selaras dengan tujuan hakikinya untuk makin mendekatkan diri kepadaNya, makin bertawajjuh semata kepadaNya, dan makin punahnya segala yang selainNya dari mata lahir dan batin kita, termasuk tentu pula makin fananya diri ini dalam rupa ketawadhu’an ke dalam dan ke luar, sebenarnya kita salat, puasa, zakat, haji, umrah, ngaji, berselawat, sedekah, dan sebagainya karenatidak menyembahNya, tetapi semata memuaskan hawa nafsu kita sendiri dan menjadikannya sesembahan selain Allah Swt?
Jangan-jangan!
Jika benar begitu, wajar sekali bila kita tak makin menemukan dan merasakan kehadiran Allah Swt dalam hidup kita; yang makin tegak dan menjulang ialah semata perayaan diri kita, beserta seluruh pesta pora keluhungan dan kesalehannya.
Padahal, andai jalan ibadah kita sudah tulus, murni, dan bertawajjud semata kepadaNya, yang seyogianya berdenyar di hati kita adalah:
Surat al-Qashasha ayat 88: “Janganlah kamu menyembah selain Allah Swt Tuhan apa pun selainNya. Segala sesuatu akan hancur kecuali WajahNya Swt. Dia Swt lah pemilik keputusan itu dan kepadaNya lah kalian semua akan dikembalikan.”
simak artikel terkait Letak Posisi Derajat Amal dan Kerawanannya dalam Islam ini di sini
Surat al-Ankabut ayat 7: “Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benar-benar akan Kami hapuskan dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami karuniakan kepada mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.”
Surat az-Zumar ayat 23: “….bergetar kulit mereka karena takut kepada Allah Swt dan kemudian menjadi tenang kembali kulit dan hati mereka begitu mengingat Allah Swt, itulah hidayah Allah Swt yang dihidayahkan kepada siapa yang dikehendakiNya….”
Satu lagi, pamungkas surat al-Kahfi ayat 110: “Katakanlah (Muhammad Saw): sesungguhnya aku adalah manusia sepertimu yang dikaruniakan wahyu kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Esa (Allah Swt). Maka siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah mereka mengerjakan amal-amal saleh dan jangan sekali-kali mempersekutukan sesuatu pun denganNya dalam beribadah kepada Tuhannya.”
Prof. Quraish Shihab memberikan ulasan menarik ihwal “syirik” ini, yakni bukan semata menyekutukan Allah Swt dengan sosok atau dzat apa pun (orang dulu menyembah pohon atau batu), tetapi termasuk di dalamnya ialah segala bentuk ide, gagasan, pemikiran, ideologi, dan sebagainya, yang menjadikan Allah Swt tak lagi terpandang sebagai satu-satunya tujuan keyakinan dan amal perbuatan kita.
Bila kita menjalankan suatu ibadah, secara ilmu kita mengetahui fadhilah dan keutamannya, kita terus istiqamahkan, secara lahiriah ia adalah amal kesalehan, tentu saja. Tetapi bila di dalam hati kita justru tidak menghadap murni kepada Allah Swt, misal dengan semata memandang fadhilahnya hingga taraf meyakini bahwa inilah jalan keselamatan dan keberkahan hidupnya, bukan kemahakuasaan Allah Swt menterjadikannya atau tidak, itulah contoh dari hijab amal kepada hati –dalam bahasa ayat tadi, kiranya patut dicemaskan sebagai contoh menyekutukan Allah Swt dalam amal-amal peribadatan.
Maka ingatlah bahwa yang dikehendaki Allah Swt, diajarkan RasulNya Saw pula, bukanlah menuhankan ibadah-ibadah itu sendiri, melainkan beribadahlah kepada Allah Swt seakan-akan kita melihatNya, jika tak melihatNya, yakinlah bahwa Dia Swt melihat kita. Dengan kata lain, mata ibadah kita hendaknya semata bertawajjuh kepadaNya. Tidak selain-lainNya, apa pun itu, termasuk fadhilah-fadhilah. Inilah derajat ahli ibadah yang beribadahnya nothing to lose, murni lillahi ta’ala, semata karena menyembahNya. Soal bagaimana buahnya, fadhilahnya, termasuk nilainya di mata Allah Swt, diserahkanlah semuanya semata kepada keputrusanNya, kehendakNya, dan Kasih SayangNya.
Rasul Saw bersabda, “Sesungguhnya kita tidak akan masuk surgaNya dengan amal ibadah kita, tetapi semata berkat rahmat dan ridhaNya.”
Dalam sebuah hadis Qudsi Allah Swt berfirman, “Wahai manusia, umpama semua jin dan manusia sejak awal penciptaan sampai hari akhir beribadah kepadaKu, itu semua takkan menambah kemahakuasaanKu; wahai manusia, umpama semua jin dan manusia sejak awal penciptaan sampai hari akhir mungkar kepadaKu, itu semua takkan mengurangi kemahakuasaanKu.”
Maka, kiranya, jika kita murni semata menyembahNya, beribadah semata kepadaNya, tanpa belitan ini itu, fadhilah ini itu, dan apa saja, itulah jalan rahmatNya yang dimungkinkanNya bagi kita untuk berjumpa denganNya. Apa yang dimaksudkanNya sebagai “liqa-a rabbihi”, berjumpa dengan Tuhannya, dalam ayat tersebut, secara kewadagan kita kini, tiada lain adalah menghadapkan segala apa pun amal ibadah kita kepadaNya Swt.
Tidak ada selainNya.
Tidak ada pamrih apa lagi.
Imam Ghazali menasihatkan: “Tingkatan ibadah yang paling rendah ialah beribadah dengan mendambakan nikmat-nikmatNya, seperti dibalas dengan harta dan surga; ibadah rendah berikutnya ialah beribadah dengan mendambakan diselamatkan dari azabNya; dan ibadah paling luhung ialah beribadah semata beribadah kepadaNya, tanpa damba-damba apa pun, selain DiriNya Swt.”
Memang, sebagai tambahan, tiada kelirunya kita pada mulanya belajar banyak secara keilmuan tentang fadhilah-fadhilah pelbagai ibadah. Itu benar, sahih. Sudah pasti, secara kognitif, orang yang makin luas memahami pelbagai fadhilah ibadah, dimungkinkan baginya untuk bisa lebih gencar, tekun, dan istiqamah mengamalkannya. Ini jelas benar, sahih.
Jadi, mari jangan membalik sangka, paparan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membuang syariat lahiriah, fiqh, dan khazanah fadhilah-fadhilah.
Hanya saja, yang seyogianya senantiasa menjadi ontologi ibadah kita tetaplah adalah semata Allah Swt. Begitu hakikatnya. Kemahakuasaan Allah Swt hendaknya selalu menjadi jantung yang mendenyutkan kegiatan ibadah-ibadah kita. Segala fadhilah amal hendaknya pun ditawajjuhkan kepada hadiratNya semata. Umpama suatu amal meruahkan nikmat tertentu, yakinilah dengan haq bahwa itu karunia Allah Swt, bukan karunia amal diri. Begitupun sebaliknya, umapam suatu amal yang kita dawamkan belum membuahkan hajat sesuai fadhilahnya, itu pun yakini sebagai karunia terbaik Allah Swt kepada kita kini. Walhasil, tekanan poinnya, ada di titik krusial ini.
Sedekah adalah amal baik. Fadhilahnya luar biasa melimpahkan rezeki. Begitu janji Allah Swt sendiri dalam banyak ayat. Tetapi, Allah Swt telah pula menegaskan bahwa diluaskan atau disempitkan rezekiNya kepada hamba-hambaNya (sebutlah ahli sedekah) adalah ketetapan dan kehendakNya semata. Dan itu mutlak terserah Allah Swt saja.
Bahwa Allah Swt Maha menapati janjiNya, kita yakin.
Bahwa Allah Swt Maha menghargai kesungguhan kita, kita yakin.
Bahwa Allah Swt menggaransi balasan kebaikan berkali lipat, kita yakin.
Namun, kita mesti selalu meyakini dengan haq bahwa Allah Swt lah Yang Maha Berkehendak dan Memutuskan. Segala keputusan dan ketetapanNya kepada hidup kita, sebagai ahli sedekah sekalipun, mau diluaskan atau disempitkan rezeki kita, itulah karunia terbaik Allah Swt kepada kita. Selesai.
Wallahu a’lam bish shawab.
Jogja, 3 Oktober 2019
______________________
Semoga artikel Letak Posisi Derajat Amal dan Kerawanannya dalam Islam ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..
simak artikel terkait Letak Posisi Derajat Amal dan Kerawanannya dalam Islam ini di sini
simak juga video terkait Letak Posisi Derajat Amal dan Kerawanannya dalam Islam ini di sini