Kolom Jum’at Gus Ulil: Pemimpin Harus “Lamba Dadane”

Gus Ulil

Dalam Alfiyyah, kumpulan seribu bait tentang tata bahasa Arab karya Ibnu Malik (w. 1274), terdapat bait yang menarik tentang definisi mubtada’, yaitu kata benda yang berposisi sebagai subyek kalimat.

Dalam kalimat sederhana seperti “زيد قائم” (Zaidun qa’imun; Zaid berdiri), maka kata “Zaidun” berfungsi sebagai “mubtada'”, dan “qa’imun” adalah “khabar”.

Setiap mubtada’, yakni subyek yang berbentuk kata benda (isim), harus disertai dengan “khabar” atau predikat, agar kalimat menjadi lengkap dan bisa difahami (mufidun, dalam istilah gramatik-nya). Mubtada’ yang tanpa khabar adalah sama dengan penyanyi tanpa penggemar yang mau mendengarkan musik yang ia dendangkan.

Dalam Alfiyyah, Ibn Malik mendefinisikan mubtada’ dengan cara yang sederhana tetapi mengandung makna “rohaniah” yang, bagi saya, amat menarik. Mari kita baca definisi itu dalam bait Alfiyyah berikut ini:

مُبْتَدَأٌ زَيْدٌ وَعَاذِرٌ خَبَرْ #
إنْ قُلْتَ زَيْدٌ عَاذِرٌ مَنِ اعْتَذَرْ

Mubtada’, kata Ibnu Malik, adalah seperti kata “Zaidun” dalam kalimat “َزَيْدٌ عَاذِرٌ مَنْ اعْتَذَر”. Makna kalimat ini: Zaid adalah orang yang memaafkan orang-orang yang meminta maaf (pada dia).

Secara harafiah, mubtada’ artinya adalah unsur dalam kalimat yang terletak di depan, di permulaan. Karena itu, posisi mubtada’, menurut kondisi alamiahnya, harus terletak di permulaan kalimat, dan oleh karena itu ia harus ada di bagian pembuka. Sementara khabar harus terletak sesudah mubtada’. Sebab, khabar adalah makmum, dan mubtada’ adalah imam.

Ibnu Malik menerangkan hal itu dalam bait berikut:

والاصل فى الأخبار أن تؤخرا #
وجوزوا التقديم إذ لا ضررا

Terjemahan bebas: Dari segi hukum dasar, mubtada’ harus ada di permulaan, sementara khabar harus terletak setelah mubtada’, harus di akhir kalimat. Boleh saja khabar ditaruh di depan, mendahului mubtada’, asal tidak menimbulkan “kekacauan gramatik”, dan tidak mengganggu kestabilan kalimat.

Yang menarik bagi saya adalah contoh kalimat yang dipakai oleh Ibnu Malik dalam bait yang pertama untuk mentakrifkan mubtada’. Mari kita simak kembali kalimat tadi: زيد عاذر من اعتذر (Zaidun ‘adzirun man i’tadzara). Makna kalimat ini: Zaid memaafkan orang-orang yang meminta maaf pada dia.

Makna “rohaniah” yang bisa kita gali dari sini, kira-kira, adalah sebagai berikut: jika Anda menjadi mubtada’, sosok yang ada di depan, Anda harus memiliki kualitas rohani yang amat penting, yaitu kemampuan memaafkan.

Jika Anda menjadi pemimpin, menjadi imam, maka Anda harus memiliki sifat “lamba dadane”, dada yang lebar, sehingga mampu memaafkan para makmum, juga memaafkan para musuh yang ada di seberang “sungai”.

Jika Anda pendendam, dan sulit memaafkan, sebaiknya Anda jangan menjadi pemimpin, jadi imam. Jadilah makmum, jadilah khabar saja, jangan menjadi mubtada’.

Sekian.

(Gus Ulil Abshar Abdalla, Pengasuh Ngaji Ihya)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *