KMNU se-DIY Ikuti Muktamar Pemikiran Santri Nusantara 2018

KMNU

Berita NU, BANGKITMEDIA.COM

BANTUL- Jum’at, (11/10/2018) Kegiatan Muktamar Pemikiran Santri Nusantara (MPSN) 2018 diselenggarakan oleh Kementerian Agama (Kemenag) di Pondok Pesantren Al Munawwir dan Yayasan Ali Maksum Krapyak, Bantul, Yogyakarta. MPSN diselenggarakan sejak tanggal 10 Oktober hingga 12 Oktober 2018 dan dihadiri sekaligus dibuka langsung oleh Menteri Agama RI, Bapak Lukman Hakim Saifuddin. Acara bertema “Islam, Kearifan Lokal, dan Tantangan Kontemporer” ini menarik berbagai pihak untuk menghadiri dan mengikuti acara tersebut. Mulai dari santri, kyai, mahasiswa, hingga masyarakat umum ikut menyemarakkan MPSN. Selain itu, pada hari kedua MPSN menyelenggarakan berbagai panel untuk berdiskusi bersama para santri dan ulama’ dari berbagai daerah hingga mancanegara.

KMNU sebagai salah satu organisasi kampus yang mewadahi mahasiswa nahdliyin ikut serta dalam menyemarakkan MPSN di Krapyak. Tidak sedikit pula anggota KMNU di Yogyakarta yang merupakan santri maupun alumni dari pondok-pondok pesantren di Indonesia. Oleh karena itu, KMNU se-Jogja mengirimkan puluhan delegasi dari seluruh KMNU Perguruan Tinggi (PT) yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebanyakan delegasi tersebut berlatar belakang santri pondok pesantren yang ada di Yogyakarta.

Bacaan Lainnya

Puluhan delegasi KMNU se-Jogja dibagi dalam beberapa kelompok untuk mengikuti tiga special panel pada pagi hingga siang hari. Setiap panel memiliki fokus kajian yang menarik, seperti contohnya special panel 3. Panel ini mengangkat pembahasan “Revitalizing Academic of Pesantren & Bahtsul Masail” dengan pembicara para ulama’ terkemuka di Indonesia dan mancanegara. Dipandu oleh moderator Dr. Rumadi, ruang panel ini dipenuhi peserta dari berbagai kalangan mulai dari santri, kyai, mahasiswa, hingga masyarakat umum.

Sebagai pembicara pertama, Dra. Badriyah Fayumi, MA membahas mengenai arti dari revitalisasi itu sendiri. Beliau menitikberatkan revitalisasi pada beberapa aspek pesantren, yaitu pada pemikiran santri, budaya atau tradisi pesantren, dan sistem pendidikan pesantren. Beliau menekankan bahwa tradisi anti kekerasan di pesantren telah ada sejak lama. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mengkaji khazanah kitab kuning, menurut beliau perlu diadakan pemantapan sistem pengajian kitabnya. Contoh yang beliau sampaikan, dalam mengkaji kitab kuning, sebaiknya dikaji sampai khatam meski hanya dapat 1 atau 2 kitab saja, jangan setiap tahun berganti kitab yang dikaji namun yang sebelumnya belum khatam. Selain itu, beliau juga menyinggung mengenai fenomena yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Banyak masyarakat yang memiliki ghiroh (semangat) besar dalam beragama namun pemahaman dan ilmu agama mereka masih kurang, sehingga yang terjadi adalah ketidakselarasan antara niat dan perkataan dengan tindakan mereka. Fenomena ini menjadi sorotan sekaligus keprihatinan bagi kalangan masyarakat pesantren yang notabene lebih menguasai ilmu-ilmu agama.

Setelah itu ada Dr. KH Malik Madani sebagai pembicara kedua. Seorang kyai sekaligus dosen Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Jogja. Beliau menyampaikan mengenai kekuatan pesantren, yaitu sumber belajarnya masih murni atau bersumber dari sumber asli yang tak lain adalah kutubut-turats (kitab kuning). Beliau juga meminta agar pesantren mengoreksi atau tidak mudah memaklumi kesalahan-kesalahan nahwiyah pada pemaknaan istilah arabik yang telah menyebar di masyarakat. Selain itu, ada sedikit bahasan politik yang berhubungan dengan agama. Beliau menekankan bahwa penggunaan salat istikharah untuk permasalahan publik tidak diajarkan dalam agama. Masalah publik yang dalam hal ini diwakili dengan politik, harus diselesaikan dengan jalan istisyarah atau kita lebih mengenalnya dengan istilah musyawarah. Dalam istisyarah tentu diperlukan pedoman untuk melaksanakannya, untuk itu beliau menyampaikan penggunaan ushul fiqh dalam menyelesaikan permasalahan publik.

Pembicara ketiga berasal dari mancanegara ialah Dr. Syaikh Salim Alwan Al-Husainy. Beliau merupakan Ketua Umum dari Darulfatwa Islamic High Council of Australia. Beberapa poin penting yang beliau sampaikan dengan bahasa arab fasihnya adalah bahwa ilmu agama merupakan ilmu yang mulia karena ilmu agama diajarkan oleh para nabi dan rasul yang notabene adalah manusia-manusia mulia. Selanjutnya beliau meminta agar masyarakat mempersatukan akidah, sehingga akan bersatu pula dalam agama. Adapun perbedaan yang terdapat pada imam-imam besar (Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, dan beberapa lainnya) adalah rahmat bagi kita, orang-orang yang awam. Semakin luas ilmu seseorang maka ia akan semakin rendah hati. Seseorang yang berfatwa tanpa ilmu sangatlah berbahaya, karenanya kebenaran tidak dilihat dari siapa yang menyampaikan. Selain itu, beliau menekankan bahwa dalam bahtsul masail harus merujuk pada kitab-kitab ulama aswaja, bukan dari pendapat perorangan. Dalam hal ini yang disebut aswaja menurut beliau ialah pengikut Asy’ariyah-Maturidiyah.

Pembicara keempat sekaligus terakhir adalah KH Afifuddin Muhajir. Beliau seorang pakar ushul fiqh terkemuka di Indonesia. Pada kesempatan ini, beliau menyampaikan tentang hubungan antara kecerdasan intelektual dan kepekaan emosional. Kedua aspek ini menurut beliau dibutuhkan untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Kolaborasi antara kecerdasan intelektual dan kepekaan emosional menjadi modal dasar santri dalam menuntut ilmu agama. Delegasi dari KMNU juga berkesempatan untuk bertanya dalam sesi tanya jawab yang diberikan oleh moderator.

Selain special panel, ada pula diskusi dan penyampaian paper dari para pengirim yang telah terseleksi sebelumnya. Penyampaian paper dilaksanakan setelah sesi istirahat dari special panel dan dibagi dalam delapan ruang. Paper yang disampaikan memiliki bahasan yang menarik bagi para delegasi KMNU se-Jogja, seperti contohnya pada ruang MPSN 8 membahas mengenai pengertian sunnah dan bid’ah menurut KH Hasyim Asy’ari, urgensi pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, dan Indonesia sebagai kiblat islam dunia.

Rangkaian acara yang lain dalam MPSN adalah Silaturahim Nasional (Silatnas) Asosiasi Ma’had Aly Indonesia atau sering disingkat AMALI. Dalam forum silaturahim ini, disampaikan beberapa hal mengenai pesantren dan ma’had aly itu sendiri. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 memiliki dampak dalam pengubahan pesantren dari lembaga kemasyarakatan menjadi lembaga pendidikan. Hal ini ditandai dengan penyikapan pesantren sebagai lembaga pendidikan murni. Seharusnya pesantren menjadi lembaga keagamaan, kemasyarakatan, dan pendidikan. Selain itu, di sisi pembahasan mengenai ma’had aly, terdapat perbedaan pola pengajaran yang dilakukan oleh tenaga pengajar ma’had aly dengan lembaga lain. Pengajaran ma’had aly umumnya diampu oleh para kyai yang tentu tipe mengajarnya berbeda dengan guru maupun dosen. Pada akhir forum, ditekankan bahwa pesantren adalah lembaga autentik, bukan lembaga alternatif. Bagi santri yang juga anggota KMNU, ma’had aly merupakan kampus berdasar pesantren yang sistem dan hasil lulusannya setara dengan perguruan tinggi. [red-cha]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *