Kisah Para Penggali Kubur

penggali kubur

PENGGALI KUBUR

Sudah 10 harian ini, setiap bakda subuh dan ashar saya atau anak-anak bergantian menziarahi makam Umi. Kami membacakan talqin dan tahlil, sampai 40 hari ke depan. Begitulah kebiasaan yang kami tiru dari guru kami.

Pagi ini, bakda subuh, usai menemani anak-anak mengaji Al-Qur’an, saya duduk manis di depan makam Umi. Mengulang Kalimah-kalimah mulia yang sama seperti kemarin dan kemarinnya lagi.

Sambil menghitung bilangan istighfar dan shalawat, saya menikmati kesunyian di rumah keabadian sejati manusia. Nikmat sekali berada dalam senyap di tengah-tengah mereka yang sudah mengalami dua fase kehidupan lebih banyak dari saya: penciptaan, kelahiran, kehidupan, kematian dan kehidupan setelah kematian.

Di sini saya kembali mendapat peneguhan, bahwa kehidupan di dunia hanyalah antrian panjang menuju gerbang alam keabadian yang bernama kematian. Betapa tidak, setiap hari saya menyaksikan pertambahan jumlah makam di sekeliling makam umi.

Ketika Umi dimakamkan Ahad, 23 Maret lalu saja, ada enam lubang yang digali berbarengan. Dan makam umi saat itu berada di posisi paling barat dari seluruh deretan makam.

Keesokan harinya, di barat dan utara makam umi sudah ada 3 makam baru. Penggali makam yang ngobrol dengan saya hari itu bilang, ia dan teman-temannya sepagian itu mendapat order menggali delapan lubang makam baru. Dan hari ini, Rabu, 3 April 2019, posisi makam umi sudah berada di tengah-tengah barisan.

Pagi ini, matahari baru saja terbit, ketika kesendirian saya terusik oleh kedatangan seorang pemuda tanggung. Ia berjalan ke arah saya sambik memikul cangkul di pundaknya. Kemudian berhenti di barisan sebelah utara makam Umi. Setelah mengangguk sambil tersenyum kepada saya ia mulai mencangkuli tanah basah di hadapannya.

Sesekali ia berhenti, berdiri tegak sambil menyeka keringat di dahinya dengan lengan kaosnya. Bertepatan dengan saya selesai membaca doa. Kesempatan jeda itu saya gunakan untuk menyapanya.

“Damang, Kang…?”

“Pangestu, Pak..” jawabnya sopan.

“Gali kubur buat orang mana..?” Lanjut saya.

“Teu ngarti, Pak.. saya cuma disuruh gali sama petugas makam. Nanti kalo matur sudah datang baru biasanya kami ngarti..”

Saya pun tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia lalu meneruskan penggalian.

Tak lama bergabung seorang paruh baya. Penggali kubur lain, yang duduk tak jauh dari lubang yang sedang digali. Rupanya ia rekanan pemuda yang sedang mencangkuli tanah. Ia menanti giliran menggali tanah, saat si pemuda lelah.

Tak lama lagi, ikut bergabung juga seorang bapak tua penjual bunga di warung yang tak jauh dari makam umi. Ia kemudian bercerita panjang lebar tentang asal mula Taman Pemakaman Umum Padurenan ini. Ada nada getir saat ia mengenang proses pembebasan tanah makam ini. Segetir ketika ia mengenang sejarah pembebasan lahan-lahan di kampungnya yang kini sudah berubah menjadi perumahan-perumahan berbagai kelas.

“Sedih rasanya kalau ingat tanah-tanah ini,” katanya membuka obrolan. “Tanah kami ini dulu hanya dihargai 1500 rupiah per meter.”

Saya tertarik dan bertanya, “Kenapa Bapak mau tanahnya dibeli semurah itu..?”

Ia tersenyum getir, “Yah Pak, saat itu kan jaman babeh (Presiden Soeharto) masih sangat berkuasa. Kalo kami gak mau bisa dikandangin. Jangankan kami yang rakyat kecil yang bodoh-bodoh, lurah dan RW kami aja tidak berdaya. Saya dulu juga pernah diringkus dan dibawa ke *$&#-@¢€¥ (ia menyebut salah satu markas/kantor aparat bersenjata). Saya digebukin karena gak mau jual tanah saya.”

“Saya sampai nangis. Saya bilang, ‘Ya Allah Pak, saya ini bukan maling, bukan garong, bukan copet.. kenapa diperlakukan begini.. lha tanah ini kan tanah saya, saya dapat dari warisan bapak saya, dari engkong saya, dari buyut saya. Terserah saya mau dijual apa nggak.. kenapa jadi saya dipukulin.”

Karena perlawanannya, si bapak ini, mendapat harga ganti rugi lebih baik dari pada teman-temannya, 12 juta rupiah untuk tanah seluas 3 hektar, yang kini sudah menjadi perumahan besar. “Itu juga udah lumayan, Pak,” katanya. “Teman-teman saya paling cuma dibayar 600 ribu per hektar. Namanya juga jaman orde baru, siapa yang berani nolak, Pak. Bisa kagak pulang kita.”

Ia lalu menunjuk pria paruh baya yang sedang mencangkul menggali tanah kuburan, menggantikan si pemuda. “Nih die nih.. sekarang cuman jadi tukang gali kubur doang. Padahal dulu tanahnya di komplek makam ini 3 hektar. Lha cuman dibeli cenggo (1500 rupiah) semeternyah, dapat apaan Pak. Beli motor juga abis.”

Cerita getir ini bukan sekali dua saya dengar dari penduduk asli kampung ini. Belum lagi tentang sungai-sungai mereka yang ikannya perlahan menghilang, karena airnya berubah warna menjadi sehitam comberan. Warga pendatang di kompleks yang kadang memandang mereka hanya dengan sebelah mata. Dan sebagainya.

Saya terhenyak.. begitu banyak cerita dan pelajaran yang saya dapat sepagian ini di kuburan. Saya bertanya dalam hati, “Jadi kalian masih ingin kembali ke jaman jayanya Orde Baru…?? Kalo saya, terlebih setelah mendengar kisah-kisah para penggali kubur pagi ini, jelas tidak mau…”

Penulis: Iftah Sidik, Pengasuh Pesantren Fatahilah Bekasi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *