Malam-malam Kiai Hamid Pasuruan bertamu ke rumah Kang Ayip Muhammad (Ayip Muh) Jagasatru, Cirebon.
“Yip, lagi punya hajat apa?” Kiai Hamid membuka obrolan.
“Saya lagi membangun masjid pesantren, kiai”
“Sampean minta uang atau doa, Yip?”
“Doa saja, Kiai”
“Sampean putari tanah yang hendak dibangun masjid sambil baca ‘shalluu ala Muhammad’.”
“Dlomir ‘sholluu’ ditunjukkan ke siapa, Kiai?” Tanya Kang Ayip
“Sudahlah baca saja..!”
Pagi sehabis subuh Kang Ayip langsung mengamalkan “ijazah” dari Kiai Hamid. Ia memutari pondasi bangunan sambil merapal salawat pemberian Kiai yang dikenal “khariqul adah” itu.
Tiga hari berikutnya datang seorang bermata sipit menghampiri Kang Ayip yang sedang duduk-duduk mengawasi tukang bangunan.
“Lagi bangun tempat sembahyang, Kang Ayip?”
“Ya, betul,” jawab Kang Ayip singkat.
Obrolan berlanjut pada tema yang lain.
Kang Ayip Muh dikenal sebagai “ulama” semua umat, lintas etnis dan lintas agama. Habib yang “Jawa” ini (pakaian sehari-hari kopyah dan sarung, fasih bahasa Jawa dan Sunda dan tidak pakai “antum-antuman”) kerap dimintai nasehat, bimbingan, juga wejangan oleh setiap tamu yang sowan ke rumahnya. Semua ulama dan kiai, khususnya di Wil. Tiga (Cirebon, Indramayu, Kuningan, Majalengka) menaruh hormat dan takzim pada beliau, karena di samping sorang habib beliau alim allamah juga tawaduk.
Seminggu berikutnya Kang Ayip kaget ada sebuah truk besar sedang membongkar muatan besi bangunan persis di samping pondasi bangunan masjid.
“Besi ini milik siapa?” tanya Kang Ayip pada sopir truk
“Saya disuruh majikan untuk mengantarkan besi ke alamat ini, kiai,” jawab sopir sambil menunjukkan kwitansi toko bangunan kepada Kang Ayip.
*
Kiai Hamid dan Kang Ayip adalah dua ulama “patok bumi” tanah Jawa: Jawa Barat dan Jawa Timur. Dua-duanya dikenal “awliya Allah” (kekasih Allah) yang masyhur baik di bumi maupun di langit. Bukan ulama-ulamaan bikinan politisi amatiran. Waalahu a’lam. Semiga bermanfaat.
Penulis:
Jamaluddin Mohammad