Kisah 26 Jam Jelang Mbah Moen Menghadap Allah SWT

mbah moen dan dubes ri untuk saudi

Agus Maftuh Abegebriel, Dubes RI untuk Arab Saudi

Sebagai seorang santri yang selalu bangga dengan kesantriannya, akan merasa memikul dosa besar jika tidak sowan Mbah Moen ketika beliau sedang berada di Makkah.

Sebagai santri yang di awal penugasan di Saudi dibekali sebuah “doa khusus” oleh Mbah Maimoen, saya merasa punya berkewajiban untuk menghadap beliau meski malam itu harus berjalan kaki sejauh 5 km karena semua jalan ditutup karena beberapa Kepala Negara sedang menuju ke Istana Raja Qasr Shafa.

Selama dua jam, keluarga besar saya mendengarkan dan menyimak nasehat-nasehat penuh hikmah dari Mbah Moen.

Bacaan Lainnya

Beliau menyebut nama santri Abdurrasyid yang juga berprofesi sebagai “tukang servis jam”. Rosyid yang juga bapak saya tersebut dikisahkan oleh Mbah Moen sebagai “santri fanatik dan loyalis” Abah beliau KH. Zubeir Dahlan yang akhirnya menjadi santri pertama Mbah Moen.

Emak saya juga disebut dalam tausiyah dua jam tersebut. Mbah sering menyebutnya dengan “Mbak Hid” yang sangat akrab dengan garwa Mbah, Nyai Mastiah Maemoen. Kedekatan itu dimulai dari tahun 60-an ketika dua-duanya menjadi tukang masaknya KH. Ma’shum Ahmad di Pesantren Al-Hidayat Soditan Lasem.

Nama mertua saya, H. Abdullah Zawawi bin KH. Hasbullah Kembang juga beliau singgung dalam “briefing tengah malam” tsb, karena hampir semua anak-anak H. Abdullah Zawawi yang mengijabkan ketika nikah adalah Mbah Maemun, termasuk saya juga diijabkan oleh beliau lengkap dengan tausiyahnya di tahun 1992.

Alhamdulillah, doa Mbah Moen masih dikumandangkan untuk Bangsa Indonesia dan juga untuk keluarga kami serta beberapa diplomat KBRI yang hadir pada tengah malam itu. Namun setelah berdoa, Mbah Moen mengagetkan kami semua dengan kalimat “Pertemuan ini adalah yang terakhir, terakhir. Ternyata kalimat ini adalah pamitan beliau untuk menghadap Kekasihnya, Allah SWT. Subhanallah

Dalam suasana duka yang dalam ini, saya bangga bisa sowan dengan Mbah Moen bersama istri dan anak-anak saya plus menantu. Sebuah kesempatan bersejarah untuk selalu dekat dengan Kyai yang “faridu asrihi” satu-satunya di masanya.

Saya juga bangga bisa mengajarkan kepada anak-anak saya untuk selalu dekat dengan Kyai dan berbangga menjadi anak-anak dari seorang santri dan jangan berbangga menjadi anak-anak seorang dubes yang hanya merupakan “label sementara”. Karena label “santri” adalah sebuah label yang “unending /ghairu mutanahiyah”, tak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu.

Makkah 7 Agustus 2019 / 6 Dzul Hijjah 1440 H

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *