Kiai Wahab Tunda Kematian, Kisah Negosiasi dengan Izrail demi Muktamar NU.
Menjelang Muktamar NU ke-25, 1971, Kiai Wahab Chasbullah (saat itu disetujui Rais Aam PBNU) meningkatkan naza ‘setelah sakit keras beberapa lama. Beliau menyuruh Kiai Sholeh Abdul Hamid, keponakan beliau, untuk mengumpulkan santri dan membacakan Yasin.
“Jangan berhenti membaca Yasin sampai aku berhenti Syahadat”, pesan Mbah Wahab. Semua yang hadir tak berkuasa memegang mata air.
Bacaan Yasin laksana dengung kumpulan segera dipenuhi ruangan, sampai akhirnya Mbah Wahab memberi tanda. Bacaan terhenti. Ruangan senyap seketika.
“Asyhadu allaa ilaaha illallaah … wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah …”
Lalu senyap lagi. Tak ada suara. Ketegangan mencekam.
Tiba-tiba Mbah Wahab tersenyum sumringah.
“Nggak jadi!” kata dia, “aku sudah ngomong-ngomong sama Malaikat Izro’il, nanti saja setelah Muktamar! Kalian semua bubar!”
Beberapa hari setelah Muktamar, Mbah Wahab Chasbullah wafat. Kiai Bisri Syansuri mengambil posisi Kiai Wahab sebagai Rais Aam PBNU. (mm)
_______________________
Semoga artikel Kiai Wahab Tunda Kematian, Kisah Negosiasi dengan Izrail demi Muktamar NU ini memberikan manfaat dan keberkahan untuk kita semua, amiin ..
BONUS ARTIKEL TAMBAHAN
Karomah Habib Ali Kwitang, Terlalu Dahsyat untuk Dilogikakan.
Suatu tempat tatkala al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang) sedang mengajar di rumah di hadapan muridnya yang cukup banyak, dia mendengar suara ibunda tercinta, Nyai Salmah: “Li … Ali … Li …”, begitu panggil sang ibu.
Lalu Habib Ali, waktu yang telah disetujui lebih dari 60 tahun, langsung saja izin untuk semua muridnya: “Saya meminta ridhanya untuk meminta ibu saya terlebih dahulu.”
Habib Ali pun mengizinkan izin. Ternyata sang ibu harus diantarkan ke kamar mandi. Bergegaslah Habib Ali menggendong sang bunda pergi ke kamar mandi. Bukan itu saja, Habib Ali lah yang langsung membersihkan dan menyuci pakaian sang ibu. Meskipun ada istri tetapi Habib Ali tidak mengizinkannya, karena demi bakti dia menentang sang ibu. Sementara waktu itu Habib Ali telah dikenal sebagai ulama yang terpandang di tanah Betawi, tetapi ia harus memanggil sang ibu tanpa berpikir panjang langsung memenuhi panggilan itu.
Ada suatu saat sedangkan Habib Muhammad, putra Habib Ali, masih kecil sementara Habib Ali sedang dalam rihlah dakwahnya di Negeri Singapura. Dan sang ibu, Nyai Salmah, bertanya pada menantunya yaitu, istri Habib Ali: “Mana Ali, putraku?”
Dijawab oleh istri Habib Ali: “Sedang dakwah di Singapura, Umi.”
Dengan spontan sang ibu menerima pada menantunya itu: “Cepat kirim telegram, padanya padanya padanya padanya ibu ibu ibu ibu bilang bilang bilang bilang bilang bilang bilang bilang!!!!!!!!!!!”!!!!! ”” ”” ”” ”!” ”” ”” ”” ”!” ”” ”!”!!!! ””!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Telegram langsung dikirimlah kepada Habib Ali yang sedang berdakwah di Singapura. Sesampainya telegram itu pada Habib Ali, langsung beliau baca. Setelah dibaca, tanpa basa-basi Habib Ali pun permisi pamit untuk pulang karena sang ibu yang pulangnya.
Begitulah tanda bakti seorang ulama besar, orang terpandang, panutan umat, al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi terhadap sang bunda tercinta.
Penulis: Sya’roni As-Samfuriy.
* Sumber kisah: Ustadz Antoe Djibrel, Khadim Majelis Ta’lim Kwitang dari Almarhum al-Habib Muhammad bin Ali al-Habsyi).
_____________________
Semoga artikel Karomah Habib Ali Kwitang, Terlalu Dahsyat untuk Dilogikakan ini memberikan Manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin ..
simak artikel terkait di sini
simak video terkait di sini