oleh : Abdul Karim Mustofa, alumni Pesantren Nurul Ummah dan Pengasuh Pesantren Al-Qur’an Wates (Pesawat)
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki sejarah panjang. Pesantren tidak hanya memiliki makna keislaman, namun juga makna keaslian Indonesia. Perkembangan pesat lembaga ini bisa dilihat dari pesantren-pesantren tradisional yang banyak terdapat di desa-desa hingga dalam perkembangan seperti sekarang ini, pesantren-pesantren yang bermunculan di daerah-daerah sub urban bahkan perkotaan. Seperti kita lihat pesantren yang awalnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama lewat kitab kuning sampai dengan pesantren yang mengintegrasikan antara ilmu agama dan ilmu umum bahkan sudah menggunakan fasilitas modern. Inilah yang kemudian melatarbelakangi munculnya istilah pesantren salaf dan modern, bukan yang lain
Pesantren (baca : salaf) sebagaimana yang kita kenal bahkan kita ikut nyantri adalah proses pendidikan dan pembelajaran agama (tafaqquh fi ddin) dengan menggunakan metode seperti sorogan, bandongan dan lalaran atau istilah lain yang serupa. Istilah ini sudah sangat populer di dunia santri khususnya mereka yang mondok (nyantri) di pesantren Salaf. Dua istilah tradisi sorogan, bandongan dalam sejarahnya sebenarnya berakar dari tradisi menulis, menyalin, dan menuangkan kembali dalam wadah yang lain. Inilah tradisi santri, tradisi menulis.
Pondok Pesantren dalam sejarahnya sejak dulu merupakan lembaga pendidikan yang turut melahirkan karya tulis. Tak jarang, para kiai yang menekuni bidang tertentu mengabadikan gagasan dan wawasannya dalam bentuk sebuah kitab. Tradisi menulis di kalangan santri bisa kita tilik dari sejumlah aktivitas penulisan yang telah dilakukan oleh salafuna sholih para kyai pesantren kita dalam bentuk karya-karya tulis. Syekh Nawawi al Bantani, Syekh Mahfudz at Tirmasi, KH. Kholil Bangkalan Madura, KH. Hasyim Asya’ari, dan KH. R. Asnawi Kudus merupakan tokoh-tokoh pesantren yang dengan konsisten menuliskan ilmu-ilmu yang telah mereka dapatkan dalam karya-karya tulis mereka.
Tradisi menulis para kyai dulu ternyata memberikan pengaruh besar bagi seorang kyai Pesantren di Yogyakarta, PP. Nurul Ummah. Beliau adalah almaghfurlah KH Asyhari Marzuqi, Pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta. Kiai Asyhari merupakan satu dari ribuan bahkan jutaan kiai yang mewarisi dan mewariskan tradisi menulis untuk santrinya.
Kiai Asyhari, biasa masyarakat memanggilnya demikian adalah putra dari Kiai Marzuqi, Giriloyo, Imogiri, Bantul yang juga ikut mendirikan Pondok Pesantren Nurul Ummah ketika itu. Asyhari Muda adalah pemuda yang “kepomo”, mengingat ayahnya, Kiai Marzuqi punya kekayaan yang melimpah sehingga bisa menguliahkan Asyhari sampai baghdad Irak. Dari sinilah, karakter Ayhari Muda terbentuk dan mulai “terjun” dalam tradisi kepenulisan. Selepas dari Irak, Asyhari muda memimpin dan mengasuh PP Nurul Ummah yang didirikan oleh ayahnya, Kiai Marzuqi di Kotagede Yogyakarta
Kiai Asyhari dan Tradisi Menulis
Tradisi menulis yang diajarkan oleh KH Asyhari Marzuqi untuk para santrinya melalui beberapa model. Yang pokok adalah cara mbalah (mengajar) KH Asyhari Marzuqi adalah menggunakan kata-kata ilmiah yang kadang-kadang santri tidak mampu menghafalkan mufrodatnya kecuali dengan menuliskannya dalam kitab yang dikaji. Model yang lain adalah beliau mengijinkan santri membuat satu wadah organisasi jurnalistik, menerbitkan sebuah majalah secara berkala, disebut dengan Majalah Pesantren Tilawah. Lewat media ini, para santri mengolah diri untuk menjadi penulis-penulis yang tentu saja berkat restu dari KH Asyhari Marzuqi.
Majalah Pesantren Tilawah merupakan sumber informasi kepesantrenan yang digadang-gadang bisa menasional sebagaimana majalah yang lain. Sampai hari ini pun warisan beliau yang satu ini masih bisa bernafas dan bersaing dengan majalah lainnya meskipun dengan kesederhanaan. Namun semangat meneruskan tradisi KH Ayshari inilah yang layak untuk dikenang dan dilanjutkan.
Kiai Asyhari dan Karyanya
Bidang kepenulisan lain yang layak diteladani dari seorang Kiai bersahaja, KH Asyhari Marzuqi adalah tradisi membaca dan menuliskan gagasan dan idenya sampai menjadi naskah yang kemudian diterbitkan. Siapa yang menerbitkan? Adalah KH Asyhari Marzuqi, sebagai penggagas bersama Drs.H. Afandi (Mantan Kepala Kemenag DIY sekaligus mantan Ketua Yayasan Pendidikan Bina Putra) mendirikan lembaga penerbitan Nurma Media Idea selanjutnya disingkat Numeid.
Buah pemikiran beliau, KH Asyhari Marzuqi dituangkan dalam naskah tertulis yang kemudian berbuah menjadi buku-buku fenomenal dan sangat diapresiasi oleh banyak kalangan sebagai kyai yang produktif. Karya beliau adalah Targhibul Khotir, Memikat Hati dengan Al-Quran. Buku ini menceritakan bagaimana seseorang harus berakhlak al-Quran sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw dan bagaimana sesorang ikut menjaga al-Quran sepanjang masa hayatnya. Buku kedua, Wawasan Islam, menceritakan Umat Islam harus mengetahui dan memahami persoalan-persoalan keumatan yang harus dihadapi dan diberikan solusi sesuai dengan Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin.
Buku ketiga, Pedoman Umat, merupakan buku wirid bakda sholat dan kumpulan doa-doa yang diajarkan oleh KH Asyhari Marzuqi untuk santri-santri dan Alumni Nurul Ummah dan juga bisa diamalkan juga untuk masyarakat umum lainnya. Buku keempat, 19 Mutiara Ahad Pagi, merupakan kumpulan dari materi-materi pengajian kitab yang beliau sampaikan setiap Ahad Pagi yang dihadiri oleh masyarakat Yogyakarta, dan sekitarnnya.
Buku yang lain ditulis oleh KH Ayshari Marzuqi adalah Risalatul Ummah, sebuah catatan tanya jawab masyarakat terkait problematika keagamaan dan kemasyarakatan. Sedangkan buku yang merupakjan hasil terjemahan yang beliau tulis di saat masih belajar di Baghdad Irak dan kemudian diterbitkan ada dua judul. Buku ini merupakan hasil terjemahan dari Kitab Risalah Dakwah nya Hasan Al-Bana. Hasil terjemahan itu beliau memberi judul Risalah Dakwah Hasan Al-Bana: Baiat, Jihad, dan Dakwah.
Kiai Asyhari Menginspirasi Santri
Melihat kiprah beliau yang luar biasa, tentunya ummat sangat bangga terhadap KH Asyhari Marzuqi selain sebagai pengasuh pesantren, pemuka masyarakat, Syuriyah PWNU ternyata masih bisa menyempatkan diri di tengah kesibukannya untuk memberi semangat kepada santri dan masyarakat untuk menulis, mencatat dan menuangkan ide-idenya dalam barisan tulisan sehinga bermanfaat. Kiai Asyhari menjadi Inspirator tersebut bisa dicatat dengan banyaknya santri dan alumni yang lihai dalam menulis dan bahkan diterbitkan dalam buku-buku yang kemudian diedarkan dan dipasarkan di masyarakat. Mereka menuliskan ide-idenya, semata untuk menimbang manfaat, intisyarul ilmi ke masyarakat. Ahmad Munawari dengan buku-bukunya Tata Bahasa Arab, Ainul Farihin dan Slamet Riyadi dengan bukunya kamus Santri, Ibnu Burdah dengan bukunya tentang balaghah, dan sebagainya.
Bagi masyarakat, KH Asyhari Marzuqi punya peran yang mampu mengubah masyarakat menjadi baik dan selalu akan dikenang kiprahnya dan nilai-nilai kehidupannya. Semua bisa dilihat dari buku yang juga ditulis oleh santri-santrinya serta diterbitkan oleh penerbit yang direstui oleh beliau, KH. Asyhari Marzuqi. Di antaranya buku yang bisa kita baca adalah Mata Air Keihklasan: Biografi KH Asyhari Marzuki ditulis karim mustofa, Ahmad Munir dkk. Lahul Fatihah…