Kiai Abdullah dan Pertemuan Rahasia di Ploso Kuning

kiai abdullah
KH Abdullah, Pendiri Pon Pes Al Muhsin, Condong Catur, Depok, Sleman

Malam itu malam selasa kliwon, tepatnya pada bulan November 1973. Gemerisik suara malam menemani tidur nyenyaknya. Kala itu KH. Abdullah (pendiri Pon. Pes. Al Muhsin,  Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta_red) dibangunkan oleh mimpi yang membawa sebuah pesan untuknya. Seorang laki-laki kelahiran Sleman, Yogyakarta tanggal 31 Desember 1915 ini sempat didatangi oleh Kiai Muhsin dalam mimpinya, yang tidak lain dan tidak bukan  adalah guru sekaligus mertuanya yang telah wafat kurang lebih tahun 1969. Dalam mimpinya itu tergambar dengan jelas bahwa Kiai Muhsin seperti menyampaikan sesuatu hal yang sangat penting. Dalam mimpi itu Kiai Muhsin berkata :

“Wahai muridku, besok pergilah engkau ke Masjid Pathok Nagari di Ploso Kuning, dan kau akan bertemu dengan seorang tua yang akan memberimu sesuatu yang berharga, camkan perintahku ini dan persiapkan dirimu sebaik mungkin!”

Bacaan Lainnya

Sebagaimana dengan kisah yang diceritakan oleh beberapa murid sepuh Kiai Muhsin, maka pada hari berikutnya Kiai Abdullah berangkat dengan berjalan kaki dari dusun Nglaren, Condongcatur, Sleman menuju ke Ploso Kuning. Sekitar 5 km lebih jalanan yang gelap, angker, dan penuh dengan hawa-hawa mistik nan jahat ia telusuri dengan hati-hati. Konon, daerah selatan Ploso Kuning itu dulu dikenal sebagai daerah wingit “Alas Manik Setan Geni”. Saat itu juga ia merasakan ada semacam hawa lelembut maupun siluman yang hendak menerkamnya. Namun semua itu dapat ia atasi dengan  mudah. Karena sejak dari rumah, Kiai Abdullah sudah merapalkan doa “Nurbuat” sebanyak 100 kali dan ajian “Qulhu Sungsang” sebanyak 3 kali tanpa nafas. Akhirnya semua makhluk halus itu terbakar dan lenyap.

Setelah beberapa saat sampai di tempat tujuan, Kiai Abdullah istirahat sejenak guna melepas penat. Lalu tampaklah seorang tua berjanggut putih panjang sedang duduk sendirian. Kiai Abdullah sempat berfikir mungkinkah ini yang dimaksud oleh Kiai Muhsin? Tanpa pikir panjang ia segera mendekati orang tua itu. Ia mengucapkan salam dengan terpatah-patah. Orang itu hanya diam menganggukkan kepalanya, sembari menatap mbah Abdullah dengan sorotan mata yang aneh. Tanpa basa-basi orang itu mulai berkata:

“Aku sudah tahu maksud kedatanganmu kemari. Setiap abdi Tuhan harus terus mencari kebenaran tiap ihwal. Apakah kau tahu apa sebenarnya yang kau cari dalam hidupmu?”

Kiai Abdullah hanya menjawab, “Aku…, Aku tak tahu…, dan… siapa … siapa kau sebenarnya?”

“Akulah Sang Iblis laknatullah. Aku adalah makhluk terusir yang bernasib malang, kendati dahulu aku pernah beribadah selama tujuh ratus ribu tahun. Abdullah lihatlah ke langit! Sungguh waktu itu aku telah terjatuh dalam bencana yang amat lama. Dosaku tak terampuni. Bukan karena apa-apa, melainkan karena kecerobohan yang tidak dapat aku hindari. Aku tak tahu kenapa Tuhan begitu tega menghukumku tanpa terlebih dulu menimbang semua ibaadah-ibadahku yang sudah lampau, hanya karena diriku yang telah dianggap-Nya sombong kala itu. Dan memang itu semua memang sudah kutukan dari Tuhan. Kendati manusia menganggapnya seperti kematian?”

Dengan tubuh yang panas bak api yang membara Abdullah hanya menjawabnya dengan lantang, “Pertemuan seperti inikah yang dimaksud guruku? Aku pergi ke tempat ini hanya semata karena rasa ta’dzim dan rasa patuhku terhadap guru, bukannya malah menemuimu, lalu sesungguhnya apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, hai iblis?”

Iblis menyergah “Goblok sekali kau ini hai Abdullah, aku ini hanya ingin menegaskan tentang permusuhan diantara kita. Bahwasannya aku juga hamba yang punya harapan untuk bisa punya derajat tinggi macam makhluk sepertimu! Aku peringatkan satu hal kepadamu, satu kali saja kau terjerumus dalam rayuan dan tipu muslihatku, maka jangan berharap derajatmu akan lebih tinggi dariku!”

Itulah ucapan terakhir iblis hingga tubuhnya lenyap dilalap suara merdu adzan subuh. Abdullah hanya berdiam diri sembari merenungkan kata-kata yang disampaikan guru dan juga iblis keparat tadi. Ia terus memahami makna kejadian ini.

Beberapa saat kemudian ia dikagetkan oleh sapaan dari Mbah Baghawi. Untuk menutupi kejadian yang baru saja terjadi Kiai Abdullah berdalih bahwa ia hanya sedang merindukan sholat subuh  di Masjid Pathok Nagari ini. Mbah Baghawi hanya tersenyum mengangguk dan menganggap apa yang dikatakan Kiai Abdullah adalah benar. Setelah itu Kiai Abdullah mampir sebentar di rumah Mbah Baghawi dan pamit pulang. (Nisa)

(Sumber : Buku In memorian KH. Abdullah dengan sedikit perubahan dan tambahan)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *