Kiai Abdul Chalim Jalan Kaki 14 Hari dari Majalengka Menuju Surabaya Jelang Berdirinya NU

Kiai Abdul Chalim Jalan Kaki 14 Hari dari Majalengka Menuju Surabaya Jelang Berdirinya NU

Kiai Abdul Chalim Jalan Kaki 14 Hari dari Majalengka Menuju Surabaya Jelang Berdirinya NU.

Prof KH. Asep Saifuddin adalah putra dari KH. Abdul Chalim Leuwimunding Majalengka. Kiai Abdul Chalim merupakan karib Mbah Kiai Wahab sekaligus penulis buku terlawas tentang sejarah hidup Mbah Kiai Wahab. Buku yang menggunakan huruf pegon itu berjudul:

“سجارة فرجواغن كياهي حج عبد الوهاب”.

Nilai lebih dari karya Kiai Abdul Chalim adalah sebelum dicetak, disowankan ke Mbah Kiai Wahab dahulu. Tentu tujuannya untuk izin dan proses tashih sehingga lebih akurat.

Dengan begitu, tidak heran kalau buku sejarah Tambakberas banyak merujuk kisah dari buku tersebut karena otoritatif penulisnya. Semisal hitungan tahun kelahiran Mbah Kiai Wahab yang kami pilih adalah tahun 1886 dengan berdasar analisis atas narasi kisah dari buku Kiai Abdul Chalim.

***
Saya dan istri sowan sore kemarin ke putra Kiai Abdul Chalim, yakni Kiai Asep pada jam 4 sore setelah pada pagi harinya dari Mbah Hamim Abror Nganjuk.

Di pondok Kiai Asep, kami bertemu dengan ketua ISNU Jatim, Prof. Said Mas’ud. Selanjutnya diajak keliling oleh kiai visoner ini ke beberapa lokasi untuk melihat pabrik elpiji, perusahaan air minum dan unit-unit usaha lain ini milik pesantren.

Tidak ketinggalan, kami ditunjukkan tiga gedung klinik dengan jumlah 20 dokter yang dulunya lulusan pesantren Amanatul Ummah yang siap untuk mengobati santri bila sakit.

Kiai Asep juga bercita-cita membangun kampus internasional yang lahannya sudah disediakan seluas 60 hektar sebagaimana ditunjukkan ke kami hamparan luas tanah berkontur naik turun ala Pacet. Sebelumnya telah berdiri bangunan pesantren, sekolah dan kampus seluas 50 hektar.

****

Bagi Kiai Asep, hal yang berkesan dari kisah abahnya adalah bagaimana Mbah Kiai Wahab berjuang total, kalau sudah “njegur” Mbah Wahab sepenuh hati dan sepenuh harta, terbukti beliau menjual kekayaannya seperti rumahnya yang di Surabaya untuk perjuangannya. Hal ini juga ditiru KH. Abdul Chalim yang total berjuang untuk mendirikan NU. Beliau rela riyadloh jalan kaki 14 hari dari Majalengka menuju Surabaya yang 11 harinya hanya makan kunir atau kunyit demi menemui Mbah Kiai Wahab untuk melanjutkan rencana perjuangan yang dahulu pernah digodok di Makkah oleh beliau berdua untuk memajukan kaum musilimin di tanah air.

Tidak hanya masalah totalitas, Kiai Asep juga sangat terkesan dan terngiang dengan kisah di bawah ini. Syahdan, setelah Indonesia merdeka, sisa dari sekitar 60 kiai para pendiri NU yang masih hidup berkumpul (jumlah yang berkumpul tidak diketahui pasti karena dari 60 itu sudah beberapa yang wafat). Lalu Mbah Kiai Wahab berkata kepada para kiai yang hadir bahwa para kiai semuanya sudah mengurusi santri dengan mengelola pesantren kecuali KH. Abdul Chalim. Lalu Kiai Abdul Chalim berkata, “Anak saya nanti yang akan mempunyai pesantren besar.” Ucapan itu diamini oleh Mbah Kiai Wahab.

Dawuh Kiai Chalim dan aminnya Mbah Kiai Wahab itu selanjutnya menyebar di kalangan keturunan KH. Abdul Chalim yang anaknya seluruhnya 21 dengan jumlah 9 yang bisa sampai dewasa, dan KH. Asep adalah yang bungsu.

Maka di saat KH. Abdul Chalim wafat pada tahun 1972 (setahun setelah Mbah Kiai Wahab wafat) anak-cucunya kadang mendiskusikan, bahkan ada yang meragukan terbuktinya ucapan Kiai Abdul Chalim itu. Namun ternyata si bungsu atau Kiai Asep yang mendapat “pulung” dengan terbukti beliau mampu merintis dari nol mendirikan pesantren di daerah terpencil yang untuk memperolehnya perlu istikharah lima tahun dengan permohonan agar diberi tanah walau kecil jalannya tidak apa-apa yang penting ada listriknya dan ada sungainya mengalir yang nantinya bisa dibuat pesantren. Selang lima tahun beliau mendapat tanah satu hektar di lokasi yang saat ini berdiri pondok, tapi membelinya harus dilakukan secara mengangsur setahun lebih.

Ada sisi lain yang mungkin tidak disangka bila dikaitkan konteks politik lokal dan nasional dimana Kiai Asep sebenarnya sangat diuntungkan. Namun ternyata lain. Kiai Asep bercerita kepada kami bahwa membangun pesantren yang besar tersebut tidak mau dibantu pemerintah karena ada rahasianya. Baginya tidak adil di saat banyak pesantren kecil membutuhkan bantuan lalu Kiai Asep mau menerima bantuan. Selain tidak adil juga tidak barokah karena pondok kecil bisa mempergunjingkan bila pesantren Kiai Asep dibantu.

Bagi KH. Asep, mengelola pesantren yang bagus adalah bila pikiran bisa lepas untuk mengembangkan dan tidak tergantung. Di sini kata kuncinya adalah manajemen yang bagus. Sekalipun demikian, bagi KH. Asep, besarnya pesantren tentu banyak karunia Allah yang melimpah kepadanya. Beliau mencontohkan tanah orang yang ada pohon durennya, saat sebelum dibeli Kiai Asep, tidak berbuah, tapi setelah dibeli, tidak butuh waktu lama berbuah. Demikian pula sawah yang padinya hasilnya sedikit, tapi saat dibeli Kiai Asep dan dikerjakan oleh pekerja yang sama, ternyata hasilnya melimpah. Pesan terakhir Kiai Asep, kita penting istiqomah mengaji dan memperbanyak sedekah.

Demikian kisah Kiai Abdul Chalim Jalan Kaki 14 Hari dari Majalengka Menuju Surabaya Jelang Berdirinya NU, semoga bermanfaat.

13 Juli 2020.

Penulis: Dr KH Ainur Rofiq Al Amin, Pesantren Tambakberas Jombang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *