Kharisma Abuya Muhtadi Banten Luar Biasa: Kesaksian Santri

abuya muhtadi banten

Abuya Muhtadi bin Abuya Dimyathi, adalah putra dari guru kami (saya & suami Mujibur Rachman Ma’mun). Sebagai seorang yang pernah tinggal di sana beberapa tahun, tentu kami sangatlah mengenal beliau dan kami mengenal beliau sebagai seorang ahli Qur’an (al-hafidz), ahli ilmu, ahli dzikir & ahli ibadah.

Sedikit cerita tentang keluarga Abuya Dimyathi, kedua putra beliau yang sejak kecil diajak serta mesantren di beberapa pesantren bersama beliau (Abuya Dimyathi walaupun sudah berkeluarga & punya putra masih tetap melanjutkan mesantren) bahkan diajak berpuasa (puasa dahr) pula saat itu bersama beliau adalah, putra sulung beliau, Abuya Muhtadi & putra kedua, Abuya Murtadho. (saya dapatkan cerita ini langsung dari isteri beliau Ibu Nyai Dalalah).

Seluruh putra putri Abuya Dimyathi adalah penghafal al Qur’an sejak kecil, dan bagaimana seluruh putra putri beliau tidak tabahur ilmunya, karena sejak kecil di setiap beliau mengaji kitab apapun pada santri-santrinya, seluruh putranya yang berjumlah 8 orang (6 putra & 2 putri) itupun WAJIB mengikuti pengajian kitab tersebut, demikian pula Ibu Nyai Dalalah, istri beliau.

Semua santri di Cidahu mengetahui, bahwa beliau akan marah besar jika ditemukan salah satu putranya tidak ikut mengaji kitab atau tidak mengikuti sholat berjamaah atau tidak mengikuti marhaban pada malam Jum’at bersama beliau.

Kedisiplinan seperti itu diterapkan dengan serius pada seluruh putra putri beliau, tapi tidak pada santri-santrinya, namun dengan demikian secara otomatis kami santri-santri beliaupun tentu akan malu & segan jika tidak mengikuti kedisiplinan tersebut.

mbah dim banten dan keluarga
mbah dim banten dan keluarga

Abuya Dimyathi menyediakan waktu tersendiri setiap Selasa & Kamis untuk talaqqi deresan al Qur’an bagi istri beliau (ibu nyai Dalalah) dan kedua putri beliau, yang bertempat di lantai 2 (pondok putri), disediakan kamar kosong di sebelah tempat mukim anak santri untuk aktivitas itu.  Kamar tersebut jika malam Romadhon tiba dijadikan tempat qiyamul lail beliau dengan sholat tarawih 1 hataman Qur’an. Sehingga beberapa santri-santri putri biasanya jika bulan Romadhon tiba akan membeli derigen yang di isi air untuk tabarukan khotmil Qur’an beliau di setiap malam Romadhon tersebut.

Biasanya beliau akan naik ke kamar tersebut setiap bakda sholat isya’ dan akan turun saat menjelang sahur.

Tentang putra sulung beliau Abuya Muhtadi, teringat cerita kakak saya (KHM. Marzuqi Amin). Suatu saat, terbersit dalam benaknya, kenapa yah ulama sepuh seperti beliau tidak fokus ngaji saja di pondok beliau, tidak lebih konsen saja ngrumati pondok pesantren beliau, kenapa beliau malah seringkali menghadiri acara-acara di luar, bahkan beliau kerap hadir di beberapa acara pemerintah.. dst dst.

Dan saat malamnya, kakak saya bermimpi, dalam mimpi dia merasa tengah sowan ke PP Roudhotul ulum Cidahu Pandeglang, saat menunggu masuk sowan ke majlis ta’lim abuya, dia melihat mobil salah seorang tamu mogok, kakak saya lalu mendekati mobil tersebut yang ternyata di bawah mobil itu sudah ada seseorang yang tengah memperbaiki mesin mobil itu. Kakak saya lalu menunggu di samping mobil untuk mengetahui apa yang tengah terjadi dengan mobil tersebut sekaligus ingin bertanya apakah Abuya Muhtadi saat itu ada di rumah.

Tak berapa lama orang yg berada dibawah mobil itu keluar, terlihat oli belepotan memenuhi tangan, muka dan bajunya. Yang membuat kakak saya tertegun kaget, ternyata orang yang tengah sibuk memperbaiki mobil rusak tersebut adalah orang yang saat itu mau dia sowani, yakni Sbuya Muhtadi. Seketika itu juga kakak saya terbangun dari tidurnya.

Setelah bangun dari tidur, kakak saya terpekur lamaaaa, menyesal tak terhingga sebab selama ini telah menyimpan prasangka buruk terhadap beliau. Menurut kakak saya, mimpi tersebut merupakan jawaban dari suudzonnya pada beliau, bahwa ternyata apa yang dilakukan beliau selama ini adalah merupakan sebuah ikhtiar untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi di negeri ini, sampai beliau rela bersusah payah, turun dari gunung atau singgasana beliau selama ini. Beliau sama sekali tak perduli akan serbuan caci maki, fitnah & cercaan yang dilontarkan kepadanya.

Bagaimana bisa dikatakan beliau tidak menghormati Rosulullah (shollallahu ‘alaihi wasallam) wa aalih, padahal dari sedikit bukti, di setiap saat sirah Rosulullah dibacakan dalam marhaban, pandangan mata beliau terlihat tertunduk ta’dzim tak bergeming sedikitpun. Dengan posisi tubuh tak berubah sedikitpun sejak mulai acara hingga selesai, padahal pembacaan sirah Nabi tersebut dibacakan berjam-jam lamanya dengan kondisi usia beliau yang sudah sepuh, kadang setelah menempuh perjalanan jauh tanap istirahat.

abuya muhtadi

Bagaimana bisa beliau dituduh menghina Rosulullah wa aalih sedangkan dalam keseharian bertahun-tahun lamanya beliau demikian tekun mengkaji, menyebarkan bahkan mencontohkan ajaran Rosulullah dihadapan santri-santri beliau & di tengah masyarakat luas.

Bagaimana bisa beliau dituduh ulama bayaran pemerintah, sedangkan tercermin dalam keseharian hidup beliau dalam kesederhaan sebagai seorang mursyid thoriqoh & ahli kebaikan.

Sy mengenal keseharian beliau bertahun-tahun lamanya, saya mengenal lingkungan, orang tua & keluarga beliaupun bertahun-tahun lamanya saat saya bersama beliau-beliau, karena itu saya lebih percaya pada hati saya daripada mata saya sekarang, yang melihat tulisan-tulisan yang berisikan tebaran fitnah pada beliau atau telinga saya sekarang, saat mendengar tuduhan keji yang ditujukan pada beliau.

Allahuma ya Allaaah ya Allaaah ya Allaaah, selamet selamet selamet, seluruh negeri ini & penduduknya dari segala hal yang tidak baik… amin.

Penulis: Royannach Ahal, Kajen Pati, santri Mbah Dim Banten.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *