Blitar, 8 Agustus 1945, menjelang hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, lahir seorang anak laki-laki dari pasangan KH. Ahmad Tamami dan Nyai Hj. Siti Hasanah. Dialah Sofwan Helmy, putra kedua dari 12 bersaudara. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga Nahdliyin, karena ayahnya, KH. Ahmad Tamami adalah pengurus Syuriah PCNU Blitar. Sejak usia remaja, Sofwan sudah aktif di organisasian NU. Tahun 1965-an, semasa belajar di Madrasah Tsanawiyah, ia sudah menjadi Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Cabang Blitar.
Selain menjadi ketua IPNU, ia juga aktif menjadi Ketua Kesatuan Aksi Pelajar Putra Indonesia (KAPPI) Blitar. Bakat seorang organisator muncul ketika ia dipercaya menjadi Ketua GP Ansor Blitar tahun 1970-an. Sofwan Helmi masih muda, tapi sudah dikenal sebagai sosok yang punya keperibadian sederhana dan memiliki semangat juang yang tinggi untuk NU. Setelah lulus Sarjana Muda dari IAIN Tulungagung, beliau merintis lembaga pendidikan Madrasah Diniyyah di kampung halamannya. Jiwa mengabdi kepada Madrasah telah mengalahkan kesempatannya untuk menjadi pegawai negeri sipil saat itu.
Tahun 1974 Kiai Sofwan menikahi Nyai Hj Irchami dan kemudian hijrah ke Yogyakarta. Beliau berjumpa dengan saudara sepupunya, Kiai Saiful Mujab. Masa awal di Kota Pelajar, kehidupan Kiai Sofwan masih berpindah-pindah. Beliau mulai merintis usaha kecil hingga akhirnya pada tahun 1977 mendirikan sebuah perusahaan konstruksi. Selain menekuni usahanya itu, Kiai Sofwan juga sering diminta menggantikan Kiai Mujab, yang saat itu menjadi Ketua Tanfidiyah PWNU DIY, untuk mengisi ceramah di masjid-masjid. Sejak saat itulah, Kiai Sofwan mulai aktif terlibat dalam kegiatan PWNU DIY bersama saudara sepupunya.
Tahun 1980, Kiai Sofwan diangkat menjadi Wakil Ketua PCNU Kota Yogyakarta, mendampingi KH Arifin. Setelah 5 tahun menjadi Wakil Ketua, di periode berikutnya Kiai Sofwan terpilih menjadi Ketua menggantikan KH Arifin. Ketika menjadi Ketua PCNU Kota Yogyakarta, beliau membeli sebidang tanah di daerah Gedongkuning. Di situlah beliau mendirikan rumah yang ditempati bersama keluarganya. Kiai Sofwan juga mendirian sebuah masjid kecil dan sederhana. Masjid Al-Huda di Gedongkuning, Rejowinangun, Kotagede itulah saksi sejarah tentang kiprah Kiai Sofwan dalam berjuang melayani dan merawat umat. Sekarang, Masjid Al-Huda sudah memiliki lembaga pendidikan untuk anak usia dini, yakni RA Al-Huda.
Beliau punya keinginan untuk membeli tanah lagi dan diwakafkan untuk perluasan masjid dan ingin membangun kantor PCNU Kota Yogyakarta di komplek masjid. Niat mulia tentu saja tidak selalu berjalan mulus. Banyak hambatan yang beliau hadapi, termasuk beberapa kali ditipu oleh partner bisnisnya. Tahun 1988, Kiai Sofwan bersama istrinya menunaikan ibadah haji di Makkah. Saat beribadah di Tanah Suci inilah beliau berdoa kepada Allah SWT agar bisa membeli tanah dan diwakafkan untuk perluasan masjid. Akhirnya, perluasan dan pembangunan Masjid Al-Huda itu benar-benar terwujud. Bahkan, Kiai Sofwan bisa membangun kantor PCNU Kota Yogyakarta di komplek masjid tersebut.
Menjadi Ketua PWNU DIY
Dua tahun berlalu dan sejak saat itu, Kiai Sofwan terpilih sebagai Ketua Tanfidiyah PWNU DIY dua periode, yakni tahun 1987-1991 dan 1992-1996. Di bawah kepemimpinan Kiai Sofwan, NU di Yogyakarta berkembang. Di masa ini, Kiai Sofwan pernah ditawari menjadi anggota DPR RI. Namun, beliau lebih memilih berjuang untuk NU dan bekerja layaknya seorang masyarakat biasa untuk menghidupi keluarga. Pilihan menjadi warga biasa ini bukan tanpa alasan.
Dalam istikharahnya, ia bermimpi berada di sebuah ruangan yang di dalamnya hanya ada lampu yang menyala redup. Di sekitarnya ia lihat banyak orang yang menari dan saling menginjak-injak antar sesama. Petunjuk inilah yang semakin memperteguh keyakinan beliau di dalam menapaki jalan perjuangan untuk NU. Bermain di panggung politik sarat dengan intrik dan manipulatif. Bahkan, dalam rimba raya politik itu, hanya menyediakan tempat bagi mereka yang kuat.
Raja rimba yang kuat itu bukan untuk melindungi kawanan yang lemah, tetapi untuk menyakiti dan mencengkram yang lemah, sebagaimana tafsiran mimpi beliau. Dari sinilah kita melihat jiwa Nahdliyin, kesederhanaan dan kedermawanan Kiai Sofwan Helmy tak bisa diragukan lagi. Menjadi tepat jika salah satu karib beliau pernah mengatakan bahwa Kiai Sofwan Helmy itu NU-nya 24 karat.
Di usia 62 atau tepatnya tanggal 16 Desember 2007 silam Kiai Sofwan kembali kepangkuan sang Pencipta. Rasa kehilangan yang mendalam tak hanya dialami oleh keluarga, kaum Nahdliyin di Yogyakarta, tetapi juga seluruh warga sekitar yang pernah merasakan kebaikan-kebaikan beliau. Kita ta’dzim kepada Kiai Sofwan. Perjuangan beliau dalam melayani dan merawat umat serta kipribadian yang penuh kebersahajaan harus menjadi tauladan bagi kita yang ditinggalkan. (yayan / joko wahyono)