KH Muh Asnawi Sleman, Sosok Pecinta Ilmu Sepanjang Hayat.
Tepat hari Senin, 22 Juni 2020 bertepatan dengan 1 Zulqa’dah 1441 H jam 22.00, ayah kami H Muhammad Asnawi dipanggil Allah Swt. Tentu kami merasa sangat kehilangan yang luar biasa dengan meninggalnya beliau, setelah meninggalnya ibu kami, Fatfuyanah, 14 tahun sebelumnya.
Terlampau banyak cerita yang ada pada beliau, tapi satu yang bisa kami catat dengan huruf tebal: Ayah adalah sosok pecinta ilmu sepanjang hayatnya. Kalau beliau memiliki koleksi kitab (baik kitab kuning maupun pegon), itu hanya indikasi kecil yang bisa dikenal oleh putra-putri dan cucunya.
Beliau lahir di Jamus, Ngluwar, Magelang sekitar 80 tahun lalu dari pasangan ayah Abdur Rasyid dan Mariyah. Sang Ibu meninggal saat beliau masih kecil, sehingga sejak kecil harus berjuang untuk kehidupannya. Banyak cerita yang sering beliau sampaikan mengenai berbagai beban untuk berjuang menempuh sekolah SR dan menjadi santri di sebuah pesantren di daerah Salam Magelang. Di Pesantren ini beliau belajar sebagai santri sebelum kemudian berlanjut di beberapa pesantren lain seperti di Pati dan Beringin, Salatiga.
Setelah menikah dengan ibu kami, sejarah kecintaan beliau kepada ilmu dilakukan dengan secara rutin membaca Shahih Bukhari kepada beberapa orang di kampung atas permintaan mereka. Cerita ini sudah sangat lama beliau sampaikan, sehingga kami tidak ingat persis bagaimana dan kenapa kajian Shahih Bukhari ini dilakukan. Tapi beliau menceritakan ini menjadi bagian tak terlupakan dalam sejarah awal beliau mengabdi di kampung setelah pernikahan.
Pengabdian monumental beliau dalam keilmuan di antaranya terlihat dari sejarah beliau menjadikan rumah kami menjadi semacam “pesantren” dengan ratusan “santri” baik yang tinggal maupun belajar secara “ngalong” kepada ayah. Melalui lembaga M3H (Majelis Masyair Miftahul Huda), beliau melaksanakan pembelajaran ala pesantren, dan sempat mengadakan semacam haflah beberapa kali. Terakhir haflah besar yang kami ingat adalah menjelang tahun 1980 an dengan mengundang KH Yasin Yusuf dari Blitar. Seiring perjalanan, M3H mengalami pergeseran ke arah majelis ta’lim untuk kalangan masyarakat berusia dewasa hingga sepuh.
Sampai sebelum sakit, beliau mempunyai kegiatan di rumah untuk mengajar berbagai kitab kepada beberapa kalangan. Untuk kalangan tertentu, beliau mengajarkan kitab kuning (biasanya tafsir dan fiqh), kepada golongan yang lain yang sepuh beliau mengajarkan kitab-kitab pegon. Kepada ibu-ibu, diajarkan masail al-nisa. Di antara yang beliau ajarkan kepada kalangan sepuh adalah mengkaji Al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil karya KH Misbah Mustafa. Kami sering kali mengantar ayah untuk “belanja” berbagai kitab di seputar Masjid Agung Magelang. Ketika kitab-kitab sulit dibeli karena keterbatasan barang, beliau sering memfotokopikan untuk menjadi pegangan para “santri”. Luar biasanya, berapapun jumlah yang dating untuk mengaji beliau layani dengan sepenuh hati.
Aktivitas keilmuan ayah secara intelektual dengan ikut mengawali lahirnya lembaga bahtsul masail di Sleman Barat yang dikenal dengan Mustawa, kependekan dari Musyawarah Santri Tahkimul Waqai’ yang diadakan secara rutin selapan sekali dengan rangkaian kegiatan mujahadah, membaca kitab dan membahas persoalan-persoalan waqiiyyah yang disampaikan oleh masyarakat. Kegiatan ini dihadiri oleh para kiai dan santri yang tinggal di daerah Sleman Barat.
Ayah yang juga aktif sejak masih awal di Pesantren Al-Mujahadah Lempuyangan “terpaksa” harus menggantikan KH Ahmad Dardiri dalam kajian mingguan sepeninggal beliau. Ayah bercerita, beliau mengabdi di Pesantren ini nyaris selama 25 tahun, dan kami sebagai putra-putranya yang terkadang mengantar dan menjemput beliau pada masa-masa pengabdian di belakang hari. Sebelumnya, beliau harus berangkat dan pulang dengan berbagai cara, kadang naik angkutan umum, kadang diantarkan dan seterusnya. Saat bepergian di wilayah yang terjangkau untuk beberapa jam, beliau pun harus segera pulang mengingat harus mengimami shalat di masjid depan rumah kami.
Tentu saja, ayah juga mengabdi di kampung-kampung untuk mengisi pengajian rutin di beberapa kampung di daerah Seyegan dan sekitarnya. Ini di antara yang membuat rumah kami menjadi sangat ramai setiap lebaran, sampai berhari-hari, dengan kedatangan jamaah pengajian dari kampung-kampung tempat beliau mengabdikan diri. Sejak 20 tahunan terakhir beliau juga membuat lapanan mujahadah di rumah yang dilaksanakan setiap malam Senin Wage, dengan peserta awalnya ratusan orang.
Sayang sekali, kami tidak sempat mendokumentasikan aktivitas beliau hingga beliau jatuh sakit. Beberapa yang sempat kami dokumentasikan adalah catatan-catatan penting beliau yang seringkali dituliskan menggunakan kapur di pintu kamar dan pintu almari, yang bukan menjadi dokumentasi pribadi tentunya, tapi menjadi dokumentasi keluarga. Sebelum sakit, beliau sempat minta kami mengantar ke beberapa tempat untuk menemui dzurriyyah orang-orang yang beliau anggap berjasa, seperti di daerah Magelang, Trangkil Pati dan pesanten di daerah Poncol Salatiga. Terakhir kali yang beliau lakukan adalah melaksanakan keinginan yang sudah sangat lama, yaitu mengumpulkan balung pisah, mengadakan pertemuan trah Bani Ahmad Darso 3 tahun lalu.
Akhirnya, dengan meninggalnya beliau kami memohonkan maaf kepada siapapun atas segala kesalahan dan kehilafan beliau. Terimakasih atas doa kepergian ayah kami menghadap kepada Allah SWT. Allahummaghfir lahu, warhamhu, wa’afihi, wa’afu ‘anhu, waj’alhu min ahlil Jannah.
Demikian kisah KH Muh Asnawi Sleman, Sosok Pecinta Ilmu Sepanjang Hayat, semoga bermanfaat.
Penulis: Dr KH Ahmad Baidowi, putra KH Muh Asnawi dan dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.