KH As’ad Syamsul Arifin, Tuan Rumah Muktamar NU 1984

kiai as'ad bertemu suharto 2

Dari sekian fragmen sejarah santri, nama KH As’ad Syamsul Arifin tak bisa dilupakan. Walaupun berada di pelosok timur Jawa, Situbondo, juga kesehariannya dalam mengasuh sebuah pesantren, jiwa Kiai As’ad begitu teguh dalam menjaga Indonesia. Ia bukan kiai yang hanya duduk di kursi ngaji, tetapi kiai yang sangat serius dalam memikirkan masa depan bangsanya. Kesehariannya memang mengajar santri, tetapi jiwa kebangsaannya terus terpanggil untuk selalu hadir memberikan sumbangan yang terbaik bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tahun 2016, Kiai As’ad mendapatkan anugerah sebagai Pahlawan Nasional.

Kiai As’ad tidak lahir di Indonesia, tetapi di perkampungan Syi’ib Ali, Mekkah, tahun 1897. Walaupun begitu, karena hidup di alam Indonesia, Kiai As’ad sangat cinta terhadap Indonesia, apalagi leluhurnya adalah para kiai Nusantara. Garis keturunannya bertemu dengan Sunan Ampel Surabaya, salah satu wali songo yang menyebarkan Islam di Nusantara. Ayahnya bernama KH Syamsul Arifin (KH. R. Ibrahim), sedangkan ibunya bernama Siti Maimunah. Selain belajar di Mekah, Kiai As’ad juga berkelana di berbagai pesantren di Jawa, khususnya di bawah asuhan KH. Kholil Bangkalan dan KH Hasyim Asy’ari Jombang. Dari para gurunya, Kiai As’ad mendapatkan ruh perjuangan dan ketulusan untuk mengabdi kepada Indonesia.

Bacaan Lainnya

Kiai As’ad adalah santri yang patuh, sehingga menjadi penghubung antara Syaikhona Kholil Bangkalan dan Kiai Hasyim Asy’ari. Dialah yang membawa tasbih dan tongkat dari Syaikhona Kholil, sehingga diterima sampai Tebuireng. Tak salahpada tahun 1984, Kiai As’ad menjadi tuan rumah Muktamar NU.

Jasa-jasanya sangat besar, tetapi ia tak mau duduk dalam kursi kekuasaan. Ia tetap konsisten dalam jalur hidupnya: mengajar santri di pesantren.

Menjaga Pancasila

Di awal orde baru, perdebatan ihwal asas tunggal bernama Pancasila menguras energi sangat besar bagi umat Islam Indonesia. Kebekuan antara kelompok Islam dan negara berlanjut tanpa solusi yang jelas. Semua saling mengklaim paling benar, titik temu sulit didapatkan. Di sinilah, spirit santri dalam jiwa Kiai As’ad yang didapatkan dari guru-gurunya di pesantren berperan sangat penting. Awal tahun 1980-an, Kiai As’ad mencairkan kebekuan itu semua. Tangan dinginnya mampu menjadi titik temu antara kelompok Islam dan negara, sehingga semua saling bersama-sama untuk merajut persaudaraan demi Indonesia tercinta.

Menurut KH Fathurrozi (2016), salah satu warisan KH As’ad Syamsul Arifin yang monumental adalah penerimaannya terhadap asas tunggal Pancasila. Padahal waktu itu banyak sekali ulama yang menolak asas Islam digantikan dengan asas Pancasila. Sedangkan rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto terus memaksakan agar asas tunggal Pancasila dalam berpartai dan organisasi sosial kemasyarakatan. Kiai As’ad berinisiatif mencairkan ketegangan itu dengan menemui Soeharto. Karena asas Pancasila itu kan urusan bernegara, di akhirat tetap Islam.

Masduki Baidlowi (2016) melihat bahwa niat Soeharto menerapkan asas tunggal Pancasila tak lepas dari kondisi pada era sebelumnya. Soeharto berkesimpulan, salah satu sebab utama mengapa Orde Lama tidak bisa membangun untuk menyejahterakan rakyat tak lain adalah cekcok antarpartai politik yang berlatar belakang ideologi.

Masduki menilai, pertemuan Soeharto dengan Kiai As’ad didasari sebuah kepentingan saling membutuhkan. Soeharto perlu figur untuk menjembatani tersampaikannya konsep yang dia buat kepada ulama-ulama dan aktivis Islam, butuh pintu untuk menggelindingkan asas tunggal supaya dapat diterima. Sedangkan As’ad tak ingin umat bentrok dengan pemerintah. Di situlah Kiai As’ad jadi jembatan penghubung strategis.

Kiai As’ad melihat bahwa Islam wajib menerima Pancasila, dan haram hukumnya bila menolak. Sila pertama itu selaras dengan doktrin tauhid, qul huwa Allahu ahad. Penafsiran Pancasila pun harus dikaitkan dengan pembukaan UUD 1945 alinea ketiga: Atas berkat rahmat Allah yang Mahakuasa. Karena itu, menurut As’ad, kita sebaiknya tidak memisahkan keyakinan tauhid umat Islam dengan pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.

Bagi Kiai As’ad, Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam. Namun, kalau masyarakat menjalankan nilai-nilai syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka, hal ini menjadi idaman bagi setiap muslim. Karena itu, bagi Kiai As’ad, Pancasila bisa menjadi potret Piagam Madinah di zaman modern ini. Insya Allah akan ditiru oleh negara-negara lain.

Ijtihad politik Kiai As’ad ini menjadi monumen sejarah yang sangat besar. Pancasila yang menjadi perdebatan sejak sebelum kemerdekaan, awal kemerdekaan, di dalam sidang Majlis Konstituante, dan awal pemerintahan orde baru, akhirnya menjadi “titik temu” yang bisa diterima semua kalangan, khususnya umat Islam. Ijtihad Kiai As’ad bersama para kiai besar saat itu (KH Masykur, KH Ali Maksum, dan KH Mahrus Aly) menjadi keputusan Munas Alim Ulama’ NU di Situbondo pada 21 Desember 1983 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo, yang tak lain adalah pesantren Kiai As’ad sendiri.

Keputusan Munas Alim Ulama’ tahun 1982 inilah yang menjadi referensi utama umat Islam dalam menerima Pancasila. Peran Kiai As’ad sangat besar, bukan hanya ide, gagasan saja. Ia juga menjadi tuan rumah yang memberikan pelayanan istimewa bagi para ulama’ untuk meneguhkan perannya dalam membangun bangsa dan negara.

Masa Depan NKRI 

Prof. Nur Syam (2016) menegaskan bahwa Kiai As’ad memiliki sumbangan sangat siginifikan dalam menegaskan Pancasila sebagai dasar negara, serta menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan berorganisasi. Ini contoh luar biasa, dimana kiai yang seringkali disebut sebagai kiai tradisional ternyata memiliki jiwa dan semangat kebangsaan yang tidak ada taranya. Selain itu, sumbangan besar Kiai As’ad adalah Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo yang didirikannya. Melalui lembaga ini, ribuan santri dan anak bangsa mengenyam pendidikan hingga menjadi tokoh, baik di lingkungannya bahkan level nasional. Para santrinya, tidak hanya dari Jawa, tetapi juga dari berbagai daerah di Nusantara.

Kaderisasi santri di pesantren, baik di pesantren Kiai As’ad dan berbagai pesantren di Nusantara, menjadi aset utama bagi masa depan NKRI. Penilaian Prof Nur Syam tersebut berangkat dari sebuah kesadaran sejarah bahwa gerak langkah santri tak pernah surut dalam membela dan menjaga NKRI. Sejak sebelum kemerdekaan, peran santri sangat nyata dan terasa. Bahkan di masa penjajahan, Kiai As’ad berjuang melawan penjajah bersama para santri dan masyarakat. Para santri tidak pernah menghitung apapun yang diberikan untuk NKRI, semua dijalani dengan penuh perjuangan dan ketulusan. Itulah yang memang diajarkan para kiai di pesantren.

Jangan sampai NKRI ini dibajak, karena santri akan selalu berada di barisan terdepan. Kiai As’ad menjadi salah satu ilham perjuangan kaum santri untuk terus berinovasi dalam menjaga NKRI, apalagi di tengah kecamuk teknologi informasi yang makin canggih sekarang. Spirit santri akan selalu lestari, karena dibarengi dengan ketulusan hati nurani. (Muhammadun)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *