Ketika Mubarok Food Membungkus Spirit Sunan Kudus

Ketika Mubarok Food Membungkus Spirit Sunan Kudus

Ketika Mubarok Food Membungkus Spirit Sunan Kudus.

Setiap bulan puasa tiba, saya selalu menikmati mobilitas yang sangat dinamis selama 30 hari menjalani Ramadhan. Usai sahur saya kerap buru-buru berangkat ke sejumlah masjid yang jauh dari rumah untuk berceramah Subuh dan nanti siang saya berceramah Zuhur di masjid lain. Paling rutin tentu ceramah sebelum atau sesudah salat tarawih. Saya bahkan harus berterima kasih kepada Radio Republik Indonesia (RRI), yang sejak 2004 hingga 2018 konsisten menjadikan saya narasumber tetap acara jelang buka puasa. Tak terasa, selama 15 tahun saya mengudara di RRI setiap Ramadan dengan penyiar setia Faozan Pamungkas.

Kini, wabah Covid-19 tak hanya mengubah dinamika Ramadan, tapi bahkan mengubah dunia. Ketika salat berjamaah termasuk tarawih ditiadakan, jadwal ceramah tatap muka pun banyak dibatalkan. Tentu saja saya senang karena dengan demikian, oleh Allah saya akan disuguhi dinamika lain yang sama sekali berbeda selama Ramadan kali ini. Jika di tahun-tahun berlalu saya berceramah dengan tatap muka langsung, kini saya diminta berceramah secara online. Daya jangkau saya jadi lebih luas. Pihak Kedubes AS di Jakarta, misalnya, telah meminta saya berceramah dalam Bahasa Inggris dengan audiens dari Indonesia dan dari Negeri Paman Sam. ‘’Ok, I’ll make it insya Allah,’’ jawab saya dengan senang.

Dari semuanya, hal yang membuat saya gembira justru tekad saya. Saya diam-diam bertekad saat ‘’di rumah saja’’ selama Ramadhan ini, saya akan mendengarkan ceramah orang lain entah di TV, radio, atau video yang beredar di media sosial. Saya ingin mengisi baterai wawasan berpikir saya. Berbahaya jika hanya berceramah tanpa mendengarkan ceramah orang lain, bukankah manusia berbatas dan hanya Allah yang tak terbatas?

Tekad saya ternyata dijawab Allah SWT secara kontan. Dua hari menjelang Ramadhan, saya mendapat pelajaran sangat berharga justru dari ‘’ceramah’’ kawan saya yang tertimpa musibah. Istri kawan saya itu sakit, kakinya patah usai berbelanja barang dagangan. Saya terpanggil untuk menjenguknya sekaligus menghibur kawan saya sesama alumni Gontor ini. Di hari itu saya juga dititipi ‘’oleh-oleh finansial’’ dari seorang kawan kami yang baik hati, yang tak mau disebut namanya, untuk saya berikan kepadanya. Nama kedua kawan saya ini tak mungkin saya sebut di sini. Atas izin kawan saya yang saya jenguk itu, cerita ini saya tulis sebagai taushiyyah pertama di bulan Ramadhan.

Apa isi ‘’ceramah’’ kawan saya yang istrinya sedang ditimpa musibah itu? Ketegaran dan sikap tawakkal tanpa batas! Itulah pesan batin yang disampaikan kawan saya ketika saya datang ke rumahnya.

Rupanya, kawan saya satu periode di Gontor ini mengalami ujian hidup luar biasa. Rumah besarnya yang dulu pernah saya kunjungi sudah terjual. Tapi ia tertipu saat membeli tanah pengganti. Sisa uangnya dijadikan modal berbisnis, tapi amblas di tengah jalan. Ia kemudian jatuh-bangun mengais hidup, berusaha menjadi penyintas yang andal, sampai pada akhirnya berhenti di titik nadir. Dia benar-benar tak punya duit lagi dan tak punya rumah lagi. Dengan mata berkaca-kaca dan suara lirih akhirnya dia berkata dengan logat Betawi yang sangat kental:

‘’Semua abis dah. Untung masih ada sisa duit dari Helmi Vonda. Eni dah benteng terakhir ane buat dagang,’’ kata kawan saya itu dengan suara lirih.

Saya tentu terhenyak. Helmi Vonda yang dia maksud adalah Muhammad Hilmy, direktur utama PT Mubarokfood Cipta Delicia, produsen jenang Kudus dengan merek ‘’Mubarok’’ yang terkenal itu. Kami pernah bersama-sama sekolah di Gontor dan tamat 1983. Di Gontor, entah mengapa, Muhammad Hilmy lebih populer dipanggil ‘’Helmi Vonda’’. Sependek memori saya, kawan saya anak Betawi asli ini tidak berteman akrab dengan Helmi Vonda, asli Kudus, Jawa Tengah. Makanya saya bertanya heran: ‘’Kok ada Helmi Vonda segala? Emang dia bantu ente?’’

‘’Ya, dia bantu Rp 30 juta buat usaha dan bayar kebutuhan lain. Ini benteng ane terakhir. Kawan-kawan Gontor bantu menghubungi ane dengan Helmi Vonda,’’ jelas kawan saya.

Sekarang saya paham mengapa ada faktor Helmi Vonda yang tinggal nun jauh di Kudus sana dalam kemelut kawan saya yang tinggal di tanah Betawi ini. Dari sini pula saya seolah mendengar ‘’ceramah’’ yang sangat berdaging, tidak nakut-nakuti audiens dengan hadits dhoif, tidak provokatif asal audiens senang, dari seseorang yang justru tengah jujur dan ikhlas menghadapi ujian dari Allah. Di situ ada kisah tentang ketegaran, keuletan, tawakkal, juga yang tak kalah penting adalah ukhuwwah sesama kawan yang dulu pernah senasib sepenanggungan selama belajar di pesantren.

Tentu saja ini tak akan menjadi episode yang indah jika pemerannya bukan orang setipe Helmi Vonda. Banyak orang dulu satu sekolah lalu jadi pejabat atau pengusaha sukses kemudian seolah lupa dengan kawan sepiring makan sebangku kelas. Saya perlu bercerita sedikit tentang Helmi Vonda agar kisahnya menjadi inspirasi positif buat semua pembaca selain bahwa saya yakin, kisah positif harus disebar ke banyak orang.

Usai berpisah tahun 1983 di Gontor, praktis saya tak pernah sekali pun mampir ke pabrik jenang Kudus merek Mubarok kecuali pada November 2019 lalu. Dari Jakarta saya cuma mendengar nama besar jenang Mubarok berkibar. Saya juga lama sekali tak berjumpa dengan Helmi Vonda, kecuali sekitar 2014 ketika ia sengaja datang ke kampus tempat saya mengajar, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia datang menemui saya cuma tiga menit, sekali lagi cuma tiga menit, hanya untuk mengantar jenang Mubarok langsung ke tangan saya. Tak ada ngopi bareng, tak ada pesan apa pun, kecuali dia hanya berkata: ‘”Sudah, ana ke sini cuma mau antar jenang ini buat antum!’’ – Helmi Vonda kemudian berbalik, lelu lenyap ditelan kemacetan Cipiutat.

Selebihnya saya hanya tahu bahwa kawan saya yang juga menjadi direktur PT Graha Madina Propertindo ini gemar membantu kawan-kawan saya satu angkatan di Gontor. Ia tak segan menyumbang uang untuk acara reuni kami meski ia sendiri tak bisa bergabung. Hanya cerita sekelebatan yang saya dengar tentang Helmi Vonda sampai pada akhirnya, November 2019 itu, ketika kali pertama berkunjung ke pabrik jenang Kudus miliknya, saya ternganga melihat sepak terjang kawan saya yang satu ini. Ternyata dia bukan hanya saudagar sebuah pabrik besar dan terkenal, tapi dengan pabriknya itu dia menjadi duta kebudayaan yang mengusung intelektualisme, multikulturalisme, juga moderasi beragama sekaligus. Bayangkan saja jika lebih dari 10 mobil boks yang dimilikinya, semuanya dia isi dengan corat-coret pesan dan nasihat Sunan Kudus, bukan dengan pesan sponsor murahan!

Simak juga artikel selain Ketika Mubarok Food Membungkus Spirit Sunan Kudus di sini

‘’Apa-apaan ini, dagang kok bawa-bawa Sunan Kudus,’’ piker saya waktu terhenyak melihat jajaran mobil boks berisi corat-coret tentang petuah Sunan Kudus. Saya tiba di pabrik Mubarok Food di Jl. Sunan Muria, Glantengan, Kudus, pukul 02:00 dinihari. Dengan demikian saya bisa leluasa melihat mobil-mobil boks itu diparkir berjajar.

Esoknya saya lebih terperanjat lagi. Di lantai dua kantornya, di atas lantai berubin mewah seluas 1000 meter persegi, bukan dodol-dodol berjajar yang saya lihat melainkan sebuah museum Al-Quran, perpustakaan, juga museum jenang lengkap dengan miniatur Menara Kudus yang terkenal itu. Saya menaksir museum dan galeri kebudayaan itu dibangun dengan dana di atas Rp 20 miliar. Bayangkan saja jika satu mushaf Al-Quran saja, yang berukuran sedang, dia beli dengan harga Rp 40 juta. Padahal di situ ada belasan mushaf, salah satunya mushaf berukuran raksasa.

Saya tak pandai menghitung harga sebuah gedung lengkap dengan asesoris mewahnya, tapi saya harus pandai mengapresiasi paradigma berpikir orang. Dari cara kawan saya menggadang-gadang sikap, filosofi, dan gaya berdakwah Sunan Kudus dalam bisnisnya saja saya tak layak menilainya dengan Rp 100 miliar atau Rp 200 miliar uang. Keberaniannya mempromosikan Sunan Kudus yang saya kagumi dan wawasan berpikirnya tak bisa dinilai dengan uang.

Sunan Kudus adalah satu dari sembilan wali di tanah Jawa. Terlahir pada tahun 1500an dengan nama lengkap Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan, ulama kharismatik ini terkenal sebagai tokoh multikulturalisme dari Kudus. Di samping masjid pesantren yang dipimpinnya dia membangun sebuah menara multikultutal dengan perpaduan arsitektur Hindu-China-Islam yang terkenal sebagai ‘’Menara Kudus’’.

Meski ayahnya berasal dari Al-Quds Palestina, Sunan Kudus tetap berguru dengan khidmat pada ulama Islam terkenal dari Yunnan, Tiongkok, bernama The Ling Sing. Selain dikenal sebagai ahli seni lukis dari Dinasti Sung yang terkenal dengan motif lukisan Dinasti Sung, Kyai Telingsing juga dikenal sebagai pedagang dan mubaligh Islam terkemuka. Setelah datang ke Kudus untuk menyebarkan Islam, ia mendirikan sebuah masjid dan pesantren di kampung Nganguk. Ja’far Thalib atau Sunan Kudus kemudian menjadi salah satu santrinya yang ditunjuk sebagai penggantinya kelak.

Saya tak tahu, ketika isu pribumi dan nonpribumi mencuat selama pilkada DKI Jakarta 2017 dan selama pemilihan presiden 2019 berlangsung, banyakkah generasi saat ini tahu persis bahwa guru Sunan Kudus adalah ulama asal Cina? Apa kira-kira yang bakal terjadi saat ini, ketika isu SARA mudah sekali diledakkan oleh sumbu kompor politik, jika ada seorang ustaz membangun menara masjid dengan menggabungkan arsitektur Hindu-Konghucu-Islam di menara itu seperti yang dilakukan Sunan Kudus?

Toh, Helmi Vonda tak peduli dengan itu. Anggota Dewan Pembina Himpunan Pengusaha Muda (HIPMI) Kudus periode 2019 – 2023 ini terus bergerak dengan idealismenya. Dia yakin, warga Kudus tak cukup hanya dijejali dodol, tapi juga perlu disentuh dengan spirit ajaran dan idealisme seorang wali dengan visi jauh ke masa depan.

Saat berdakwah di tanah Jawa, misalnya, Sunan Kudus sadar betul bahwa mayoritas penduduk saat itu menganut Hindu atau Budha. Sapi adalah binatang suci buat penganut Hindu. Tapi, dengan semangat moderasi beragama dan visi keislaman yang jauh ke depan, sang wali ini justru kerap berceramah membawa seekor sapi dan melarang umat Islam di Kudus berkurban dengan memotong sapi. Sampai sekarang, penjual soto Kudus selalu menyajikan daging kerbau, bukan daging sapi.

Ketika tak banyak orang menaruh perhatian lebih pada pandangan penuh moderasi beragama Sunan Kudus ini, kawan saya Helmi Vonda justru meresapinya. Ia menjalani dengan tekun amanat di pundaknya sebagai Koordinator Bidang Dana BAZNAS Kudus (2019 – 2024) dan anggota dewan Syuro PCNU Kabupaten Kudus (2015 – sekarang), tapi saya tahu persis, dia berkawan akrab dengan para petinggi PP Muhammadiyah. Ini menandakan ia sangat meresapi ajaran Islam yang dianutnya, yang di dalamnya kemanusiaan (basyariyyah) sangat dihormari.

Di tengah kesibukannya sebagai saudagar kaya yang ramah dan bersahaja, Helmi Vonda juga sangat menggemari balap motor sejak muda. Ia memajang berbagi jenis motor mahal di museumnya. Sejak 2007 sampai sekarang bahkan menjabat ketua pembina Federasi Olahraga Balap Motor (FOBM). Kawan saya yang satu ini sesungguhnya tengah berusaha memadukan dua kehidupan sekaligus, kesenangan dunia dan bekal di akhirat.

Sekarang saya paham mengapa Helmi Vonda sangat peduli pada kawan saya di tanah Betawi yang jauh dari Kudus. Dia sadar ketika membungkus Mubarok Food yang dipimpinnya dengan spirit Sunan Kudus.

Penulis: Helmi Hidayat, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

______________
Semoga artikel Ketika Mubarok Food Membungkus Spirit Sunan Kudus ini dapat memberikan manfaat dan barokah kepada kita semua, amiin.

simak juga artikel selain Ketika Mubarok Food Membungkus Spirit Sunan Kudus di sini

simak juga video terkait di sini

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *