Ketika Kiai Najib Krapyak Marah.
Sebagaimana lazimnya guru, Mbah Yai Najib juga pernah marah (atau “duko”) kepada santri. Misal, ketika tiba waktunya ngantri setoran tapi ndalem masih sepi, beliau akan menunjukkan ekspresi tidak berkenan, yang kemudian ditafsirkan oleh santri, “Pak Yai duko, ayo ndang ngantri!”
Tapi pernah juga beliau marah agak gawat, dengan nada suara yang meninggi. Pernah Mbah Yai marah saat melihat ada santri yang tidur lepas ashar. Beliau menghardik, “Jangan tidur bakda ashar! Bisa gendeng!”
Aku sendiri pernah dihardik begitu, dulu waktu awal sakit-sakitan. Saat itu bakda subuh dan pengajian di aula sudah dimulai. Sementara aku masih rebah di kamar berbungkus selimut. Ndilalah pagi itu Mbah Yai patroli.
Melihatku yang masih selonjor tidur, beliau menendang kecil kakiku, “Tangi, Kang!” Setelah tahu aku sakit, beliau menegur, “Sakit ya sakit, tapi tetep shalat!”
****
Dulu, ketika panggung-panggung majlis maulid mulai semarak, banyak santri yang gandrung. Tak terkecuali santri komplek Madrasah Huffadh. Bahkan di antara mereka banyak yang jadi vokalis dan penabuh terbang pilih tanding.
Suatu malam, ada gladi resik acara maulid di luar pondok. Acaranya cukup besar, karena melibatkan seribu penerbang. Tim hadroh Madrasah Huffadh beranjak turut serta. Padahal saat itu di pondok ada rutinan Mujahadah Malam Selasa Wage.
Mengetahui santri-santri itu absen, Mbah Yai jelas marah. Beliau dhawuh-dhawuh panjang lebar melalui mikrofon di aula, tentang deresan Quran sebagai wirid paling utama, tentang kesetiaan terhadap kegiatan pondok, dan seterusnya, sesuatu yang jarang beliau lakukan. Lurah komplek pun gemrobyos tegang, lalu keluar mencari para penerbang, buru-buru mengajak mereka pulang.
******
Pernah juga kejadian konyol di kamar empat. Saat itu malam Jumat, ngaji libur. Anak-anak bebas mau apa atau kemana. Sebagai hiburan, para penghuni kamar empat menggelar majlis pokeran.
Anak-anak muda itu duduk menjejali kamar empat sambil menghadap kartu. Bersanding kopi dan rokok yang bikin kamar jadi ngebul. Juga botol-botol beling kosong sebagai asbak. Karena sumuk, mereka semua bertelanjang dada. Hanya memakai sarung, itupun dilipat ke atas sampai paha.
Maka jadilah suatu pemandangan yang cukup ganjil di sebuah lingkungan pondok pesantren; anak-anak muda telanjang dada, main kartu mengitari gelas-gelas dan botol-botol, sambil cekakak-cekikik tak karu-karuan.
Apesnya, malam itu mereka dapat jackpot. Entah ada urusan apa, Mbah Yai sambang komplek santri. Sampai di kamar empat, melihat kelakuan santri-santrinya semacam itu, beliau menyapa mereka, “Lagi do ngopo, Kang?”
Kontan saja anak-anak panik. Mereka kocar-kacir, ada yang kabur lewat pintu belakang, ada yang tak berkutik meringkuk di tempat. Kartu-kartu poker berhamburan.
“Kamar itu buat nderes, buat istirahat,” tegur beliau, “Bukan buat main-main begini!”
Sialnya, anak-anak tak kapok. Tragedi poker terjadi lagi. Pernah pagi-pagi ketika saatnya ngaji bakda subuh, aula masih sepi. Mbah Yai pun patroli ke kamar-kamar dan melihat kartu-kartu poker berserak. Parahnya, beberapa anak yang kepergok pokeran ‘kebetulan’ sudah lama tak kelihatan ngaji. Wajar saja Mbah Yai marah.
Keesokan paginya, para terdakwa majlis poker itu dikumpulkan di aula. Mereka dibai’at Mbah Yai, bersyahadat, melakukan sumpah untuk melaksanakan tugasnya mengaji, serta tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Tentu saja sambil diiringi cekikikan santri-santri lainnya, yang mengintip dari jendela.
*****
Terakhir, kejadian saat kami ‘neko-neko’ menggelar pameran seni rupa di pondok. Saat itu kami bekerja sama dengan para seniman dari luar. Pembukaannya digelar di pelataran gerbang pondok, sedangkan pameran karyanya sendiri dipajang selama tiga hari di ruang kecil koperasi dekat gerbang.
Dari awal kami sudah mewanti-wanti panitia tentang dresscode. Kalau bisa, para tamu harus menutup aurat. Kalau tidak bisa, minimal berpakaian yang layak untuk masuk lingkungan pesantren, baju berlengan dan celana panjang.
Tapi apes. Sore hari saat pameran dibuka, puluhan tamu seniman berdatangan. Entah kurang sosialisasi atau apa, banyak di antara mereka yang berpakaian minim, tangtop dan hotpants. Waduh gawat, pikirku. Kulihat ekspresi Pak Lurah -yang saat itu menyampaikan sambutan- juga tak nyaman.
Singkat cerita, suasana ini sampai di telinga Mbah Yai Najib yang sedang tindakan. Kemudian beliau menelepon Pak Lurah di kantor pondok. Beliau duko. Pak Lurah mati kutu, dia tak bisa membela diri, lalu agak geram berucap padaku, “Kalau tak bisa sesuai kesepakatan, langsung bubarkan saja, gak usah lanjut!”
Semalam suntuk Pak Lurah tak bisa tidur. Pikirannya kalut sebab Mbah Yai duko. Apalagi ia memang bertanggung jawab atas acara ini, yang merupakan inisiatif mandiri santri. Bukan acara resmi pondok, apalagi rekomendasi kiai.
“Pusing aku. Pengin boyong wae rasane,” keluhnya padaku saat itu.
Esok paginya, Pak Lurah sowan ke ndalem. Mukanya pucat, gelagatnya lesu. Ia sudah siap dimarahi sepedas apapun. Begitu sampai di ndalem, Mbah Yai malah berujar kalem, “Ya kayak warung ya, Kang. Tidak bisa mengatur pembeli yang datang.”
Beliau mengumpamakan pameran seni itu layaknya warung kelontong. Dan pengunjungnya bagaikan pembeli, yang tidak bisa dikendalikan mau berpakaian seperti apa. Yang bisa dilakukan si empunya warung ya hanya menghimbau saja. Mendengar hal ini, Pak Lurah plong selega-leganya.
Begitulah. Mbah Yai marah bukan atas pribadinya sendiri. Melainkan sebentuk didikan bagi santri, sebagai tanggung jawab atas ‘kontrak sosial’ selaku guru. Marah yang bukan berakar dari amarah, melainkan marah yang berlandaskan rahmah.
Beruntunglah santri yang pernah dimarahi gurunya. Sebab itu salah satu tanda sang guru sayang kepadanya. Dan jujur saja, kita kangen momen-momen indah itu. Lahul Fatihah.
****
Salatiga, 7 Desember 2021.
Jelang Haul Pertama Mbah Yai Najib.
Sumber kisah Ketika Kiai Najib Krapyak Marah: Gus Shofi Brabo, Kang Hikam Wates, Kang Talkhis Semarang, Kang Syukur Brebes.
Penulis: Zia Ul Haq, alumni Madrasah Hufadz, Pesantren Al-Munawwir Krapyak.