Ketika Kiai Asyhari Marzuqi Ikut Ronda Bersama Warga

islam nusantara
Ilustrasi: Gazebo atau Cakruk yang ada di Pesantren Al Imdad II Pajangan

Kiai dan masyarakat itu memang sangat dekat. Saking dekatnya kiai dengan masyarakat, kata Gus Mus, kiai menjadi rujukan berbagai permasalahan masyarakat. Dari urusan anak panas, lanjut Gus Mus, sampai urusan padi di makan tikus. Semuanya diadukan kepada kiai sambil meminta solusinya. Makanya, masyarakat begitu menaruh hormat kepada para kiai.

Meskipun demikian, para kiai pesantren tidak gila hormat. Para kiai tetap tawadu’ walaupun memiliki segudang ilmu. Para kiai tidak lantas menjaga jarak dengan masyarakat. Karena bagi para kiai, siapa yang akan memberikan nasihat kepada para masyarakat ketika menjaga jarak dengan mereka? Hal itu pula yang ditunjukkan oleh Kiai Asyhari Marzuqi. Kiai Asyhari Marzuqi begitu dekat dengan masyarakat di sekitar pesantren.

Bacaan Lainnya

“Saking dekatnya dan tidak mau menjaga jarak dengan masyarakat, Kiai Asyhari sampai-sampai ikut ronda bersama warga. Kalau ada hidangan ala kadarnya, beliau ya ikut makan juga,” cerita Kasiman, alumnus Pesantren Nurul Ummah kepada bangkitmedia.com.

Kedekatan Kiai Asyhari dengan masyarakat bukan hanya itu saja. Setiap lebaran tiba, Kiai Asyhari malah yang keliling mendatangi rumah-rumah warga. Bukan sebaliknya.

“Meskipun pada akhirnya banyak warga yang berdatangan ke rumah beliau, tapi beliau yang mendatangi rumah warga terlebih dahulu,” tambah Kasiman yang pernah menjadi Ketua Ansor Kota Yogya.

Ketika masih hidup, Kiai Asyhari dengan tulus ikhlas menjaga hubungan baik pesantren dengan masyarakat sekitar. Karena, bagaimana pun juga, masyarakat sekitar juga memiliki peran terhadap perkembangan sebuah pesantren. Hal itu, sekali lagi terbukti saat Kiai Asyhari marah atau duko terkait galian tanah dari pondok pesantren di taruh di tanah warga sekitar pesantren.

Saat itu, seperti yang dituliskan oleh Abdul Basith Rustami dalam buku Guruku Kyaiku, komplek putra selatan depan Komplek C akan dibangun pagar bumi dengan batako. Beberapa pengurus yang menggali lubang untuk pondasi menaruh tanahnya ke luar lokasi pondok (tanah warga), walaupun hanya untuk sementara.

Hal itu diketahui oleh Kiai Asyhari ketika keliling memeriksa bangunan pagar bumi tersebut. Ketika melihat tanah galian ditaruh di pekarangan tetangga, Kiai Asyhari langsung marah (duko).

“Nek koyo ngeneki, berarti kowe ki arep do nyemplungke neroko aku. Ayo lemahke dilebokke (kalau caranya begini, berarti kamu semua ingin memasukkan aku ke neraka ya! Ayo masukkan kembali (tanahnya),” demikian kata Kiai Asyhari.

Syahdan! Demi menjaga hubungan baik dengan masyarakat, Kiai Asyhari begitu hati-hati dalam melangkah. Sampai-sampai urusan tanah yang hanya ditaruh sementara pun membuatnya tidak ridho.

Gaya berdakwah Kiai Asyhari ini membuktikan bahwa Islam bisa tersebar dengan cepat dan meluas di Indonesia salah satunya melalui jalur pendidikan. Banyak penyebar agama Islam mendirikan pondok pesantren yang dijadikan pusat mendidik masyarakat Nusantara waktu itu. Sebut saja, Raden Rahmad Sunan Ampel yang mendirikan pondok pesantren di Ampel Denta, Surabaya.

Dari sana, lahirlah ulama-ulama seperti Sunan Drajad, Sunan Bonang, Sunan Giri yang menyebarkan agama Islam ke berbagai penjuru Nusantara.  Selain sebagai pusat penyebaran agama Islam, pesantren dengan kiai di masa-masa awal menjadi pusat rujukan masyarakat terkait masalah-masalah kehidupan. Makanya tidak ada jarak yang memisahkan antara pesantren dan masyarakat. Al Fatihah. (rk)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *