Keragaman Adalah Sunnatullah, Jangan Sangka Sebaliknya!!.
Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.
Telah diterangkan dengan luas perihal ayat-ayat, sunnah Rasul Saw, serta sirah Nabawiyah yang menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan atarmanusia, juga antarkita yang seiman, adalah mutlak kehendak Allah Swt. Dari sirah kita tahu bahwa di antara doa Rasulullah Saw yang tidak diijabah oleh Alah Swt adalah permohonannya Saw agar umatnya tidak berbeda atau berselisihan. Kiranya, ini telah cukup untuk kita jadkan genggaman keyakinan bahwa kemajemukan, keragaman, sebagai buah langsung perbedaan-perbedaan, adalah sepenuhnya sunnatuLlah.
Ihwal perbedaan yang telah ditetapkanNya kepada dunia ini, termasuk kita di dalamnya, telah mulai terjadi bahkan di saat Rasulullah Saw masih ada. Betul, telah terjadi sejumlah pemahaman, tafsir, dan takwil di antara para sahabat Rasulullah Saw sendiri.
Di satu sisi, bukti sejarah itu memperlihatkan perbedaan-perbedaan sejatinya adalah manusiawi, alamiah, dan karenanya seyogianya kita terima dengan biasa saja. Di sisi lain, dari sejumlah perbedaan di antara sahabat tersebutlah justru Rasul Saw kadang menetapkan suatu keputusan yang menjadi hukum syariat, dan terus terwariskan kepada kita kini.
Aturan fiqh bagi makmum yang masbuq (ketinggalan rakaat), itu bukanlah muasalnya dari Rasulullah Saw, tapi dari sahabatnya, lalu ditetapkannya Saw sebagai hukum. Bacaan “rabbana wa lakal hamdu….” dalam i’tidal salat, itu pun dari sahabatnya, kemudian ditetapkannya Saw sebagai hukum.
Begitupun adzan dua kali dalam salat Jum’at, itu dari Ustman bin Affan, yang lalu diikuti sebagian kita kini. Pun salat Tarawih berjamaah, itu dari Umar bin Khattab, yang lalu kita jalankan kini.
Riwayat terkenal tentang perbedaan takwil “tsalasa quru’” (tiga qur-un) yang menentukan pendek/lamanya seorang perempuan menjalani masa ‘iddah, terjadi antara Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Mas’ud.
Juga riwayat kondang tentang perbedaan keputusan di antara sahabat dalam menjalankan salat ‘Ashr atau qadha’ saat melakukan perjalanan panjang ke Bani Quraidah, juga kita dengar dengan jelas.
Ada lagi riwayat yang menuturkan keputusan khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq yang memberikan bisyarah (gaji) yang sama kepada Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan dengan pertimbangan bahwa keduanya sama-sama menyumbangkan dedikasi besar kepada masyarakat Islam waktu itu. Umar bin Khattab yang kurang setuju kepada keputusan tersebut memilih manut saja. Tetapi ketika beliau menjadi khalifah, diubahnya lah kebijakan lama tersebut dengan memberikan bisyarah lebih besar kepada Ali bin Abi Thalib dibanding Muawiyah bin Abi Sufyan atas pertimbangan sebuah ayat yang mengatakan tidaklah sama antara mereka yang memeluk Islam sebelum Fathu Mekkah dengan yang sesudahnya.
Bahkan, dalam kondisi politik yang penuh provokasi, sikap khalifah Ali bin Abi Thalib dan sahabat Zubair dan Thalhah serta Aisyah Ra yang jelas-jelas berbeda warna tak menyurutkan penghormatan yang semestinya di antara mereka. Pecahnya perang Jamal di antara mereka disebutkan merupakan akibat provokasi terselubung yang sangat keji yang digerakkan Abdullah bin Saba’ –bukan dimulai salah satu dari mereka.
Lebih jauh ke sini, keragaman perbedaan pendapat, pandangan, dan takwil hukum di antara para ulama salaf yang begitu luas dan banyak hingga melahirkan begitu banyak mazhab dan aliran dalam Islam secara umum tetaplah memperlihatkan penerimaan yang dewasa, legawa, dan bijaksana.
Imam Malik menolak keinginan khalifah Abu Ja’far Al-Mansur yang hendak menjadikan mazhab Maliki sebagai satu-satunya sumber hukum Islam bagi masyarakat muslim waktu itu. Beliau khawatir itu hanya akan meletuskan ketegangan dan pertikaian di antara umat Islam sendiri yang telah banyak menerima riwayat dan takwil dari banyak jalan lain.
Imam Ahmad bin Hanbal membantah tegas pujian seseorang yang mengatakan bahwa takwil hukumnya adalah yang terbaik dan terbenar. Paling tsiqah. Ini memperlihatkan pernghormatan beliau kepada kahzanah takwil lainnya; kepada kemajemukan dan keragaman.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah pernah menasihatkan agar tak menyebarkan mazhab lain di antara masyarakat Islam yang telah mapan menganut suatu mazhab. Demi menghindarkan ketegangan dan permusuhan.
Imam Malik yang banyak memiliki murid kinasih, di antaranya adalah Imam Syafii dan Imam Sufyan al-Tsauri. Keduanya kemudian mendirikan mazhab tersendiri di wilayah masing-masing. Dan tiada masalah konflik antarmereka semua.
Ketika Abu Nu’man bin Tsabit atau Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, meninggal, di antara pujian yang dialamatkan kepadanya datang dari banyak tokoh mazhab yang tidak sama dengannya.
Imam Malik berkata, “Demi Allah Swt, aku tidak pernah melihat orang sekokoh dia ilmunya. Andai saja dia mengatakan lalat terbuat dari emas, maka dia akan bisa mempertahankan pendapatnya dengan benar.”
Imam Syafii berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang diberi taufik oleh Allah Swt dalam ilmu fiqh.”
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “ Ia seorang alim, wara’, dan zuhud yang lebih mementingkan akhirat, yang tidak dimiliki siapa pun.”
Begitulah segelintir riwayat dan bukti sejarah dari salafus shalih yang tiada sedikit pun keraguan kepada integritas ilmunya, kemu’tabaran nasab dan sanadnya, dan kecintaannya kepada Allah Swt dan RasulNya serta dunia Islam, dalam menerima dan mendudukkan perbedaan-perbedaan dan kemajemukan-kemajemukan. Sikap luhur mereka ini mencerminkan kedalaman ilmu dan sekaligus iman dak takwanya kepada Allah Swt. Begitulah seyogianya.
Justru, di saat kita bersikap terbalik, seperti bersikap keras dan kasar kepada perbedaan cum kemajemukan, dapat diisyaratkan bahwa itu merupakan bentuk pembangkangan kita kepada sunnatuLlah.
Bagaimana mungkin kita berani membangkangi ketetapan Allah Swt yang nyata-nyata diproklamasikan jelas dalam al-Qur’an dan juga sirah NabiNya Saw jika di dalam hati kita terdapat sebenar-benarnya iman dan takwa kepadaNya serta keluasan ilmu dan kebijaksanaan?
Mari mawas diri.
Tepat di saat kita alergi kepada perbedaan dan kemajemukan, bahkan antariman, mengertilah bahwa kita sedang mengidap “penyakit rohani” yang berbahaya bagi akidah kafah kita sendiri. Tatkala penyakit tersebut melimpas ke dalam perilaku kita, yang berpunggungan dengan kewajiban menghormati orang lain dan berbuat baik kepada siapa pun, itu isyarat nyata berikutnya bahwa kita sedang menjauh dari ittiba’ RasulNya Saw.
Jika kita sungguh-sungguh meyakini Rasul Saw adalah teladan akhlak karimah yang paling paripurna terhadap siapa pun, seberbeda apa pun, bahkan yang beda iman, maka gerangan apa lagi yang akan kita katakan di hadapan Allah Swt dan beliau Saw kelak bila di dunia ini kita masih saja memilih bersikap keras, kasar, dan negatif kepada orang lain?
Mari genggam selalu saja bahwa kemajemukan manusia, termasuk dalam hal iman, amal, dan paham, adalah sunnatuLlah yang mutlak. Tiada kepantasan naqli dan aqli bagi kita untuk tidak mematuhi sunnatuLlah, bukan?
______________________
Semoga artikel Keragaman Adalah Sunnatullah, Jangan Sangka Sebaliknya!! ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, ammiinn..
simak artikel terkait Keragaman Adalah Sunnatullah, Jangan Sangka Sebaliknya!! di sini
simak video terkait Keragaman Adalah Sunnatullah, Jangan Sangka Sebaliknya!! di sini