Kenapa Khilafah Itu Ditolak, Kan Islami?
Saya bersyukur sebagai kader Nahdlatul Ulama, tentu saya di manapun berada, jadi apapun saya, tetap sebagai kader NU. Karena itu, dalam acara-acara NU seperti rapat pleno, yang kebetulan saya masih menjadi Mustasyar PBNU, saya akan berusaha hadir bersama pengurus dan warga Nahdlatul Ulama.
Rapat Pleno PBNU kali ini penting dan sangat strategis karena kita akan menghadapi muktamar ke-34. Muktamar itu sangat strategis. Ada dua hal yang sudah disinggung Rais Aam.
Pertama, kita akan menghadapi 100 tahun NU yang ke-2. Sekarang kita berada di akhir setratus tahun pertama. Kita berharap supaya NU di periode 100 tahun kedua bisa take off, bisa tinggal landas sehingga bisa melakukan gerakan-gerakan yang lebih masif. Bisa lebih hebat lagi, karena itu harus kita siapkan melalui muktamar itu.
Kedua adalah tantangan yang dihadapi oleh NU dan seluruh bangsa Indonesia tidak semakin ringan, tidak semakin kecil tapi semakin berat. Ini saya kira tantangan ke depan, baik dalam sekala nasional maupun skala global. Menurut saya, bagi NU harus selalu melakukan upaya-upaya yang seius untuk menjaga agama (himayatuddin) dan menjaga negara (himayatuddaulah).
Himayatuddinin, kita menjaga agama supaya tetap berada di dalam manhajut tawasut wal i’tidal. Itu bahasa NU. Saya kira begitu dalam kerangka pemahaman yang moderat. Karena trend radikalisme, intoleran, semakin hari semakin besar semakin luas. Karena itu, kita perlu melakukan upaya-upaya penangkalan supaya masyarakat ini kembali memahami ajaran agama ala manhajittawasuth wal i’tidal yaitu ala manhaji ahlussunnah wal jamaah an nahdliyyah.
Ini suatu masalah besar yang akan kita hadapi, kalau kita tidak prepare (tidak siap-siap), maka ini akan ada bahaya besar didalam kerangka pengembangan faham keagamaan Islam di Indonesia.
Kemudian, ada himayatuddaulah, menjaga negara. Ini supaya semuanya berada di dalam jalur kerangka atau bingkai kesepakatan yang telah diletakkan oleh pendiri bangsa ini. Supaya tetap berada di dalam ittifaqat wathoniyyah atau kesepakatan nasional. Anda berada di dalam al mitsaq al wathani, kesepakatan nasional.
Biasanya kita menyebutnya dengan namanya konsensus nasional atau berdasarkan pilar-pilar kebangsaan yang disepakati oleh semua pihak. Sebab ada gejala untuk mencoba keluar dari wilayah ini mencari alternatif lain sehingga akan terjadi kegaduhan mencari sistem lain. Padahal bagi kita, NKRI itu sudah harga mati tetapi ada yang mencari alternatif lain misalnya khilafah, katanya khilafah NKRI. Tidak bisa khilafah dengan NKRI. Tidak bisa satu.
Kenapa khilafah ditolak, kan Islami ?
Khilafah itu islami, tapi islami itu tidak berarti khilafah. Jangan dibolak-balik. Khilafah memang islami karena ada Khilafah Abbasiah, Khilafah Utsmaniyyah. Tapi Islami itu tidak berarti khilafah. Karena apa, karena kerajaan juga Islami buktinya Saudi Arabia itu Kerajaan Al Mamlakah Assa’udiyyah kata ulama’ di sana. Republik juga Islami, buktinya Indonesia, Mesir. Apa di Mesir tidak ada ulama ? Banyak masyayikh Al-Azhar, banyak di sana ulama-ulama besar.
Memang kenapa kemudian khilafah ditolak ?
Bukan ditolak. Berulang kali saya katakan tapi tertolak untuk di wilayah Indonesia. Tertolak di Indonesia karena menyalahi kesepakatan. Mukhalafatul mitsaq. Karena Negara Indonesia dibangun atas kesepakatan, makanya Indonesia adalah daarussuluh, ada yang mengatakan darul ahdi wasysyahadah. Dan saya lebih suka menyebutnya dengan daarul mitsaq.
Kenapa daarul mitsaq? Karena ada yang mengatakan “Fain kana bainakum wabainahum mitsaqun, fadiyyatun musallamatun ila ahlihi”. Ini sebenarnya bagaimana memberikan perspektif pemikiran yang benar sesuai dengan apa yang dianut oleh Nahdlatul Ulama. Memahamkan ini menjadi tugas besar kita. Baik dalam rangka himayatuddin, maupun juga dalam rangka himayatuddaulah.
Dalam konteks inilah, maka yang kedua ini arahnya adalah bagaimana memberdayakan “taqwiyatunn nahdliyyin”, memberdayakan ummat warga NU. Karena ke depan ini akan terjadi persaingan yang ketat, akan terjadi kompetisi-kompetisi. Padahal, menyiapkan generasi masadepan itu sesuai dengan printah Allah, “Walyahsyalladzinal lau taraku min khalfihim dzurriyatan dzi’afa”.
Dan yang mereka khawatir kalau mereka meninggalkan di belakang mereka itu dzurriyatan dzi’afa, anak cucu yang lemah. Lemah apa? Lemah aqidahnya, lemah ekonominya, pendidikannya, kesehatannya jangan sampai menjadi dhuafa dan mustadz’afiin.
Ini menurut saya yang perlu kita siapkan dalam rangka menjawab tantangan Muktamar ke-34 yang akan datang. Oleh karena itu, menurut saya yang harus dipersiapkan beberapa hal.
Pertama, yaitu tansyith wa tajdid wa tashihul harakah. Bagaimana menggiatkan tansyitul harakah menggiatkan gerakan-gerakannya. Jangan asal-asalan, jangan asal alon-alon asal kelakon, tapi tansyithkan (giatkan-gerakkan). Orang lain sangat semangat, kita sendiri tidak semangat, bagaimana dipacu munculnya gerakan-gerakan yang masif (tansyitul harakah).
Yang kedua adalah tajdid, melakukan tajdidul harakah melakukan pembaharuan gerakan. Jangan konvensional terus. Ada perubahan-perubahan sesuai dengan tuntutan seperti menggunakan media, menggunakan pendekatan, menggunakan berbagai cara / model, semua harus ada proses pembaharuan, Tajdidul harakah.
Ini semua dalam rangka supaya gerakan-gerakan kita itu menjadi lebih efektif, tidak statis, tidak monoton, tapi ada bisa membaca tantangan sekaligus jawabannya, bagaimana genderangnya begitu tarinya,. Sehingga kita mampu merespon perkembangan-perkembangan, tidak tertinggal. Juga melalui media elektronik dan semuanya ini harus dibangun strateginya.
Yang ketiga adalah tashihul harakah, perbaikan-perbaikan harus ditashih, dibetulkan. Kalau kemarin ada yang kurang pas diganti, dilakukan model baru yang lebih tepat lebih ashlah lebih memberikan manfaat. Menurut saya gerakan kita adalah melakukan tansith wa tajdid wa tashihul harakah. Coba kita rumuskan dalam forum ini bagaimana kita menghadapi tantangan-tantangan baik dalam rangka himyatuddin, dalam rangka himayatuddaulah maupun dalam rangka pemberdayaan penguatan yaitu taqwiyatul ummah, taqwiyatun nahdliyyin, baik bidang ekonomi apalagi kita sekarang harus menyiapkan sumber daya manusianya yang handal, khususnya pendidikannya.
Oleh karena itu, sistem pendidikan kita harus bisa membangun generasi yang ahlussunah wal jamaah. Generasi yang punya manhaj berpikirnya manhaj tawassuth wal i’tidal ala thoriqoti nahdlatil ulama’.
Sistem pendidikan kita perlu didesain sebaik mungkin sehingga gerakan-gerakan kita akan menjadi masif. Yang selanjutnya melalui konsolidasi organisasi. Ini saya kira penting sekali agar organisasi kita punya akar sampai ke MWC dan Ranting. Bukan hanya ada, tetapi berfungsi. Jangan ada wujuduhu ka adamihi. Sehingga tidak berkutik, tidak berperan. Maka saya sangat konsen untuk mencetak kader da’i NU yang banyak dengan segala strata tingakatannya. Untuk pelajar, untuk mahasiswa, untuk orang tua untuk kalangan pegawai kalangan buruh kita siapkan itu sedemikian rupa. Jangan sampai kita mengatakan kita punya kader da’i berapa 1000 tapi tidak ada rasanya. Mana rasanya ?
Harus kita bener-bener intensifikasi, tansith, tajdid wa tashih al harakah annahdliyyah.
Karena saya merasa memiliki tanggung jawab dalam rangka mendorong NU di masa depan. Karena kita, sekali lagi akan menghadapi dua hal penting. Satu tantangan yang di depan kita, baik nasional maupun global yang kedua kita ingin 100 tahun kedua periode Nahdlatul Ulama, NU sudah take off bukan saja secara dakwah kita secara nasional jadi bukan hanya meng NU-kan Indonesia tapi meng NU-kan Dunia. Karena memang lambang NU itu kan dunia. (Yayan)
*Disampaikan KH Ma’ruf Amin dalam Rapat Pleno PBNU di Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta Jawa Barat, 20 September 2019.
Tonton juga video Gus Baha membacakan wasiat Mbah Moen soal Muktamar tahun 2020;